Gibah (Bag. 2)
Oleh: Husein Alwi
Proporsi Gibah
Pada artikel sebelumnya terdapat penjelasan mengenai gibah di masyarakat, pengertian gibah dan penyalahgunaan gibah. Dan di artikel ini akan membahas gibah secara lebih khusus. Namun sebagai pengantar, Imam Jakfar Shadiq as mengenai pembahasan status sosial orang fasik lebih konkret menjelaskan demikian, “jika seorang fasik menampakkan kemurkaan, dia tak punya hak untuk dihormati dan jika digunjing bukan termasuk gibah.”[1]
Imam Ali Ridho as juga lebih menekankan di hadis yang sama dengan mengatakan demikian, “gibah tidak berlaku bagi seorang pengumbar tabir aib.”[2]
Beberapa hadis lain juga memiliki spesifikasi dengan tema yang mirip. Penjelasan dalam hadis-hadis tersebut menyebutkan gibah menurut konsep deskripsi, namun secara konsep aktual sebagai penolakan dan tidak terdapat negasi.
Hal ini digambarkan dengan baik jika seseorang melakukan dosa dengan tersembunyi, gibah tentangnya tidak diperbolehkan dan bahkan merupakan dosa besar jika digibah. Dan sebagai pembahasan yang lebih khusus, gibah seorang fasik hanya boleh digibah pada perbuatan yang ditampakkannya saja, bukan berarti semua perbuatannya boleh digibah. Hal ini perlu digarisbawahi mengenai pembahasan sebelumnya tentang gibah seorang tokoh yang mempunyai pengaruh terhadap hubungan sosial masyarakat .
Artinya, gibah memiliki proporsi tertentu dimana tidak semua amal perbuatan seseorang boleh digibah. Sementara dalam kehidupan sosial ini sering terjadi. Seseorang yang tadinya menjadi tempat curahan hati sahabatnya namun justru disebarkan kepada orang lain. Bahkan, saking keasikan gibah dibumbui dengan hal lain sehingga menjadi sebuah fitnah.
Setelah kita ketahui, menjaga gibah cukup dengan menggunakan nalar saja. Karena gibah dianggap sebagai bentuk penindasan dan kezaliman terhadap seseorang dengan membongkar rahasianya, membuka aib dan dapat merusak reputasinya. Siapapun dapat berpikir bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela.
Tanpa diragukan pada bagian ini bukan lagi membahas mengenai perbedaan antara pelaku kejahatan maupun kebajikan. Kecuali dalam beberapa kasus gibah bisa menjadi sebab untuk mencegah terhadap hal buruk yang lebih besar. Atau juga menghindari ancaman di kalangan masyarakat sosial dari bahaya dan kerugian. Maka, proporsi gibah bukan sekedar pembahasan mengenai antara orang fasik maupun yang tidak.
Gibah Menurut Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa macam ayat yang menjelaskan mengenai gibah termasuk penekanan terhadap aturan-aturan yang ada dalam ayat tersebut. Allah dalam firman-Nya menyebutkan “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang lain dan janganlah diantara kalian saling gibah satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian akan merasa jijik.”[3]
Dalam kandungan ayat tersebut terdapat tiga inti larangan yang memiliki sebab akibat satu sama lain yaitu prasangka buruk, mencari tahu aib dari rahasia seseorang dan perbuatan gibah. Terlihat jelas saat manusia mempunyai prasangka buruk dapat memicu dirinya untuk menyelidiki rahasia seseorang. Tentu setiap manusia memiliki aib dan kelemahan yang tersembunyi. Dengan menyelidiki aib dan rahasia seseorang dapat menyebabkan orang tersebut melakukan gibah.
