Ibnu Shayyad: dari Pengalaman Psikis sampai Keadilan Universal (2)
Dalam hadis digambarkan bagaimana observasi Nabi SAW atas Ibnu Shayyad itu melibatkan sekelompok sahabat besar, termasuk Abu Bakar, Umar, Ubay bin Kaeb, Abu Dzar dan Jabir sendiri. Sepertinya ada sesuatu yang penting yang menjadi fokus pikiran Nabi juga para sahabat hingga membutuhkan penyelidikan berulang itu. Apa sesuatu yang penting itu? Apakah sesuatu yang penting ini pengalaman magis Ibnu Shayyad? Kekuatan supranatural dan perilaku magis sudah dikenal di kalangan Arab. Nabi bersama sekelompok sahabat berbondong-bondong datang untuk memastikan suatu kenyataan yang, setidaknya, penting bagi mereka dan umatnya.
Perlu kiranya dimulai dari gejala awal yang mendorong mereka melakukan observasi berjamaah, yaitu hal-hal yang melekat pada Ibnu Shayyad seperti keberadaannya sebagai anak laki-laki yang lahir dari wanita Yahudi yang non-Muslim berada dalam lindungan kekuasaan Islam; anak kecil (ghulam) atau remaja yang mendekati usia balig; lahir dalam keadaan buta sebelah matanya (mamsuhah al-ayn) dan bernasib malang (tali’ah al-nab). Ciri-ciri ini juga terkait dengan identitas popular dari Dajjal, sebagaimana terdapat dalam banyak hadis (lih. Shahih Bukhari, no. 2829), dan karena itu dilakukan observasi. Observasi ini bahkan juga berlangsung secara tidak langsung. Dalam riwayat Abu Dzar, ia mengaku diutus oleh Nabi untuk menemui ibu dari Ibnu Shayyad untuk menanyainya tentang beberapa hal seperti: berapa ibunya mengandungnya dan bagaimana tangisan anaknya saat keluar lahir.
Berbeda dengan Ibnu Umar yang lebih banyak meriwayatkan hadis ini secara lebih singkat, Jabir menyatakan pengakuannya justru turut langsung dalam proses observasi bersama Nabi. Dia menyadari bahwa proses itu dalam rangka identifikasi Ibnu Shayyad sebagai Dajjal atau bukan. Dalam kesimpulannya, Ibnu Shayyad adalah Dajjal, “Rasulullah saw senantiasa yakin bahwa dia itu Dajjal.”
Apakah kesimpulan Jabir ini keliru? Apakah penilaian Muhammad Iqbal tentang para ahli hadis (bahwa mereka sama sekali salah paham hingga menafsirkannya menurut cara mereka sendiri yang polos) menyindir kesimpulan ini?
Dalam banyak hadis, Jabir tidak sendirian menyimpulkan demikian. Nama-nama besar lain dari sahabat Nabi tercatat punya keyakinan yang sama; ada Umar bin Khaththab (Shahih Muslim), Abu Dzar (al-Mu’jam al-Awsath), Ibnu Umar (Shahih Muslim, Shahih Ibn Hibban), termasuk pengakuan Ibnu Shayyad atau Ibnu Sha’id bila dirinya dipandang sebagai Dajjal oleh warga Madinah atau kaum Anshar atau umat Islam. Jabir dan Umar sampai-sampai bersumpah, bahkan Abu Dzar siap bersumpah sepuluh kali atas keyakinannya. Semua kesimpulan dan kesaksian di bawah sumpah ini menjadi dasar bagi para imam dan ahli hadis untuk menyimpulkan hal yang sama. Sebagian mereka, termasuk Imam Muslim, mencatat hadis-hadis Ibnu Shayyad atau Ibnu Sa’id dai bawah nama bab Dajjal.
Kiranya, Jabir tidak gegabah terkait masalah penting ini. Ia terlibat langsung dalam observasi karena rasa ingin tahu identitas Ibnu Shayyad. Dalam riwayat Jabir, nama Dajjal sudah muncul di awal, di pertengahan sampai di akhir riwayatnya. Sebelum ia menarik kesimpulan tadi sebagai penutup riwayat, Jabir menceritakan permintaan izin Umar kepada Nabi agar bisa memenggal lehernya saking jengkel terhadap respon lancang Ibnu Shayyad atau, kemungkinan besar, karena kesimpulannya bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Namun, Nabi menahannya dan mengatakan, “Jika dia adalah orang yang kamu takuti itu, kamu tidak bisa berbuat apa-apa.” Ini menunjukkan bahwa sahabat sudah punya data sebelumnya tentang seseorang yang menakutkan sehingga ikut observasi untuk memverifikasi kesamaan ciri-cirinya dengan diri Ibnu Shayyad.
