Komparasi Pandangan Ibnu Arabi dan Mulla Shadra dalam Masalah Kebaruan dan Kekekalan Nafs (Bagian Pertama)

Jiwa menurut Ibnu Arabi dan Mulla Shadra
Salah satu pelemik hangat yang melibatkan kaum filosof dan mutakallimin (para teolog) adalah masalah nafs (jiwa). Tidak jarang para teolog menyerang kaum filosof yang dianggapnya sesat dan bahkan kafir karena meyakini kekekalan jiwa. Dengan semangat pembelaan akidah dan pemurnian tauhid, mutakallimin berpandangan bahwa yang qadim itu hanya Allah, dan bila manusia dikatakan juga qadim maka di sini ada dua yang qadim dan ini mustahil dan syirik yang nyata. Demikian kira-kira penjelasan kaum mutakallimin.
Makalah ini tidak ingin menjelaskan polemik antara filsuf dan mutakallim perihal qidam (kekekalan) dan huduts (kebaruan) nafs insani (jiwa manusia), namun mengurai komparasi pandangan Ibnu Arabi yang disebut oleh Muthahari sebagai bapak ‘irfan dan Mulla Shadra, pengggagas Hikmah Muta’aliyyah.
Tentu saja antara pandangan filosof dan teolog terdapat perbedaan yang serius, bahkan pandangan antara sesama filosof yang berbeda mazhab dan haluan pun kadang-kadang tampak tajam. Ibn Sina yang notabene dianggap beraliran filsafat Paripatetik berpendapat bahwa nafs adalah sumber gerakan dan ia meyakini empat pembagian nafs: nafs falaki, nabâti, hayawâni dan insâni. Meskipun keempat nafs tersebut memiliki makna yang sama dalam hal bahwa nafs adalah kesempurnaan pertama bagi jism thabî’i namun kesemuanya tidak dapat dihimpun dalam satu defenisi dan satu batasan.[1]
Abstrak
Mulla Shadra meyakini bahwa nafs karena memiliki eksistensi ‘aqli (rasional) pada jenjang-jenjang ciptaan terdahulu maka ia mewujud secara ‘aqli. Dan pada hakikatnya, nafs (jiwa) adalah mudabbir (pengatur) badan dan dalam bentuk keberadaannya, ia bergantung secara dzati (subtansial) kepada badan sehingga ia bersifat jasmaniyyah al-huduts (bersifat baru secara jasmani). Mulla Shadra berhasil mempersatukan antara dua teori yang secara lahiriah tampak bertabrakan dan rancu. Meskipun pandangan Mulla Shadra di bidang filsafat ini tampak sepenuhnya inovatif, namun dalam pelbagai karya ‘urafa seperti Ibnu Arabi ternyata ditemukan dengan jelas jejak rekam pandangan ini. Maksudnya adalah bahwa Ibnu Arabi juga menegaskan perihal eksistensi nafs pada jenjang-jenjang ciptaan terdahulu sebelum dunia, dan di sisi lain beliau juga menekankan tentang huduts jasmaniy nafs (kebaruan nafs secara jasmani).
Mukadimah
Dapat dikatakan bahwa pandangan Ibnu Arabi dan juga Mulla Shadra perihal kebaruan (huduts) dan kekekalan (huduts) nafs, secara ringkas terhimpun dalam tiga bagian utama:
- Keberadaan nafs pada jenjang-jenjang dahulu sebelum dunia: nafs sebelum mewujud di dunia ini, ia bukan berarti ma’dum mahd (nihil mutlak), bahkan ia memiliki eksistensi yang sesuai dengan tingkatan-tingkatan alam-alamnya, seperti alam ‘aqli dan uluhi, meskipun nafs dengan mendatangi dunia maka ia menjadi hadits (baru).
- Eksistensi nafs pada jenjang-jenjang ciptaan terdahulu duniawi: nafs insani mula-mula tidak diciptakan sakin (diam) dan dengan cara terputus dari masa lalunya dan bersifat tajarrudi (non-material), tetapi nafs sebelum ini, pada tahapan-tahapan dan hunian-hunia serta jenjang-jenjang ciptaan terdahulunya pada level-level alamiah-duniawinya memiliki bentuk eksistensial tertentu seperti unshuri (memiliki unsur khusus),nabati (berkembang), ma’dani (bersifat tambang) dan hayawani (berkarakter binatang).Sebaliknya, para penganut filsafat paripatetik berpandangan bahwa nafs insani diciptakan secara sekaligus dan tanpa keadaan terdahulu dan secara non-material.
- Konsekwensi logis dari keterputusan nafs dari jenjang-jenjang terdahulunya pada alam dunia adalah bahwa bentuk huduts (kebaruan) nafs di dunia ini itu secara jasmani,bukan rohani—sebagaimana dinyatakan oleh para filsuf Paripatetik. maksudnya adalah bahwa nafs adalah produk dari materi yang karena harakah jauhariyyah ia terlahir menuju kesempurnaannya dan dalam perjalanan wujud insani.
Tiga unsur utama yang disebutkan itu merupakan pondasi dasar pandangan Ibnu Arabi dan Mulla Shadra terkait dengan huduts dan qidam nafs. Dengan kata lain, bila salah satu dari ketiga pondasi penting tersebut kita hapus maka itu berarti mengesampingkan bagian dari penikiran dua tokoh tersebut terhadap masalah ini. Oleh karena itu, untuk bisa memahami dengan baik dan benar komparasi pandangan Ibnu Arabi dan Mulla Shadra maka kita harus mengamati ketiga pondasi di atas dan kita analisa secara terpisah.
Perlu disebutkan bahwa meskipun secara urutan logis dan historis mestinya komparasi dua pemikiran tokoh ini harus kita mulai dari Ibnu Arabi lalu kita menelaah pandangan Mulla Shadra namun karena dua alasan di bawah ini, kita justru melakukan kebalikannya:
- Ungkapan-ungkapan Mulla Shadra bila dibandingkan dengan kalimat-kalimat Ibnu Arabi lebih sistematis dan lebih teratur serta lebih “menggigit”. Sehingga dengan demikian, ungkapan-ungkapan MullaShadra dapat dijadikan jembatan untuk memahami dengan baik pernyataan-pernyataan Ibnu Arabi dalam masalah ini.
- Otak dan pemikiran para peneliti ilmu-ilmu rasional lebih akran dengan prinsip-prinsip pemikiran Mulla Shadra,sehingga biasanya lebih mudah bagi mereka untuk memahamipenjelasan-penjelasan Mulla Shadra.
Jadi, menurut Mullâ Shadrâ, nafs adalah jasmaniyyah al-hudȗts wa ruhaniyyah al-baqâ’. Pandangan ini berbeda dengan para filosof sebelumnya yang menyatakan bahwa nafs adalah ruhaniyyah al-hudȗts wa al-baqâ’. Ringkasan dari pandangan Shadra seperti ini bahwa nafs mula-mula dalam awal penciptaannya adalah berupa wujud material namun karena pengaruh harakah jauhariah ia menjadi sempurna dan pada akhirnya mencapai tahapan tajarrud ‘aqli. Jadi, sebelum menggapai jenjang tajarrud tam ‘aqli, nafs adalah maujud jasmani.[2]
Muhammad Miri
[1] Hasan Mulkisyahi , Talkhis Tarjamah wa Syarh Isyarat wa Tanbihat Ibn Sina, 1364 H.S., hal. 154.
[2] Misbah Yazdi, al-Asfâr al-Arba’ah, juz 8, Dâr ‘Ilm,Qom, 1433 H, cetakan pertama, hal. 59.