Dalam hal ini terdapat kiasan mengenai seseorang yang suka gibah. Korban gibah tentu sedang tidak hadir saat digibah dimana ia seperti halnya mayat yang lemah tanpa memiliki kekuatan untuk melawan. Sementara menyerang orang lemah merupakan perbuatan dari pribadi seorang pengecut. Maka tukang gibah dapat dikategorikan sebagai orang lemah dan cacat mental, karena tidak memiliki keberanian menghadapi masalah. Oleh karena itu, ia hanya berani menyerang jasad saudaranya sendiri tanpa ada perlawanan.
Pada ayat yang lain Allah berfirman, “celakalah bagi orang yang terbiasa mencela dan menceritakan aib orang lain”.[4]
Garis besar dalam ayat tersebut terdapat ancaman bagi pencela dan tukang gibah. Para ahli tafsir mengatakan bahwa kedua perilaku mewakili kejahilan, kemurkaan dan arogansi. Sedangkan perilaku tersebut dapat mengganggu dan menganiaya orang lain. Selain itu, dalam diri setiap pelaku gibah terdapat segala jenis kebohongan dengan mengupas kejelekan orang lain demi menunjukkan keunggulan dirinya.
Allah swt berfirman, “sesungguhnya orang-orang yang suka menyebarkan keburukan di kalangan orang-orang Mukmin akan mendapatkan siksa yang menyakitkan di dunia dengan hukum yang telah ditentukan. Sedangkan di akhirat, ia akan memperoleh siksa neraka, jika mereka tidak segera bertobat. Dan Allah sungguh Maha Mengetahui segala kondisi kalian, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, sedang kalian tidak tahu apa yang diketahui oleh Allah.”[5]
Riwayat dan Hadis Gibah
Suatu hari Rasulallah Saw berkhotbah dengan suara lantang dari dalam mesjid. Hal ini dilakukan supaya sampai ke telinga para wanita dan istri hadirin yang tinggal di sekitar situ. Dalam khotbahnya Beliau mengatakan, “wahai kelompok yang beriman dengan mulutnya namun tidak dengan hatinya, janganlah kalian gibah muslimin, dan janganlah kalian mencoba untuk mencari aib-aib mereka, karena bagi setiap orang yang mencari aib-aib saudara muslimnya, Allah akan segera membuka aib-aibnya dan akan mengeluarkan aib-aib tersebut dari dalam rumahnya.”[6]
Pada kesempatan yang sama Rasulallah melanjutkan khotbahnya mengenai pentingnya mengetahui dosa riba. Beliau menjelaskan bahwa dosa satu dirham riba lebih buruk dari tiga puluh enam kali berzina. Lalu Rasul melanjutkan dengan bersabda, “dan paling buruknya riba adalah merusak reputasi saudaranya sendiri dengan cara gibah dan sebagainya.”
Interpretasi mengenai pentingnya mengetahui dosa gibah dalam proporsi zina banyak terdapat dalam beberapa riwayat. Sebagian riwayat mendefinisikan bahwa zina termasuk perbuatan yang dapat diampuni jika segera bertobat. Namun berbeda dengan pelaku gibah karena merusak reputasi dan hak orang lain. Maka Allah tidak akan memberikan ampunan kecuali orang yang digibah mengampuninya.[7]
Imam Ali as mengenai dosa seorang ahli gibah juga mengibaratkan demikian, “gibah adalah makanan anjing di neraka”. Ibarat dari Imam Ali ini memiliki interpretasi mengenai dosa orang yang ahli gibah. Sebenarnya anjing bukanlah hewan yang tinggal di neraka, namun anjing yang dimaksud adalah manusia pemakan bangkai saudaranya sendiri yang menyerupai anjing. Artinya, setiap orang yang ahli gibah akan ditempatkan di neraka.
Bersambung..
Sumber:
[1] Biharul Anwar, Jilid 72, Hal. 253
[2] Ibid, Hal. 260
[3] Surat Al-Hujarat, Ayat 12.
[4] Surat Al-Humazah, Ayat 1.
[5] Surat An-Nur, Ayat 19
[6] Jami’ Al-Sa’adat, Jilid 2, Hal. 303
[7] Wasail Al-Syiah, Jilid 8, Hal. 601, Hadist 18