Bukan Azannya, Tapi Toanya
SE KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
Anisah Eka Nurfitria-Beberapa minggu yang lalu Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan surat edaran resmi terkait penggunaan speaker masjid. Aturan tersebut ada dalam surat edaran SE 05 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala. [1]
Aturan tersebut menurut Menteri Yaqut tujuannya adalah untuk menciptakan ketentraman juga keharmonisan di antara warga. Namun SE ini mendapatkan tanggapan yang beragam ditengah masyarakat, banyak orang gagal paham terkait keputusan Menag Yaqut. Dibanding yang pro, mayoritas masyarakat kontra terhadap beliau. Dan tak ayal beliau pun dijadikan bulan-bulanan di media sosial, dianggap menyakiti dan melecehkan umat Islam karena menurut pemahaman mereka pengaturan toa artinya adalah melarang azan.
Masyarakat kisruh di media sosial, beberapa orang bahkan mengancam Menag Yaqut. Sebagian bahkan membuat video sambil mengacungkan samurai menantang beliau. Polemik perihal toa masjid pun membesar, semua pihak merasa mempunyai hak. Kelompok yang pro Kemenag merasa berhak untuk tidak terganggu dengan toa, sedang yang lain merasa memiliki hak untuk menyiarkan agamanya sejauh jangkauan yang bisa dijangkau. Saling klain keberhakan ini tak menemukan ujung.
Apakah hanya Indonesia yang mengatur toa Masjid ?
Sebelum Indonesia, jauh-jauh hari beberapa negara Arab sudah lebih dulu mengatur penggunaan toa masjid. Misalnya Arab Saudi, Negara dengan mayoritas muslim ini sudah memberlakukan aturan terkait toa masjid jauh sebelum Kementerian Agama kita mengumumkannya. Tujuannya pun sama adalah untuk menjaga keharmonisan sehingga tidak ada yang merasa terganggu dengan volume toa, terutama bagi mereka yang sakit dan membutuhkan istirahat. [2] Saudi tak melarang warganya untuk mengumandangkan azan, azan tetap berkumandang dengan volume yang diatur sehingga tak menimbulkan gangguan bagi mereka yang di luar masjid.
Sebelum polemik Surat Edaran Kemenag, masih ingat dengan kasus Meiliana seorang non muslim ? Di tahun 2016 massa di Sumatera Utara menggeruduk rumah seorang ibu bernama Meiliana yang saat itu mengeluhkan toa masjid kepada tetangganya. Keluhan itu disebarkan tetangganya dan meluas di tengah masyarakat Tanjung Balai, Sumatera Utara dan berujung kerusuhan massa yang menuntut Meiliana diadili karena telah melecehkan salahsatu agama di Indonesia. Keluhan Meiliana pun bukannya mendapat tanggapan serius sebagai awal untuk intropeksi cara beragama yang tak mengganggu orang lain, justru berujung bui 1,5 tahun penjara. [3]
Kaidah Laa Dharar walaa Diraar
Terkait penggunaan toa masjid untuk keperluan azan, ulama Syiah pun telah membahasnya. Ayatullah Ali Khamenei : Tidak masalah menyiarkan azan Subuh menggunakan speaker masjid dengan tujuan untuk mengabarkan masuknya waktu shalat. Tetapi, menyiarkan suara tilawah ayat suci Al-Quran dan doa-doa menggunakan speaker masjid, dan mengganggu tetangga, tidak ada penjelasan syar’inya. Tapi ada isykalnya. [4]
Ayatullah Makarim Syirazi : Menyiarkan azan Subuh, Dhuhur dan Magrib menggunakan speaker masjid tidaklah masalah. Akan tetapi untuk selain azan bisa menggunakan speaker dalam. [ibid]
Hampir mayoritas ulama Syiah membolehkan penggunakan toa masjid untuk keperluan azan, sedangkan untuk urusan-urusan lain seperti pengajian, tilawah Quran dan sebagainya hendaknya menggunakan speaker dalam untuk menghindari terganggunya orang lain yang mungkin sakit dan ingin istirahat.
Dalam fikih Sunni maupun Syiah terdapat satu kaidah yang bernama Laa Dharar walaa Dhirar. Kaidah ini berasal dari hadis Nabi Muhammad Saw yang sering disebutkan oleh beliau, “Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan.” ( HR. Hakim dari Ibnu Majah dari Ibnu Abbas). [5]
Dalam literature Syiah kaidah ini juga termasuk dalam kaidah fikih yang paling penting, baik dalam masalah-masalah ibadah maupun muamalah.
Dharar artinya adalah kekurangan atau kerugian (naqs) yang masuk ke dalam sesuatu. Makna lainnya bisa adalah lawan dari manfaat. Dan yang ada di riwayat adalah Laa Dharar, artinya seseorang tidak akan menyakiti seseorang yang menyebabkan ia menjadi rugi. Sedangkan Dhirar masuk wazan fi’al masdar dari bab Mafa’il. Bab tersebut menunjukkan arti saling. Maka Dhirar disini artinya adalah saling membuat rugi satu sama lain. [6]
Adapun argumentasi untuk kaidah ini adalah :
- Akal, salahsatu argument penting untuk menguatkan posisi kaidah ini. Kaidah ini bahkan bisa dikategorikan sebagai mustaqilaat aqliyah, yang mana sudah jelas menurut akal tanpa perlu penjelasan syari.
- Ayat dan riwayat :
Ayat, Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 231 yang berbunyi, ولا تمسكوهن ضرارا لتعتدوا
…” Janganlah kamu menahan mereka dengan maksud untuk menyakiti mereka…”
Kemudian dalam surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi,
لا تضار والدة بولدها و لا مولود له بولده
“ …Janganlan seorang ibu menderita karena anaknya, dan jangan pula (menderita) seorang ayah karena anaknya…”
- Dan riwayat-riwayat lainnya.
Diriwayatkan dari Imam Jafar bin Muhammad ada seseorang yang menghadap beliau dan bertanya, “ Terkadang tembok antar tetangga itu satu, tapi terkadang salah satu dari mereka keras tabiat dan merusak tembok. Karena hal ini menyebabkan tetangganya terganggu.” Imam menjawab, “ Jika ia merusak tembok tanpa alasan yang jelas, maka ia wajib memperbaikinya kembali. “ [7]
Berkaca pada fatwa-fatwa ulama, begitu juga dengan ayat dan hadis Ahlulbait, mengganggu orang lain bukanlah perkara yang bisa dianggap sepele. Maka selayaknya sebagai umat Islam, alih-alih ingin menyiarkan ajaran Islam sebaiknya kita berkaca apakah syiar yang ingin disampaikan ini telah menggunakan cara-cara yang tak mengganggu orang lain ataukah tidak ? (aen)
REFERENSI :
[4] https://www.islamquest.net/fa/archive/fa34220
[5] http://kaidahfiqihweb.blogspot.com/2016/10/tidak-memadaratkan-dan-tidak.html?m=1
[6] ابن اثير جزري , النهاية في غريب الحديث و الاثر , ج 3, ص 81 , قم , مؤسسة اسماعليان
[8] دعائم الاسلام , قاضى نعمان مصرى , ج 2 , ص 504, كتاب القسمة و البنيان, ح 1805