Degradasi Akhlak Ulama Di Masyarakat Kita
Kalau kita melihat dari literatur yang ada, pembahasan tentang adab dan akhlak seorang ulama banyak terlupakan. Kita semua mengetahui bahwa derajat ulama sangat tinggi satu derajat dibawah nabi. Karena derajat tersebut ulama tidak dapat disentuh oleh orang biasa atau karena sedikitnya modal keilmuan sehingga enggan untuk mengkritiknya. Kalau kita melihat literatur yang berkembang, justru banyak membahas mengenai bagaimana akhlak dan adab kita terhadap ulama. Secara umum kedua hal tersebut tidak bertentangan bahkan patut dibudidayakan.
Ulama juga dikenal dengan sebutan kyai dalam masyarakat Indonesia. Gelar kyai diberikan melalui proses yang tak jauh berbeda dengan ulama. Namun, gelar ini menjadi umum dikalangan umat Islam, karena gelar yang didapat bukan karena hasil dari pendidikan tinggi, akan tetapi diberikan karena warisan dari orang tua yang menyandang gelar tersebut. Gelar ini biasanya diberikan kepada anak dari pemilik pondok pesantren. Tak banyak yang bergelar kyai warisan ini menjadi ketua preman, dan bahkan pecandu narkoba.
Secara umum ulama adalah orang yang ahli dibidang keagamaan atau seseorang yang mempunyai keahlian dibidang menafsirkan suatu ayat suci maupun hadis. Ulama sebagai pengganti para nabi, ulama sendiri mempunyai tempat yang tinggi setingkat dibawah nabi. Maka, peran ulama mempunyai keunggulan tersendiri dibanding profesi lain, dimana dapat membawa masyarakat ke jalan yang lurus memeluk agama agar mendapat hidayah menuju surga-Nya.
Dari penjabaran diatas mari kita bahas mengenai ulama yang layak untuk dihadirkan sebagai guru yang dapat mengayomi umat Islam. Berangkat dari itu semua, penulis membawakan sebuah hadis masyhur yang juga pernah dibawa oleh Imam Khomaini sebagai tolak ukur keulamaan dalam masyarakat di negeri Mullah tersebut.
“Seorang ulama yang fasik dan rusak akan bertanggungjawab dalam membawa kerusakan dunia. Oleh karena itu, apabila alim ulamanya rusak, maka akan rusak pula dunia ini seluruhnya.”
Di Indonesia kita mempunyai ulama panutan, Prof Quraish Shihab dalam perjalanan karirnya sudah banyak menorehkan prestasi dibidang keagamaan. Tafsir Al-Mizbah adalah sebuah karya spektakuler menjadi kebanggaan cendikiawan nusantara sebagai rujukan mereka dibidang ilmu tafsir. Ia dengan status keilmuan yang demikian, mengintrepretasikan ulama sebagai pengganti nabi. Ia sendiri tidak pernah menganggap dirinya sebagai ulama, walau kita sudah menganggapnya sebagai ulama, dan bahkan ulama dari Iran mengatakan setingkat Ayatullah bersama saudaranya mantan ketua MUI Pusat, Prof Umar Shihab.
Perbedaan ini sangat jauh dengan seseorang yang hanya bermodal serban dan jubah. Minimnya prestasi keilmuan lalu dengan mudah mengaku sebagai ulama. Sedangkan ulama merupakan bagian dari penerus cita para nabi, pengemban risalah ilahi yang mempunyai tanggungjawab besar dihadapan Allah Swt.
Dalam sejarahnya, ulama selalu menjadi panutan masyarakat dalam menjawab persoalan keimanan dan ketakwaan agar dapat menjalankan ritual-ritual sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Qur’an. Sedangkan Nabi Muhammad Saw diturunkan untuk menyempurnakan akhlak sebagai teladan bagi mereka. Namun, tidak semua yang menyandang gelar ini sesuai dengan cita para nabi tersebut.