Namun, kebanyakan riwayat menyebutkan cara Nabi menahan Umar dengan sabda ini, “Kalau ternyata dia itu adalah dia ini, maka kamu bukan lawannya, karena lawannya adalah Isa putra Maryam. Dan kalau ternyata dia itu bukan dia ini, kamu tidak berhak membunuh seseorang yang berada dalam perlindungan negeri Islam.” Yang dimaksud “dia ini” adalah Ibnu Shayyad sendiri. Lalu, siapa “dia itu”? Nabi sendiri yang mendefinisikannya, yaitu orang yang menjadi lawan Nabi Isa a.s., yang dalam keimanan Islam, akan hadir kembali dan berjuang bersama Imam Mahdi menegakkan keadilan universal sebelum usia dunia berakhir. Lawan Nabi Isa bersama Imam Mahdi adalah Dajjal. Uniknya, baik Isa juga Dajjal disebut sebagai almasih, Isa almasih karena pengelana alam, dan Dajjal almasih karena buta sebelah matanya yang merupakan salah satu ciri Ibnu Shayyad.
Sekali lagi, Nabi tidak pernah menyebut secara definitif Shayyad itu Dajjal. Definisi deskriptif dan indikasi umum seperti di atas juga dikuatkan oleh salah satu riwayat Ibnu Hibban dan Imam Bukhari dalam shahih mereka disebutkan sabda nabi di akhir hadis, “Ibnu Umar berkata, “Lalu Rasulullah SAW berdiri di tengah masyarakat, memuji Allah sebagaimana pujian yang layak untuk-Nya, kemudian menyinggung Dajjal, maka ia berkata, “Aku benar-benar memperingatkan kalian tentangnya. Tidak ada seorang nabi pun kecuali ia memperingatkan umatnya. Nuh sudah memperingatkan umatnya, tetapi aku akan mengatakan tentang dia kepada kalian suatu perkataan yang tidak dikatakan seorang nabi pun kepada umatnya, bahwa kalian akan tahu bahwa dia itu buta sebelah matanya. Sesungguhnya Allah tidak buta sebelah mata.”
Observasi Nabi ini, seperti yang digarisbawahi Muhammad Iqbal, betapa penting dan menentukan. Dari berbagai riwayat dapat disimpulkan bahwa observasi Nabi adalah upaya beliau dan para sahabat memgonfirmasi ciri-ciri Dajjal secara objektif dengan keadaan-keadaan objektif Ibnu Shayyad/Ibnu Sha’id. Argumentasi Ibnu Sha’id untuk meyakinkan Abu Sa’id Al Khudzri bahwa dirinya bukanlah Dajjal justru menguatkan verifikasi objektif Nabi dan para sahabat. Simak riwayat Imam Muslim (hadis no. 5210) berikut:
Abu Sa’id Al Khudri berkata, “Ibnu Sa’id berkata padaku, ‘Aku memaklumi orang-orang. Apa urusan kalian denganku, wahai sahabat-sahabat Muhammad? Bukankah nabi Allah SAW mengatakan bahwa dia (Dajjal) adalah Yahudi, sementara aku telah masuk Islam. Dia (Dajjal) tidak punya anak, sementara aku punya. Allah mengharamkan darinya (Dajjal) Makkah dan Madinah, sementara aku telah berhaji.’ …. Ia berkata, ‘Ingat, demi Allah, sesungguhnya aku tahu dimana sekarang dia (Dajjal) berada, aku mengetahui ayah dan ibunya.'” Abu Sa’id [Al Khudzri] berkata, “Ada yang berkata kepadanya, ‘Apa kamu senang bila kamu adalah orang itu (Dajjal)?’ Ia menjawab, ‘Jika aku ditawari, aku tidak keberatan.'”
Rangkaian dialog Nabi dan Ibnu Shayyad, pidato beliau di tengah masyarakat, kepelibatan para sahabat, dialog mereka sahabat dengannya semasa hidup Nabi dan setelahnya, termasuk argumentasi objektif Ibnu Shayyad di atas tadi, kian menguatkan observasi yang bersifat objektif. Terlepas dari identitas Ibnu Shayyad itu Dajjal atau bukan, masalah Dajjal adalah masalah umat dan dunia yang diajarkan untuk kelak diidentifikasi oleh umat dan dunia secara objektif melalui indikasi-indikasi yang objektif pula.
