FITNAH NEGERI
Pergolakan dunia internasional akhir-akhir ini, sangat berpengaruh terhadap kondisi Tanah Air kita. Situasi sosio-politik nasional kita masih terus bergejolak. Sentimen SARA masih menjadi isu menarik bagi provokator yang ingin negeri ini carut-marut. Fitnah SARA masih sangat dominan di negeri ini. Sedang sabda Rasulullah saw berkaitan dengan fitnah, “Sungguh sepeninggalku, umatku akan tertimpa berbagai fitnah (ujian .red) bagaikan tengah malam yang gelap-gulita. Saat itu, seseorang paginya tergolong orang mukmin, namun sore berubah menjadi kafir. Sorenya mukmin, menjelang pagi menjadi kafir. Mereka jual agamanya dengan keuntungan duniawi yang minim.”[1] Jadi menurut Rasul, orang mukmin pun dapat berubah disebabkan api fitnah, jika tidak selalu waspada dan mawas diri.
Islam selayaknya sebagai ‘jalan hidup’ (Way of Life), bukan hanya sekedar menjadi bahan kebanggaan. Ajaran Islam harus implementasi dalam kehidupan keseharian. Tanpa itu, kaum muslimin akan jauh dari Islam. Islam yang disebut agama luhur, tiada yang lebih luhur darinya (ya’lu wala yu’la alaihi), akan berbeda dengan realita kondisi kaum muslimin yang identik dengan kenegatifan. Untuk itu, terkadang kita harus bedakan antara Islam dan Kaum Muslimin.
Kenapa hal itu terjadi? Karena mayoritas kaum muslimin tidak konsisten dengan ke-Islam-annya. Mereka terasing dari hakekat agamanya, sebagaimana ‘Islam Sejati’ pun di mata mereka nampak asing. Ini yang sudah diprediksi oleh Al-Imam Ali bin Abi Thalib : “Sesungguhnya Islam diawali dengan keterasingan, dan akan kembali terasing, sebagaimana awalnya. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing.”[2] Maksud dari orang-orang yang terasing tadi tiada lain adalah orang yang masih konsisten dengan ‘Islam Sejati’ (Islam Muhammadi), yang mungkin berjumlah sangat sedikit (minoritas).
Sebagian orang bangga dengan realita muslim Indonesia, di mana ‘syiar Islam’ nampak sangat tumbuh pesat. Masjid bermunculan, pesantren banyak, sekolah formal bernuansa Islam pun tumbuh berkembang, dan lainnya. Walaupun itu semua bagus, namun tidak cukup. Karena semarak keislaman zahir belum tentu mencerminkan substansi keislaman itu sendiri.
Salah satu target utama musuh Islam bukan sekedar pemurtadan agama, karena sebagian agama tidak perlu ekspansi pengikut. Lihat bagaimana realita agama Yahudi yang berkembang melalui keturunan. Mereka tidak perlu Yahudisasi. Namun ketika Allah swt dalam Al-Qur’an berfirman, “Yahudi dan Nasrani tiada akan pernah ridho padamu, hingga kamu mengikuti millah mereka”.[3] Millah dalam ayat ini bukan berarti agama yang sering dipahami kaum awam, namun lebih kepada arti ideologi (pemikiran). Dalam kajian ‘Filsafat Agama’, makna ideologi lebih umum dari agama. Oleh karenanya, tidak semua non-muslim yang memusuhi Islam ingin agar kaum muslimin pindah agama. Namun yang mereka inginkan adalah, walau kaum muslimin tetap beragama Islam, hanya saja ‘Islam versi mereka’. Ini yang diistilahkan dengan ‘Islam Hiruk-Pikuk’ (Islam Zahir), yang lebih menonjolkan sisi zahir ketimbang substansi ajarannya (Islam Sejati).
