Kapitalisasi Kota
Kota yang ideal adalah mimpi para filsuf. Plato, Aristoteles dan juga Farabi memiliki cita-cita ideal tentang kota yang merepresentasikan pandangan filsafat dan politiknya. Bahkan menurut Nurkholis Majid, Rasulullah saw lebih mengharapkan kota dari desa. Kota yang ideal adalah situs keadaban yang memiliki sistem yang rapih, warga yang taat hukum, regulasi yang hidup, gotong royong, dan tumbuhnya pusat-pusat keilmuan yang akan memantau perkembangan warganya dan juga pertumbuhan yang seimbang antara spiritual dan material.
Kota atau madinah yang akan melahirkan masyarakat madani yaitu masyarakat yang mandiri tidak lagi bergantung kepada pemerintahan. Masyarakat yang mampu mengembangkan kantong-kantong kesadaran, embrio ekonomi, pencerahan partisipasi, baik untuk tingkat nasional, regional atau internasional. Masyarakat yang dapat menjadi mitra dalam pengembangkan peradaban yang lebih maju lagi dalam berbagai dimensinya dengan tidak melakukan eksploitasi atas alam dan atas sumber-sumber daya yang lain.
Kota dalam hal ini dikontraskan dengan lingkungan desa yang tidak memiliki aturan. Tidak diatur oleh suatu sistem yang dimusyawarahkan oleh para ilmuwan. Desa mungkin lebih tepat disebut dengan tempat sekumpulan manusia yang hidup dalam batas-batas awal kehidupan. Yang hanya ingin bertahan dari gempuran-gempuran serangan alam seperti predator, iklim yang buruk dan serangan tribal.
Namun seiring dengan pesatnya pembangunan perkotaan yang lebih didominasi kaum kafitalis, kota sekarang berubah dari situs keadaban menjadi topos pertemuan produsen dan konsumen. Setiap jengkal dari wilayah perkotaan selalu menjadi incaran para stake holder agar memiliki utilitas ekonomi. Aset-aset akan dibangun untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin demi kesejahteraan ekonomi sebanyak mungkin dan seluas mungkin dan seabadi mungkin. Masyarakat hanya dinilai dari partisipasi ekonomi, kecerdasan matematis -ekonomi, tindakan ekonomi dengan derivasinya seperti efisiensi, jaringan ekonomi, kepemilikan aset-aset.
Dalam masyarakat seperti ini edukasi ekonomi menjadi dominan dan akan lahir manusia-manusia yang menghamba citra-citra ekonomi. Generasi masyarakat hasil kawah candradimuka ekonomi adalah yang mengatakan : “aku membeli, maka aku ada, aku memiliki penanda kesuksesan ekonomi, maka aku ada, aku memiliki komoditas ekonomi, maka aku ada, aku menguasasi jaringan-jarigan ekonomi, maka aku ada.” Dengan logika seperti ini maka manusia-manusia yang tidak memiliki kuasa-kuasa seperti di atas akan dimarginalkan, tidak dipertimbangkan, dan bahkan dihapus dari peta eksistensi. Paradigma seperti itu jika menghinggap benak para pemangku kebijakan pemerintah. Maka akan lahir kebijakan-kebijakan yang pro para pemodal besar atau kecil. Kota menjadi surga yang tak terjamah oleh orang-orang kecil dan sebaliknya para pejabat dan para pemodal selalu berpesta pora dengan kota-kota elegan, dengan enklaf-enklaf yang rapih, bersih, musium-musium, teater pertunjukan dan seni-seni yang hanya digemari kaum elit semata. Orang-orang yang terpinggirkan tinggal di kota tapi jiwa mereka terusir ke pinggiran-pinggiran kota. Hidup mereka hanya sekedar asesori untuk melengkapi kebutuhan tidak penting dari orang-orang sukses.
Kota sekarang adalah ‘city without people’. Atau menurut seorang ahli society without people, Dalam buku city on my head, Albertus menyatakan kegelisahannya karena kota terlalu memuja hitungan statistik. Wilayah yang ditempati tanpa dihitung dan dihitung untuk ditempati. Kalaupun ada kemurahan yang memberikan tempat di kota untuk orang-orang kecil, maka kemurahan itu juga dalam rangka tidak mendefisitkan laba ekonomi. Para pemilik modal khawatir dengan pemogokan, khawatir dengan kerusuhan sosial, Jadi perlu ada biaya-biaya yang dapat menyelamatkan defisit ekonomi. Dan itu juga menjadi kalkulasi dan masuk dalam biaya-biaya yang tak terduga.
Untuk menggaet para ilmuwan dan para saga (filsuf) agar tidak terlalu kritis dengan peradaban modern kota, para pemiliki modal menyewa seniman-seniman yang dapat mengawinkan antara komoditas dengan simbol-simbol budaya. Budaya yang tadi dianggap sebagai ekpsresi yang lebih tinggi sekarang didegradasi menjadi sangat profan, umum dan dangkal demi menyambut kebutuhan-kebutuhan konsumerisme setiap orang dan menurut Muji Sutrisno komoditas ekonomi dibungkus simbol-simbol budaya agar setiap orang mengidentikan dengannya. Perpaduan ekonomi dan simbol budaya bisa mencitrakan setiap orang bisa tampil anggun, terhormat, natural, alami, distinguish, sopisticated, well-being, well- educated, dan label-label yang dipuja masyarakat modern. Komoditas konsumerisme yang tidak menjadi kebutuhan realistis justeru lebih mencuat dan lebih dibutuhkan dari kebutuhan yang realistis sendiri.
Kaum pemodal berusaha untuk menjadikan segala yang ada di kota, dari benda, hingga tanah, udara, lautan, awan, angin, napas, kesedihan, tertawa, penderitaan menjadi aset-aset ekonomi, bahkan yang imaginer sekalipun. Dalam aspek distribusi, jangkauan ekonomi mereka menerobos ruang-ruang imajinasi publik, menohok intelektual, menggugah emosi dan simpati, memberikan impresi yang mendalam dan menularkan kekaguman. Yang ada hanyalah ekspresi-ekspresi tunggal ekonomi, produksi, distribusi dan konsumsi. Tergeserlah ekspresi kemanusiaan yang lain seperti ekspresi pengembangan potensi multidimensi manusia yang lain.