Maka, tidak seperti pemikir Pakistan ini yang mengidentifikasi objek observasi Nabi pada pengalaman mistis subjektif Ibnu Shayyad, identifikasinya ini tampak semacam reduksi masalah, atau glorifikasi yang terlampau berlebihan menyelidiki penyelidikan Nabi atas anak kecil lancang Ibnu Shayyad/Ibnu Sha’id sebagai pengalaman mistis, apalagi diklaim itu berlangsung pada saat Ibnu Shayyad dalam keadaan ekstatis, satu keadaan tinggi yang subjektif dari pengalaman sufi. Selain keadaan ekstetis ini benar-benar subjektif dan personal yang zalimnya tidak diketahui kecuali oleh orang yang mengalaminya langsung dan oleh mursyidnya sendiri, sejauh penyelidikan hadis ini, tidak dijumpai kata dan frasa yang menyiratkan, apalagi menyuratkan, keadaan ekstatis ini. Redaksi-redaksi hadis ini hanya menggambarkan Nabi menjumpai Ibnu Shayyad dalam keadaan “sedang bermain dengan anak-anak kecil”, “sedang berkomat-kamit”, “sedang tertidur di balik kain tebalnya dengan mendengkur ringan”, dipanggil oleh ibunya “hingga dia terperanjat” dan “keluar dari kain tebalnya”, lalu di tengah observasi dia kembali ke keadaan semula (berbaring). Tentu saja, Ibnu Shayyad bukan mistikus, namun juga sulit dimengeti keadaan-keadaannya ini lantas diangkat sehebat keadaan ekstetis mistis dan batinnya.
Di akhir, semua redaksi riwayat menyatakan kekecewaan Nabi atas keterlibatan ibu dari Ibnu Shayyad memberitahu kehadirannya. Di akhir setiap pertemuan, Nabi mengatakan, “Seandainya ibunya membiarkan, pasti jelaslah persoalannya”. Persoalan apa itu? Persoalan penting hingga mendorong Nabi mengobservasi langsung dan tak langsung, melibatkan para sahabat, secara berulang kali, dengan dialog yang dibuka dengan menanyakan kesaksian atas kenabian Nabi. Kemungkinan besar identifikasi dan kesimpulan Jabir serta para ahli hadis bukan kepolosan dan spontanitas yang gegabah. Sebagaimana nama Dajjal bukan kreasi Jabir, kesimpulan Jabir juga tampak konsisten dan koheren dalam pemaknaan literal, gramatikal dan kontekstual.
Hadis ini ada kaitannya dengan topik akhir zaman di awal zaman Islam. Penting dan menentukan. Gejala akhir zaman sudah ada sejak awal-awal diajarkan tentang Juru Kemuliaan dan Keadilan Universal, juga tentang Juru Kejahatan dan Penindasan, serta tentang pertempuran antara juru-juru. Jika benar keyakinan Jabir dan sahabat lainnya bahwa Nabi yakin Ibnu Shayyad itu Dajjal, maka Dajjal itu sudah lahir dan akan muncul di masa turunnya Nabi Isa. Karena itu, telah lahirnya Imam Mahdi dan berada sekarang hingga kelak muncul bersama turunnya Nabi Isa bukan sesuatu yang mustahil. Dalam teks-teks suci, Allah telah menjanjikan kemenangan dan kekuasaan mutlak Keadilan Universal, sementara Nabi telah mengenalkan nama juru-juru itu; Isa Al-Masih, Al-Mahdi, Al-Dajjal.
Apa pun itu, kiranya tidak perlu ditanggapi sebagai keberatan bila hadis ini dimaknai dalam kerangka pengalaman religius sejauh seseorang di dunia sekarang ini, yang oleh Abid Al Jabiri dipandang kerap sebagai sebagai objek (mawdhu’) hegemoni dan dominasi, hancur rasa meratapi keadaan penindasan dan ketertindasan hingga secara ekstatis menyadari kesadaran fitrahnya dan terbakar dalam nyala api optimisme penantian akan tibanya Hari Keadilan Universal. Dalam pemaknaan ini pula pengalaman-pengalaman seperti ini terakomodasi hingga terakses secara inklusif oleh setiap orang, entah pada tingkat psikis, religius, ataupun mistis.[amf]