Indonesia dan Himpitan-himpitan Dunia
Indonesia Negara yang dihimpit dua samudra dan dua Benua ini memiliki potensi yang luar biasa, sampai sekarang pun posisi ini masih sangat menjanjikan. Potensinya pun masih sangat diperhitungkan. Memiliki nilai tawar menggiurkan berbagai kalangan seluruh penjuru dunia. Walau Arab Saudi sebagai saudara sesama muslim masih lebih memilih Cina sebagai tempat menanamkan sahamnya.
Berbicara tentang Negara Republik coba kita melihat Negara Republik Islam Iran, bukan bermaksud membandingkan Indonesia dengan Negara Para Mulah tersebut tapi, coba kita sedikit mengambil pelajaran dari adanya perbedaan itu.
Perbedaan besar dari dua negara republik ini adalah yang satu memiliki musuh dan dengan konsisten membela diri, melakukan serangan balik, melakukan berbagai hal sehingga bisa bertahan dari berbagai jebakan tikus yang dipasang oleh musuhnya tersebut. Dengan jelas Iran menyebut Amerika dan Israel sebagai dua sisi mata uang, dua muka tapi memiliki eksistensi yang sama. Amerika adalah Israel, Israel adalah Amerika. Sama-sama setan, satu setan besar, satunya lagi adalah setan kecil, kecil bukan berarti tanpa kemampuan, kecil juga bisa berbuat ulah dikancah dunia.
Menarik untuk kita gali disini, penyebutan setan besar dan setan kecil disini apakah semata-mata untuk Amerika dan Israel saja atau, gaya bahasa yang dipakai disini adalah gaya bahasa Al-Quran, jadi bukan sedang menuding nama, tapi sedang memaparkan sebuah kriteria. Jadi tepatnya Negara mana saja yang memiliki peran dan prilaku seperti Amerika, dan negara boneka atau kekuatan skala agresor kecil sebagai hulu ledaknya yang mengganggu hak negara lain yang sah seperti Israel. Jadi setan besar dan setan kecil tidak selalu kita artikan sebagai Amerika dan Israel semata, tapi juga menyasar negara dan kekuatan lain yang menyerupai itu. “Orang yang seperti aku tidak akan pernah membaiat orang seperti Yazid(sampai kapan itu)”
Amerika selalu berulah, Iran sudah akrab dengan negara Paman sam ini sejak dulu jauh sebelum Revolusi Islam Iran meletus. Amerika dengan tawaran pinjaman IMF juga menghantui Iran, bank dunia ini pun tidak sedikit mengalami kerugian karena salah terka dengan menanamkan saham disana,[1] bangkrut akibat ucapan Imam Khomeini yang membebaskan Iran dari cengkraman para Yazid dan Muawiyah di jamannya.
Apakah Indonesia pernah melawan Amerika diera modern ini, ternyata secara tidak langsung Indonesia juga pernah melakukan itu di meja hijau ketika kasus flu burung sedang santer memakan korban diberbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Indonesia berhadap-hadapan langsung dengan Amerika ketika melakukan banding kasus flu burung melawan WHO. Tema yang tiba-tiba mencuat seputar perjuangan Menteri kesehatan Indonesia melawan kasus flu burung, salah satu menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Disini Indonesia tampak gagah, diwakili oleh seorang menteri kesehatan, wanita, Ibu Siti Fadilah Supari. Apresiasi untuknya yang jelas juga mengharumkan nama Indonesia merebak ke seantero penjuru dunia. “For the sake of basic human interests, the Indonesian government declares that genomic data on bird flu viruses can be accessed by anyone”. With those words, spoken on August, 3rd, Siti Fadilah Supari started a revolution that could yet save the world from the ravages of a pandemic disease. That is because Indonesia’s health minister has chosen a weapon that may prove more useful than todays best vaccines in tackling such emerging threats as avian flu: transparency.[2]
Hal ini terjadi ketika Indonesia menempatkan musuh dihadapannya, keberadaan musuh menjadi penguat dan semangat juang untuk membela dan memperkuat bangsa ini, ini bukan berarti Indonesia butuh musuh, tanpa menentukan musuh, Indonesia sudah harus menghadapi banyak himpitan akibat saling serang yang dilakukan oleh dua negara (Amerika dan Cina) dengan perang dagangnya, jujur Indonesia dan banyak negara lain harus merasakan imbas dari perseteruan ini. Jika memang Covid-19 adalah senjata biologi, kita lihat sejenak, berapa kerugian dan berapa pengorbanan harus dikeluarkan Indonesia demi menangani kiriman Virus tak bertuan ini. Indonesia walau tidak ikut blok Amerika dan sekutunya, tidak ikut Iran dan negara-negara yang kurang lebih sehaluan dengannya. Mau tidak mau harus juga merasakan dampaknya. Seperti ketika perang Dunia l dan Perang Dunia ll berlangsung. Indonesia merasakan efek yang luar biasa. Bukan sebagai pihak penentu (ada tidaknya perang) tapi harus merasakan dampak buruk yang dibawanya.
Namun sayang sampai sekarang, kita belum lagi mendengar orasi dan clue cerdas rasa presiden pertama RI, “Persetan dengan PBB! Amerika kita setrika! Inggris kita linggis!, Go to hell with your aid“. Ucapan yang sangat dalam dampaknya, membuat warga negara Indonesia terbakar dengan nasionalisme mereka. Menjadikan warga negara Indonsia menyadari kembali sebagai tuan rumah di rumahnya sendiri, memiliki semangat juang tinggi, lebih-lebih jika ini dipadu dengan konsep hubul wathan minal iman, kecintaan terhadap negara adalah bagian dari Iman. Semboyan yang terus diusung Banser, Jatman dan kalangan NU moderat lainnya, demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia, NKRI harga mati.
Walau dalam kondisi apapun Indonesia akan selalu dihimpit dari berbagai penjuru, himpitan ekonomi, teror kesehatan seperti Covid-19, flu burung dan semacamnya harus juga dihadapi oleh bangsa masih sedang terus berbenah ini. Itali dengan teknologi kedokteran yang mumpuni saja belepotan menghadapi virus ini, bagaimana jadinya jika Indonesia tidak mengambil hikmah dan pelajaran. Serangan virus dan semacamnya juga perlu mendapat perhatian. Perlu persiapan dan dana besar untuk bisa tuntas menghadapi.
Perlu tidaknya Indonesia memunculkan sosok musuh penulis kembalikan pertanyaan ini kepada para pembaca yang budiman.
[1] John Perkins, Confession of an Economic Hit Man
[2] (Inggris) Global health: Pandemics and transparency. The Economist, London (UK), August 10th, 2006.