Gibah (Bag. 1)
Oleh: Husein Alwi
Gibah di Masyarakat
Kerusakan moral yang paling umum, paling buruk dan paling berbahaya adalah gibah. Perbuatan gibah menjadi penyebab penghinaan terhadap kehormatan seseorang, menguak rahasia, menyebarkan kekejian, memberanikan pelaku dosa dan akhirnya mendestabilkan dasar keyakinan dalam kehidupan sosial. Akan banyak pelanggaran moral yang terjadi dalam kehidupan manusia jika hukum gibah tidak dilaksanakan dengan baik.
Tanpa diragukan banyak dari masyarakat mempunyai titik kelemahan dimana sering kali aibnya terungkap. Jika aib dan kelemahan mereka terungkap kepercayaan publik akan hilang dan beberapa keburukan lainnya dihadapan masyarakat akan tersebar. Oleh karena itu, Islam memiliki dalil untuk melarang perbuatan itu. Dalam beberapa referensi ulama pegiat akhlak menyebutkan bahwa gibah masuk dalam kategori hama bahasa yang paling buruk. Sementara gibah hal yang paling digemari oleh manusia.
Jika keburukan moral ini tidak dipantang maka hidup manusia dalam menuju jalan ilahi tidak akan pernah berhasil dan tidak akan terlihat jiwa semangat dan keceriaan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, demikian pentingnya untuk memperhatikan perbuatan gibah di tengah kehidupan masyarakat umum.
Pengertian Gibah
Pengertian gibah dijelaskan didalam kamus bahasa, ahli hukum dan ulama pegiat akhlak, serta berbagai macam tafsir Al-Qur’an. Pada hakikatnya pengertian tersebut akan kembali kepada satu maksud. Namun beberapa pandangan secara umum dan khusus diantaranya terdapat perbedaan-perbedaan yang perlu diperhatikan.
Penulis Shihah Al-Luqhah mendefinisikan gibah sebagai aktivitas pembicaraan di belakang seseorang mengenai kelemahan dan tindakannya jika terdengar olehnya akan membuat orang tersebut marah. Adapun penulis Al-Mishbah Al-Munir mengartikan gibah sebagai pengungkapan aib-aib tersembunyi seseorang yang dapat membuatnya marah jika dibicarakan kembali dibelakang orang tersebut.
Almarhum Syaikh Anshsri merupakan beberapa dari ulama besar mengutip secara konsensus dari kabar para maksumin. Beliau mengisyaratkan bahwa hakikat gibah adalah membicarakan sesuatu tentang diri seseorang jika terdengar olehnya akan membuatnya marah.[1] Ini dikutip dari kumpulan hadis Rasulullah Saw.
Kita akan membacakan hadist lain dari Imam Shadiq as. Gibah adalah membicarakan sesuatu tentang diri saudara muslimnya dimana Allah Swt telah menutup hal tersebut atasnya.[2]
Terdapat riwayat dari Nabi Muhammad Saw dimana nama seseorang disebutkan di hadapan Rasul oleh salah satu hadirin, dan berkata; “fulan adalah orang tua dan tidak punya kemampuan apapun” lalu Rasulallah bertanya, “apa engkau telah gibah orang tersebut?” Orang tersebut menjawab, “yaa Rasulallah, saya hanya menyebutkan sifatnya”, Rasul bersabda: “jika setiap kali sesuatu yang kau ucapkan tidak ada pada dirinya, kau telah menuduhnya, bukan gibah.”[3]
Penyalahgunaan Gibah
Terkadang di tempat umum bagi sebagian orang yang tidak mengerti tentang larangan gibah membandingkan dengan mengatakan; “apakah kita berbohong jika orang tersebut memiliki aib namun tidak boleh dibicarakan kepada orang lain?”, alasan ini tidak memiliki dasar yang kuat. Karena dengan menggunakan alasan tersebut mengungkap aib seseorang dapat dianggap sebagai kebenaran. Sedangkan jika kita membicarakan seseorang namun tidak terdapat aib pada dirinya disebut tindakan penuduhan atau fitnah, bukan gibah. Oleh karena itu, disebut gibah karena membicarakan aib seseorang dibelakang orang yang bersangkutan.
Penjelasan dalam hal ini juga penting diketahui bahwa gibah bukan hanya berlaku pada setiap umat Islam namun berlaku kepada setiap manusia yang telah menyesali dosa-dosanya atau sudah bertaubat atau pula orang yang sedang mencari keadilan.
Akan tetapi hukum gibah tidak berlaku bagi orang fasik dan pembuat dosa, membicarakan tentang perbuatan buruknya diperbolehkan seberapa pun perbuatan fasiknya disembunyikan, tidak ada larangan bagi orang lain dan siapapun untuk membicarakan perbuatan fasiknya. Imam Jakfar Shodiq as memperjelas mengenai orang tersebut, “jika hubungannya dengan masyarakat tidak melakukan kezaliman, dalam pidatonya menganjurkan kebaikan dan tidak berbohong, dan tidak mengingkari janjinya kepada masyarakat, maka haram baginya untuk digibah, kepribadiannya memiliki integritas, keadilannya jelas, serta wajib persaudaran atasnya.”[4]
Dapat disimpulkan bahwa jika seseorang fasik dan perbuatannya dapat mempengaruhi stabilitas hubungan dalam masyarakat, orang tersebut boleh digibah agar perbuatannya tidak ditiru oleh orang lain. Sebaliknya, jika seseorang tersebut memiliki aib namun bertakwa dan melakukan kebajikan, haram baginya untuk digibah. Almarhum Allamah Majlisi pada awal bukunya Al-Asyrah pendapatnya juga memiliki kecenderungan yang sama dengan Biharul Anwar, jilid 72, meskipun dalam penjelasan tersebut nyaris tidak ada pengurangan[5].
Tentu saja dengan penjelasan ini dapat dijadikan dasar bagi sebagian masyarakat untuk berbuat gibah, namun ada ketentuan yang perlu diperhatikan agar tidak mudah terjebak pada perbuatan dosa. Dan hal ini tidak berseberangan dengan ayat suci Al-Qur’an maupun hadis dimana juga terdapat pembahasan gibah.
Dapat ditambahkan lagi dari riwayat lain dikatakan bahwa ada beberapa kelompok yang boleh digibah, atau tidak termasuk gibah jika membicarakan mereka, seperti orang fasik dimana dikenal akan kefasikannya, dan seperti yang terdapat dalam hadis Rasulallah Saw; disebutkan bahwa terdapat empat kelompok ketika membicarakan mereka dibelakangnya tidak termasuk gibah, salah satunya seorang fasik yang menampakkah dosanya.[6]
Sumber:
[1] Makasib Muharramah Syaikh Anshori, Hal. 41
[2] Wasail As-Syiah, Jilid 8, Abwabe Ahkam Al-A’syrah, Hal. 602
[3] Mahjatul Baidho’, Jilid 5, Hal. 256
[4] Usul Kafi, Jilid 2, Hal. 239, Hadis 28
[5] Biharul Anwar, Jilid 72, Hal 235-237
[6] Ibid, Hal. 261