Kebutuhan Manusia Terhadap Adab (Bagian I)
Antara Manusiawi dan Hewani
“Suatu bangsa akan sekarat tanpa adab”, begitu kata orang bijak. Pada dasarnya, ketika manusia bersama moralitas kemanusiaannya, ia layak disebut sebagai manusia. Sebaliknya, apabila ia menggunakan kecerdasannya demi menghancurkan segalanya, ia lebih buas dari seekor binatang. Betul, mungkin saja ia tampak beradab, namun dalam hal ini ia seperti hewan herbivora yang tidak mengenal haram ataupun halal. Ia juga tidak bisa mengetahui antara tirani dan keadilan, maupun perbedaan antara ketidakadilan dan kaum tertindas.
Dalam teori ilmu logika, manusia dianalogikan sebagai hewan yang berakal. Artinya, apabila manusia nihil akalnya, maka yang tertinggal dalam dirinya hanya insting hewani. Kita banyak sekali melihat manusia dengan insting hewaninya membahayakan kawanannya yang lain. Dan tak sedikit pula yang berjenis hewan herbivora, ia acuh tak acuh dengan kondisi disekitarnya dan hanya melakukan apa yang ia butuhkan. Ia juga tidak perduli apa yang orang lain perbuat yang mungkin saja bisa membahayakan dirinya maupun keluarganya.
Konflik Syria, Yaman, Irak dan sekitarnya bisa kita lihat bagaimana insting hewani yang melekat pada diri manusia. Ribuan bahkan jutaan manusia disiksa, dipenggal kepalanya dan keluarganya dianiaya demi mencapai ambisi kenihilan akal mereka. Lembaga kemanusiaan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun tidak dapat berbuat banyak untuk menigkatkan derajat kemanusiaan dalam diri mereka. Manusia sejenis hewan herbivora pun tidak sedikit, kadang pun mereka cerdas mempunyai kemampuan membela kaum tertindas, namun mereka tidak mempunyai moralitas kemanusiaan dalam diri mereka sehingga memilih diam dan tidak memanfaatkan akal yang telah Allah SWT berikan.
Terminologi Adab
Tulisan saya kali ini merupakan kelanjutan dari tulisan yang berjudul “Adab Kekinian Dalam Al-Qur’an”. Sebelum kita mengetahui apa penyebab manusia terjebak dalam lingkaran setan dan hawa nafsunya sendiri, mari kita mengetahui terlebih dahulu pengertian mengenai adab.
Adab merupakan sinonim dari kata akhlaq. Sedangkan akhlaq diambil dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari khuluq, yang artinya perangai, tingkah laku atau tabiat. Khuluq kumpulan kosakata dari khalq yang berarti badan, bentuk dan wajah yang dapat dilihat oleh mata. Begitu pula dengan khulq yang berarti individualitas dan karakteristik internal yang dapat dirasakan dengan hati. Maka dapat kita simpulkan, akhlaq merupakan kumpulan karakteristik jasmani dan rohani manusia. Dari beberapa cendikiawan Islam yang saya rangkum, mengatakan bahwa sebagian tindakan dan perilaku manusia disebabkan oleh suasana etos internal hati manusia, itu pun juga dapat disebut sebagai akhlaq.
Adapun adab secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh sesuatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Oleh karena itu, saya juga akan menceritakan ulang dan mencoba untuk menafsirkan isi ayat-ayat suci Al-Qur’an tersebut mengenai pengertian bagaimana pentingnya sebuah adab dalam kehidupan kita.
Perspektif Al-Qur’an Terhadap Adab
Pembahasan adab dalam Al-Qur’an merupakan salah satu pembahasan paling penting dan termasuk dari falsafah risalah kenabian. Dengan kekosongan adab agama tidak berarti bagi manusia dan kehidupan mereka pun akan terombang-ambing. Tak dapat dipungkiri pula bahwa semua manusia mempunyai hawa nafsu, para nabi pun begitu. Namun, hawa nafsu yang dimiliki nabi adalah hawa nafsu yang telah diproteksi dengan tawaduk dan penghambaan yang luar biasa kepada Allah SWT.
Para nabi diutus oleh-Nya untuk mengajarkan adab kepada setiap umatnya agar dapat hidup sejahtera dan damai. Hal itu dijelaskan dalam ayat suci Al-Qur’an “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah (red. akhlaqul karimah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [QS. 3:164]. Dalam ayat tersebut Nabi Muhammad SAW mempunyai tugas sebagai pembawa risalah kenabian dengan mengajarkan Al-Hikmah kepada seluruh umat manusia.
Dalam ayat sebelumnya firman Allah SWT yang ditafsirkan oleh Prof. Dr. Quraish Shihab, bahwa Allah SWT memberikan petunjuk kepada orang-orang beriman Ka’bah sebagai kiblat sholat dan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. “Ia membacakan kalian ayat-ayat suci Al-Qur’an, mensucikan kalian dari noda-noda kemusyrikan, kerendahan moral dan tradisi, mengajak kalian berdialog secara ilmiah tentang kandungan Al-Qur’an, ilmu pengetahuan yang berguna serta mengajarkan pada kalian segala yang tidak kalian ketahui” [QS. 2:151].
Dalam dua ayat suci Al-Qur’an tersebut terdapat pendidikan dan pelatihan yang satu sama lainnya berhubungan. Saya bertanya-tanya, ajaran tersebut sudah ada sejak dahulu, semestinya ajaran tersebut semakin berkembang dari zaman ke zaman. Seharusnya orang-orang yang beriman, beradab dan mempunyai ilmu pengetahuan semakin banyak. Namun, apa yang terjadi saat ini menafikan ajaran tersebut. Semakin kesini orang semakin tidak beriman, tidak beradab dan tingkat kecerdasan orang semakin menurun, khususnya bagi anak muda umat Islam.
Dalam tulisan sebelumnya saya menghimbau ada beberapa organisasi terstruktur dan terselubung yang ingin menghancurkan peradaban manusia. Manusia yang secara alamiah mempunyai fitrah moralitas kemanusiaan yang tinggi, namun mudah tergoda. Organisasi tersebut mempengaruhi manusia dengan sederhana, yaitu dengan media cetak maupun online untuk merusak naluri kemanusiaan menjadi naluri kehewanan. Dengan segala bentuk keunikan yang mereka sajikan membuat banyak orang termakan dengan doktrin mereka. Pada hakikatnya manusia menyukai keindahan dan keasyikan yang mudah membuat mereka terlena dan terhipnotis dengan semua itu.
Bersambung…
Oleh: H. A. Shahab