Muhammad Abdul Wahhab merupakan ulama yang dipopulerkan sejak abad ke-17 oleh kelompok Salafi. Abdul Wahhab banyak mengikuti pemikiran Ahmad bin Hanbal yang menafsirkan Keesaan Allah (Tauhid) secara jumud dan primitif. Sehingga dengan ajarannya tersebut banyak menciptakan umat Islam yang fanatik. Dari aliran ini pula muncul gerakan pasukan keagamaan (baca: teroris berjubah) dengan dalil dan referensi dari kedua ulama tersebut pada saat itu.
Demi melancarkan kepentingan politik di Jazirah Arab, keluarga pemberontak yang mengatasnamakan keluarga Al-Saud mengangkat Abdul Wahhab sebagai mufti. Dari kelompok tersebut, bersama pasukan keagamaan muncul gerakan keagamaan dan mendirikan Daulah Su’udiyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Saudi Arabia.
Paham ini meluas ke seluruh daratan Timur Tengah yang banyak diserap oleh orang bertaklid buta. Dan memang paham ini mendoktrin dan merekrut masyarakat lugu yang tak kritis atau yang tak ingin mencari tahu atas kebenaran. Paham ini pula yang mengajarkan larangan untuk menggunakan logika sebagai alat berpikir, larangan mengkritik ulama serta menjadikan kehendak ulama sebagai dasar diatas segalanya.
Iran menjadikan ulama sebagai pemimpin karena masyarakatnya menghendaki, itu pun melalui proses demokrasi. Disana 98% masyarakaatnya mayoritas muslim syiah. Jauh berbeda dengan di Indonesia yang mudah dibenturkan dengan polemik komunal karena banyaknya perbedaan agama, suku, budaya dan antar golongan. Tidak memungkinkan ulama dari umat Islam dijadikan sebagai pemimpin, kecuali masyarakat bisa menerima ulama tersebut. Artinya, di Indonesia masyarakat banyak yang tidak menghendaki ulama sebagai pemimipin. Tentu setiap keyakinan dan paham suatu aliran mempunyai perbedaan fundamental yang bisa saling bertentangan dengan pola kepemimpinan tersebut.
Kemungkinan ulama menjadi pemimpin itu bisa saja terjadi. Dengan catatan ulama itu sudah sah menjadi perwakilan Tuhan yang resmi. Namun, sayangnya banyak ulama memaksakan menjadi ulama sebagai perwakilan Tuhan. Dimana akibatnya akan menebar polemik dan pemaksaan secara massal untuk memahami sesuatu yang telah ditolak di kalangan masyarakat yang beragam. Akhirnya keluar ajakan dengan kata-kata kotor yang keluar dari norma agama itu sendiri. Dengan menjual ayat suci dan mendoakan orang masuk neraka serta ancaman dengan kekerasan apabila tidak mengikuti ulama tersebut. Pengaruh Abdul Wahhab dan pemikiran Ahmad bin Hambal dengan pemikiran yang jumud dan primitif mendarahdaging dikalangan umat Islam. Ulama seperti ini yang perlu diwaspadai bersama.
Ulama yang tidak dapat dikritik ketika mempunyai integritas tinggi dihadapan masyarakat, semua masyarakat akan sungkan dan menghormatinya selayaknya alim ulama sebagaimana mestinya. Al-Ustadz Al-Mukarram Habib Muhammad Lutfi bin Yahya sudah sampai ke tingkat derajat itu, namun ia tidak pernah menyatakan dirinya sebagai perwakilan resmi dari Tuhan. Ulama yang beradab akan diterima di masyakarat, ketika ulamanya tidak beradab maka akan dimarginalkan dan dianggap sebagai benalu ditengah kehidupan masyarakat.
Ajaran Islam mempunyai tiga intisari; akidah, akhlak, syariah (fiqih). Ketiganya menjadi bagian dari kumparan ideologi. Jika satu salah satunya lemah atau rusak maka akan mempengaruhi kumparan ideologi tersebut. Begitu lah Islam,..
Bersambung…
Oleh: H. A. Shahab
Pengamat Politik dan Budaya