Mari kita simak, prediksi Imam Ali bin Abi Thalib tentang maraknya kemunculan ‘Islam Hiruk-Pikuk’ di akhir zaman. Beliau berkata, “Akan datang kepada kalian suatu zaman di mana Al-Qur’an hanya tinggal bentuknya saja, sedang Islam hanya tinggal namanya saja. Masjid-masjid mereka nampak megah, namun mereka rapuh dari petunjuk (hidayah). Para pembangunnya pun adalah orang-orang yang paling jahat. Fitnah muncul dari mereka, dan kesalahan berlindung kepada mereka. Mereka menolak orang-orang yang berbeda di dalam masjid (sesama muslim .red), dan menarik orang yang berada dari luar masjid. Allah swt berfirman, “Sumpah demi Diri-Ku, Aku akan turunkan kepada mereka fitnah yang orang sabar tetap dalam kondisi kebingungan di dalamnya.” Dan itu telah Allah lakukan. Maka Kita memohon ampun kepada Allah atas ketergelinciran dan kelalaian.”[4]
Sedang di kesempatan lain, Imam Ali berkata, “…Janganlah terpesona dengan banyaknya masjid dan kumpulan kaum-kaum. Karena badan-badan mereka bersatu, namun hati mereka bercerai-berai.” Lantas beliau ditanya tentang tanda orang-orang mukmin di zaman itu. Beliau menjawab, “Yaitu yang memandang kebenaran dari Allah yang diwajibkan atasnya, lantas ia mengikutinya. Sebagaimana ia melihat apapun yang bertentangan dengan kebenaran, lantas ia berlepas diri darinya, walau berasal dari kerabat yang ia kasihi.”[5]
Ini semua adalah contoh dari potret kondisi kaum muslimin di akhir zaman seperti sekarang ini, di mana ‘Islam Hiruk-Pikuk’ lebih banyak jumlahnya ketimbang ‘Islam Sejati’. Lantas masihkah kita cenderung kepada ‘kuantitas’ dibanding dengan ‘kualitas’? Lantas masihkah kita bangga dengan sebutan ‘mayoritas’ –yang sebagian orang bodoh- lantas cenderung meremehkan ‘minoritas’? Apalah arti ‘buih di lautan’. Ditambah lagi, Al-Qur’an -pedoman utama kita- selalu mengidentikkan ‘mayoritas’ dengan hal negatif, sedang ‘minoritas’ dengan hal positif.
Untuk memproteksi diri dari api fitnah yang akan menyerang setiap manusia akhir zaman, tiada jalan lain selain dengan menjaga ketakwaan. Karena dengan ketakwaan, kita tahu mana yang benar (haq) dan yang salah (bathil), mana hakekat keadilan dan mana yang kezaliman dikemas, mana yang ‘Islam Sejati’ dan mana kemunafikan berbalut Islam, dan lainnya. Hal itu sebagaimana yang telah disinggung oleh Allah swt dalam kitab-Nya, “Wahai orag-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan bagi kalian pembeda…”[6] Sebagaimana Imam Ali dalam mutiara hikmahnya berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya yang bertakwa kepada Allah, maka akan Allah jadikan jalan keluar dari segala fitnah, dan sebagai cahaya dari beragam kegelapan.”[7]
Dalam kondisi bangsa yang terus dirundung fitnah ini, selayaknya kita terus menjaga ketakwaan dan keimanan kita. Coba kita cek kembali amal-ibadah kita keseharian, sudah ideal kah? Sehingga ayat ini layak tertuju ‘untuk kita’, atau ‘atas kita’, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya telah Kami uji orang-orang sebelum mereka. Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar (atas klaimnya .red), sebagaimana mengetahui orang-orang pendusta.”[8]
Dengan melalui ketakwaan inilah, negara adil dan makmur yang didambakan setiap bangsa akan terwujud, sebagaimana firman Allah swt, “Dan jika penduduk beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi karena mereka mendustakan (ayat-ayat Kami .red) maka Kami siksa mereka, sesuai apa yang telah mereka kerjakan.”[9]
{By: Mukhtar Luthfi.MA}
[1] Kanzul-Ummal, Muttaqi Al-Hindi Al-Hanafi, hadis ke-30893
[2] Biharul-Anwar, M.Baqir Al-Majlisi, 8/120
[3] QS Al-Baqarah:120
[4] Nahjul-Balaghah, Khutbah ke-369
[5] Aamaali As-Shoduq, Muhammad bin Babawaih, 422/560
[6] QS Al-Anfal:29
[7] Nahjul-Balaghah, Khutbah ke-183
[8] QS Al-Ankabut:21
[9] QS Al-A’raf:96