Henas dalam Bingkai Realisme Religius (Seri 2)
Realisme film itu seperti apa ?
MM-Bagi yang tidak terbisa genre film realisme, menonton Henas akan membosankan. Tapi bagi yang sudah terbiasa, akan menikmati batas tipis antara tontonan dan kenyataan. Realisme film adalah dunia nyata apa yang kita lihat, dengar dan rasakan setiap hari. Menunjukkan kepada penonton dunia sebagaimana adanya tanpa campur tangan trik atau ilusi sinematik tambahan.
Realisme terkadang dilawankan dengan surrealisme, realitas yang sepenuhnya kreatifitas absurd, tidak masuk akal, tidak faktual, dan cenderung mengolok olok realitas. Tidak percaya realitas apa adanya. Penuh dramatisasi, tragedi, katastropi, tipikal “box office hollywood movies”. Aplikasi dari sofisme dan relatifitas absolut dalam sinema.
Teknik realisme tidak ingin memanipulasi realitas supaya terlihat lebih baik atau lebih buruk dari yang sebenarnya. Fokusnya pada penggambaran peristiwa yang akurat. Dapat dicapai dengan menggunakan pencahayaan alami, syuting di TKP dan membuat semua aktor berakting secara alami. Memungkinkan penonton melihat persis seperti apa yang terjadi dan tidak menonton manipulasi sinematik untuk tujuan hiburan. Jadi, realisme film semacam “live event” masyarakat. Biasanya film ini berbudget rendah dan memainkan aktor amatir.
Jadi, realisme film semacam cerminan dari dunia di sekitar kita. Beberapa seniman dan filsuf tidak percaya adanya realisme, atau realitas yang betul betul indepen dari presepsi manusia. Tidak ada “kenyataan” objektif. Nah realisme sinema memberi pesan bahwa kata-kata yang Anda baca adalah kata-kata yang saya tulis-satu irama realitas.
Realisme film dari sisi visi ada dua jenis, humanis murni dan humanis-religius. Para penguasa Iran paska Revolusi 1979 mengarahkan produk film nasional ke arah realisme religius. Realitas religius yang berbasis pada kenyataan masyarakat Iran yang bervisi revolusi. Dunia ideal tapi nyata, Republik Islam Iran (RRI). Realitas bahwa para syahid terus hidup dalam alam barzah dan dunia. Para syuhada yang akan terus bertambah seiring dengan gerak ikhtiar revolusi.
Sebuah realitas yang dalam bahasa filsafat memiliki realitas kuat karena terbukti sendiri (self evident based). Jika masih perlu pembuktian maka, bobot level realitasnya menjadi turun. Sementara realitas religius adalah sebuah realitas yang kehakikianya tidak bergantung sama sekali dengan manusia, tapi justru menjadi sumber kebergantungan- realitas Tuhan. Horizon area kebergantungan itulah yang disebut kepingan realisme religius. Jadi Henas adalah cermin diri dan masyarakat, suatu kepingan manifestasi realitas religius yang memancar dari masyarakat produk Revolusi Islam Iran. Realitas kesyahidan yang kefaktualan dan relasinya tanpa putus dengan penonton kontemporer.
Realisme Dariush dan Shohreh
Baik dalam dunia realisme sinema dan kenyataan, tokoh Dariush dan Sohreh adalah faktual. Realitas Dariush yang ditembak enam kali itu nyata. Amis darah mayat korban serangan Irak di Abanan yang dilihat Dariush nyata. Armitha yang berumur 4.5 tahun melihat ayahnya di tembak didepanya itu nyata. Jerit panik Sohreh melihat darah Dariush nyata. Film Henas artinya kepingan cita-cita Revolusi yang harus ditanggung warganya, cermin dan dedikasi dari kepatuhan nilai sakral.
Sohreh Sang Idola Nyata
Realisme Henas, tak terkecuali, sebagai upaya sutradara menampilkan karakter Shohreh kepada penonton dari satu level kebenaran menuju level kebenaran yang lebih tinggi melalui dialog drama keluarga yang hidup (real live).
Jika kita perhatikan dengan jeli, hampir seluruh film Iran bertutur dengan gaya realis. Polos, jalan cerita terbuka, batas tipis antar akting dan kenyataan. Naskah cerita di adopsi dari dunia nyata, simpel, kebanyakan berakhir pada ending yang menggantung. Namun, Henas tidak demikian karena berbasis kenyataan historis kejadian sebelumnya. Shohreh adalah tokoh nyata, representasi ibu-ibu masyarakat Iran yang menghiasi gemerlap “idol” ala Iran.
Sebagian kritikus Henas kesal dengan penampilan dominan dari sosok Sohreh yang melankolik. Memang Shohreh berhasil memerankan tipikal ibu ibu yang membuat kesal para pendukung revolusi.
Seolah mengatakan bahwa kredebilitas suaminya, Darius sebagai ilmuan martir di rusak oleh penampilan Sohreh. Karakter Darius yang seharusnya menjadi “super hero”, dari satu tahapan ke tahapan dalam setiap adegan tidak terlihat menjadi pembenaran logis atas sikapnya, tidak tergambar dalam film.
Tapi bagi saya tidak demikian. Naskah yang dianggap tidak dipersiapkan dengan baik oleh para kritikus, justru menjadi naskah yang matang. Olehkarena naskah dan penyutradaraan aktor (Sohreh) memang disengaja untuk memahamkan penonton kebanyakan, terutama tarjet utama ibu ibu rumah tangga. Pilihan ini murni dari penuturan faktual Sohreh sesuai apa yang dialaminya.
