Alquran: Islam Tuhan-Manusia (1)
Benarkah setiap pemahaman itu relatif? Benarkah tidak ada agama kecuali hasil penafsiran dan pemahaman yang bisa benar dan bisa salah? Apakah tidak ada peluang sekecil apa pun manusia mencapai pemahaman yang sesuai dengan maksud Tuhan? Apakah kita hanya dihadapkan pada dua pilihan: agama Tuhan atau agama manusia, Islam radikal atau Islam toleran? Apakah rasional membiarkan diri kita merasa benar dan menilai orang lain salah dalam memahami Alquran?
Isu agama, terutama Islam, selalu saja provokatif, menyulut kuriositas dan emosi, bahkan bagi orang ragu atau ingkar agama. Agama Islam kerap menjadi ruang nyaman menyatakan gairah pikiran dan emosi itu dalam berbagai cara memahami dan mengamalkan kebenarannya. Cara-cara ini tampak krusial sebanding dengan pentingnya objek pemahaman dan pengamalan mereka, yaitu Alquran sebagai sumber utama dan referensi primer Islam. Sulit dirahasiakan adanya lebih dari sekedar gejala radikalisme dalam memahami maksud Tuhan di balik teks ayat Allah dan hadis Nabi.
Kini cara radikalis dalam memahami Alquran sudah menjadi pola pikir dan pola sikap hingga seorang muslim radikal tidak merasa puas dengan kebenaran pemahamannya kecuali setelah ia menyatakan pemahaman muslim lain yang beda itu salah, bid’ah, sesat dan kafir. Pola pikir radikal akan memastikan pemahamannya hanyalah satu-satunya kebenaran yang sesuai dengan maksud Tuhan sekaligus menilai pemahaman yang berbeda dengannya pasti salah, sesat dan kafir.
Cara radikal yang ifrat ini juga kerap ditanggapi oleh ketersinggungan pihak yang menjadi sasaran penyalahan, penyesatan dan pengkafiran. Sebagai respon yang juga radikal di titik sebaliknya, dikatakan bahwa agama dan Alquran tidak sampai kepada manusia kecuali melalui pemahaman, dan pemahaman itu bukan maksud Tuhan yang kebenarannya absolut. Pemahaman manusia itu bisa benar juga bisa salah. Maka, pemahaman dan penafsiran setiap orang itu relatif. Pada akhirnya, sebagian respon membuat kesimpulan: agama umat Islam itu agama manusia, bukan agama Tuhan.
Mengacu pertanyaan-pertanyaan di atas, tulisan ini dan sambungannya berusaha menerobos dua arus radikalisme dalam memahami agama dan, utamanya, Alquran dengan berbasis pada Alquran itu sendiri, yaitu melalui ayat berikut ini.
“Sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu sebagai sumber-kebaikan agar mereka merenungkan tanda-tanda [nyata]-Nya dan agar orang-orang berakal menjadi sadar.” (QS. Shad [38]: 29).
Sebuah kitab di awal ayat di atas, tak lain, adalah Alquran yang ada di tangan generasi awal Islam diterima langsung dari penerima suci wahyu, Nabi Muhammad SAW, hingga di tangan kita sekarang ini. Sementara frasa “yang Kami turunkan kepadamu” merupakan sifat dan deskripsi untuk kitab itu. Dalam terjemahan ayat di atas, sebagaimana umumnya terjemahan yang lain, kitab sendiri berposisi sebagai predikat untuk subjek yang tidak dinyatakan, seolah-olah bentuk sempurna dari ayat ini berbunyi, “Inilah sebuah buku yang Kami turunkan kepadamu ….”
Ayat-ayat senada ini sesungguhnya banyak terulang di sepanjang Alquran. Allah SWT sebagai subjek penurun kitab dinyatakan dengan ‘Kami’, kata ganti yang mengungkapkan keagungan dan ketinggian posisi Allah SWT dalam konteks penurunan Alquran.
Ayat ini, sejak awal, sudah menegaskan bahwa Alquran yang ada di tengah umat Islam ini berasal sepenuhnya dan selengkapnya dari Allah SWT; Nabi SAW menerima kitab suci terakhir ini sepenuhnya dari Allah SWT, tanpa kurang dan tanpa lebih. Karena itu, Nabi SAW yang dikenal sebagai al-amin ‘terpercaya’ adalah manusia sempurna yang layak menerima wahyu seutuhnya dan menyampaikannya juga secara seutuhnya. Perintah dan pengawasannya sepanjang penulisan setiap ayat dan surat yang dilakukan oleh para sahabatnya adalah dalam rangka memastikan bahwa setiap wahyu yang diterimanya sebagai amanat suci Allah SWT telah tersampaikan dan diterima umat manusia secara sepenuhnya dan seutuh-utuhnya.
Nabi menerima sepenuhnya dan seutuhnya Alquran dari Allah itu baik kandungan setiap ayat yang dimaksudkan Allah juga redaksi teks yang Dia pilih. Dalam banyak ayat, Allah SWT juga mendefinisikan Alquran sebagai bacaan bahasa Arab yang jelas dan lisan bahasa Arab. Ada penekanan nyata pada Arab sebagai bahasa kitab suci akhir zaman ini.
Penekanan ini juga ditegaskan melalui sejumlah hukum pengamalan agama. Hukum-hukum fiqih terkait sisi lahiriah bahasa Alquran seperti: kewajiban membaca Alquran dengan tartil dan tajwid, sunnah membacanya dengan suara, nada dan langgam yang indah, sunnah menghafal Alquran, kewajiban menyentuh naskah Alquran dan aksara ayat-ayatnya dalam keadaan suci (dengan mandi besar atau dengan wudhu), semua hukum-hukum lahiriah ini adalah untuk melindungi kesucian, keutuhan dan keterjagaan redaksi teks (kata-kata dan kalimat) Alquran. Boleh jadi, ada bahasa selain Arab yang digunakan sebagai terjemahan bagi bangsa dan etnis non-Arab dalam memahami kandungan Alquran. Namun, apa pun terjemahan itu tidak memiliki kesucian dan keutuhan teks bahasa asli (bahasa Arab) Alquran. Hukum-hukum fiqih tadi juga tidak berlaku pada teks terjemahan Alquran.
Aspek kesucian dan keutuhan Alquran juga memastikan keterjagaannya, bukan hanya dari pengurangan dan penambahan, tetapi juga dari intervensi dan campurtangan siapa pun, termasuk intervensi dari diri Nabi SAW sendiri, entah dari pikiran, perasaan, budaya, dan tradisi beliau.
Oleh karena itu, ayat ini merupakan pandangan Alquran yang, jauh sebelumnya, sejak awal kali diturunkan, telah mengantisipasi akan munculnya pemikiran dari sejumlah pemikir Muslim belakangan ini, dimana mereka menganggap redaksi dan bahasa Arab yang digunakan Alquran adalah hasil dari pengalaman hidup subjektif Nabi SAW. seperti kehidupannya dalam tradisi, budaya, dan pengalaman sejarah yang melingkupi dirinya sepanjang era Jahiliyah dan interaksinya dengan realitas dunia masa itu.
Ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa Allah SWT adalah subjek aktif penurun kandungan dan teks bahasa Alquran, maka Nabi SAW berperan sebagai penerima pasif Alquran. Objek penurunan Allah SWT dan objek penerimaan Nabi SAW, tidak lebih dan tidak kurang, hanyalah satu, yaitu Alquran. Hati Nabi SAW sedemikian suci selaksana bersihnya kaca yang pasif sepenuhnya menerima warna-warni (kandungan dan teks bahasa) wahyu yang diturunkan Allah SWT melalui Jibril a.s. sebagai Ruh Terpercaya (al-ruh al-amin). Tidak ada intervensi dari aspek apa pun dari diri Nabi SAW, karena hati suci dan bening akan menerima secara objektif sepenuhnya kebenaran lahiriah (teks bahasa) dan batiniah (kandungan) wahyu Ilahi. Alquran adalah kalam Allah (kata-kata Allah) yang suci lahir dan batin, diterima oleh diri Nabi yang suci lahir dan batin, melalui Ruh Terpercaya Jibril, dari dari Allah Yang Mahasuci.
Mereka terdesak untuk berpandangan demikian karena, di antaranya, kekhawatiran mereka bahwa jika Alquran yang diturunkan Allah itu sepenuhnya, seutuhnya, sesucinya, dan seobjektifnya diterima Nabi SAW, tanpa intervensi apa pun dari diri beliau, maka itu artinya kita telah menyekutukan Nabi SAW sebagai manusia dengan Allah Yang Mahaesa, dan ini bertentangan dengan Asas Tauhid. Dalam kata-kata sebagian pemikir, orang muslim yang merasa pemahamannya sama dengan maksud Allah tidak beda dengan keinginannya “menjadi Tuhan”.
Namun, kiranya tidak perlu kuatir bila manusia punya cita-cita menjadi Tuhan. Cita-cita adalah tingkatan tinggi dari cinta, dan kesempurnaan cinta yaitu perjumpaan dan ketiadaan diri dalam Tercinta Utama, yaitu Allah SWT. Alquran merupakan kitab suci cinta yang memberi arahan-arahan penuntun agar cinta sejati manusia berada di jalan mencapai Allah SWT. Di tingkat cintanya mencapai Allah SWT di situlah dia “menjadi Tuhan”.
Menjadi yaitu proses peralihan dari satu keadaan ke keadaan lain. Maka, menjadi Tuhan itu bukan Tuhan itu sendiri. Tuhan tidak mungkin menjadi dan berproses atau beralih keadaan. Dan di sisi lain, menjadi Tuhan yakni proses manusia sampai di tingkat Tuhan. Inilah puncak kesempurnaan manusia, yaitu manusia Tuhan atau, dalam bahasa Ibnu Sina, Rabb Insani “Tuhan Manusia”.
Dalam hadis qudsi disebutkan, “Hamba-Ku, Taatlah kepadaku, niscaya Aku jadikan kamu sepertiku.” Bagaimanapun, manusia sebagai makhluk bukan Tuhan. Dia hanya bisa seperti Tuhan dengan menjadi Tuhan, itu pun tidak dengan sendirinya, tetapi disepertikan dan dijadikan oleh Allah menjadi seperti dan menjadi Diri-Nya. Hamba yang taat, pecinta dan kekasih Allah SWT itulah khalifah-Nya di dunia. Menjadi Tuhan, karena itu, idealisme dan cita-cita tertinggi dari puncak cinta manusia. Menjadi Tuhan adalah kewajiban manusia Muslim. bersambung