Dari adegan awal film hingga sebelum dialog di balkon apartmen, tidak menggambarkan sosok Shohreh tipikal ibu rumah tangga yang terdidik dalam lingkuangan religius. Dia justru menjadi representasi ibu-ibu yang jauh dari aroma nasionalisme, kemandirian dan kedaulatan bangsa.
Bahkan Dariush juga tidak digambarkan sebagai sosok religius, misalnya sebagai aktifis muslim yang terikat dengan cita-cita revolusi Iran. Militansi Dariush terdidik-terbangun seolah hanya dari kenangan saat tanganya di pegang sang ayah saat berjalan di Abdanan, melihat korban serangan Irak yang mengerikan. Kenangan duka ini membuat Darius mengalami trauma positif-eksistensial-religius. Potongan adegan inilah yang membalut ruh misteri seluruh cerita.
Dari titik ini pula keuntungan sutradara lancar menampilkan Dariush apa adanya, sehingga kesan film propaganda revolusi Islam yang dipaksakan tidak terjadi. Kejadian perang Irak-Iran bukan keinginan pemimpin dan masyarakat Iran, tapi ujian bagi seluruh warga Republik Islam Iran (RII) dibawah bendera Revolusi.
Detik detik kematian Darius yang sudah di ketahui Suhrieh dan usahanya meyakinkan Darius untuk mundur dari kantor keamanan dan energi nuklir Iran selalu menemui kegagalan. Suhreh sebagaimana ibu ibu rumah tangga mendambakan kesehatan, ketenangan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Harapan inilah sebagai sindiran bagi kebanyakan penonton, terutama ibu ibu.
Dariush dibujuk Sohreh pindah pekerjaan mati matian. Membuka toko, mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahilanya. Namun Dariush bersikeras tidak mau. Shohreh sejak awal sudah membayangkan kehidupan keluarga yang nyaman di Jerman. Tapi hanya karena satu telepon dari Dr. Saqiyan, hijrah ke Jerman jadi batal. Shohreh menjadi kecewa karena ketidakjelasan informasi, sehingga membuat dia penasaran dan berusaha melobi Dr. Saqiyan.
Dalam sebuah dialog sederhana dan berbobot, Shohreh meminta Dariush mengantar Armitha pergi dokter, tapi di tolak oleh Dariush. Darisanalah pergolakan ego Dariush muncul, ego sebagai kepala keluarga dan menjadi teladan kebanggan Armitha kelak yang akan menyaksikan progres sains Iran di hadapan kaum arogan. Shohreh sebelumnya sudah pergi mengantar surat pengunduran diri Dariush ke Dr. Saqiyan tanpa Dariush.
Sebuah dialog percekcokan antara istri dan suami seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari kita nampak profan, tapi mengantarkan pada perpisahan suci-kesyahidan.
Sohreh
“Hari ini aku akan membawa Armita ke dokter mata. Semua karyawan punya pilihan, kecuali dirimu. Jadi pekerjaanmu lebih penting daripada anakmu.
Dariush
“Ini bukan soal memilih, Aku harus menjalankan amanah pekerjaan.”
Tapi beri aku kesempatan beberapa hari ini saja, Aku berjanji setelah ini, kita akan liburan bersama. Kita akan pergi ke Abdanan seperti biasa. Itu akan mengubah suasana. “
Sohreh
“Kenapa kau bicara sesuatu yang tak mungkin terjadi?
Hanya dengan satu telpon, semuanya berantakan. Tolong katakan bagaimana seharusnya aku hidup denganmu? Kau bukan Darius yang dulu. Dariush yang dulu dengan lantang berkata, dunia tak ada artinya jika Shohreh tak Bahagia.“
Dariush
“Ini akan kukatakan lagi”.
Sohreh
“Tak perlu! Aku sudah tak lagi percaya omonganmu.”
Dariush
“Bukankah kau katakan bahwa kebahagianku itu sangat penting buatmu?”
Sohreh
“Lalu kenapa kau tak pergi ke Pak Saqiyan dan menyampaikan surat pengunduran diri?
Kalau kau tak bisa, biar aku yang melakukanya.”
Dariush
“Kau sedang mengancam aku? “
Sohreh
“Untuk kebahagiaan hidupku, anakku, dan suamiku, apapun akan kulakukan, Bahkan jika harus kulakukan sendiri.”
Dariush
“Sendirian?”
Sohreh
“ya sendirian”
Dariush
“Akulah yang selama 10 tahun ini menderita, Aku memikul beban ini sendirian, bukan kau….”
Sohreh
“Jadi selama 10 tahun ini aku tak mendampingimu, Darius!!! Baiklah, kau sudah berkata jujur.
Sejak saat ini aku ingin mendampingimu, Aku ingin meringankan bebanmu.”
Dariush
“Shohreh,… yang kulakukan selama ini demi ketenanganmu. Tapi yang terjadi justru kau telah mengambil semua dariku. Aku berharap kau bersikap lebih baik dari ini.”
Sohreh
“Harapanku darimu juga sangat besar. Aku ingin, kau mampu berdiri menghadapi semuanya seperti layaknya seorang lelaki. Seperti seorang lelaki sejati.”
Dariush pergi….. Shohreh menyesal dan mengirim pesan meminta maaf. Tapi belum selesai menulis, Agen Mossad menelpon Shohreh. Batas waktu 72 jam yang diberikan sudah berakhir.
Shuhreh di beri waktu untuk menyambungkan laptop Dariush ke internet.
Agen Mossad
“tunggu sampai 3 menit. Jika tidak,.. setelah 72 jam berlalu, maka petugas akan di alihkan ke orang lain,…. akan terjadi sesuatu yang buruk”