Lara Hati Istri Teroris: Resensi Film Malam Ketika Purnama
Alfit Sair-“Aku menyesal pernah mencintaimu”, kata Faizeh pada suaminya Abdul Hamid Rigi. Bukan tanpa alasan Faizeh mengatakan hal itu. Ia melihat suaminya telah berubah. Abdul Hamid yang dulu begitu mencintainya, kini lebih memilih “bidadari surga”. Abdul Hamid yang dulu pengasih dan merasa tidak nyaman saat melihat seorang miskin menyembelih hewan untuk menjamunya, kini menjadi pembunuh bengis tanpa welas asih. Di lain waktu, kepada suaminya itu, Faizeh berkata, “Engkau telah jauh dari dirimu, kemanusiaan, Islam, dan cinta.”
Malam Ketika Purnama (MKP) adalah sebuah film karya Narges Abyar. Film ini menarik, sebab didasarkan pada kisah nyata. Narges Abyar menarasikan fenomena terorisme yang dilakukan oleh kelompok Jundullah yang berpusat di Pakistan. Sesuai dengan jiwa feminimnya, ia memotret fenomena terorisme bukan dari sisi para terorisnya, tapi dari sisi seorang istri bernama Faizeh yang suaminya perlahan-lahan terjangkit virus teroris dan faham takfirisme. Celakanya, kelompok teroris tersebut dipimpin oleh Abdul Malik Rigi, yang tidak lain adalah adik kandung Abdul Hamid sendiri. Jadi, meskipun MKP adalah film tentang terorisme, tapi MKP jauh dari genre film laga. MKP lebih cocok disebut sebagai film drama tragedi edukatif.
Judul asli film ini adalah Shabi Vaqti ke Mah Kamel Shod. Atas kerjasama Ikatan Alumni Jamiah Al-Mustafa (IKMAL) dan ICC Jakarta, serta Otong Sulaeman selaku tranlator, film ini sudah bisa ditonton para penikmat film edukatif di nusantara ini. MKP berhasil mengungkap borok paham takfiri yang selalu disembunyikan di balik jubah Islami. Berikut beberapa ajaran toxic takfiri yang tersaji dalam film ini.
Dalam pandangan kaum takfiri, mereka yang hidup dalam sistem selain Islam (versi mereka, tentunya) dianggap kafir. Kafirlah pula mereka yang mendukung dan bekerjasama dengan orang kafir. Singkatnya, dalam pandangan kaum takfiri, semua orang selain kelompok mereka, telah kafir. Hanya itu? Tidak. Implikasi berbahayanya, mereka memandang, setiap muslim wajib memerangi/membunuh orang-orang kafir. Tak peduli, walau ia adalah pasangan hidupnya sendiri (suami/istri). “Istrimu telah kafir. Kau menikah dengan orang kafir. Sekarang, kau mendapatkan kehormatan untuk membunuhnya. Habisi istrimu!”, begitu perintah Abdul Malik kepada kakaknya, Abdul Hamid.
Racun takfiri lainnya terkait dengan penghalalan segala cara. Untuk melancarkan misinya, kelompok barbar ini berani menipu serta menyelundupkan narkoba dan senjata. Salah satu bagian paling getir dari film ini adalah adegan penipuan yang dilakukan kelompok ini terhadap Shahab, adik Faizeh.
Setelah tahu bahwa iparnya terlibat terorisme, Shahab hendak mengadu ke kantor konsulat Iran di Pakistan. Malangnya, ia tertangkap, lantas digelandang ke markas para teroris. Begitu tiba, Abdul Malik sang pemimpin teroris berpura-pura ramah kepadanya. Shahab dijamu makan. Ia dan Faizeh dijanjikan akan dibiarkan pergi, bahkan dibantu ke luar Pakistan, dengan satu syarat: Shahab harus siaran live, sembari mengaku bahwa ia dan Faizeh adalah mata-mata Iran.
Lugunya, Shahab percaya janji manis teroris. Ia berakting seperti yang diperintahkan. Yang tidak ia tahu, ia akan segera digorok betulan usai mengatakan bahwa ia dan kakaknya adalah mata-mata Iran. Sadis? Lebih dari itu, Abdul Malik pemimpin teroris mengabarkan kepada ibu Shahab di Iran bahwa Shahab akan siaran live. Maka, bayangkan yang terjadi kemudian. Sang ibu turut menyaksikan secara live bagaimana anaknya, Shahab, disembelih.
Tingkah kaum Takfiri memang paradoks. Katanya, mereka hendak menegakkan agama, tapi laku mereka justru meruntuhkan agama. Mereka mencela kemunkaran dengan cara yang juga munkar. Mereka menyikapi pendosa dengan dosa pula. Mereka mengaku tentara Tuhan, tapi mereka berlaku layaknya pasukan Iblis. Kalau kita melihat di negara kita sendiri, kita akan dengan mudahnya menemukan fenomena para pemuja dan pengikut kelompok jihadis yang bertingkah munafik dan berwatak psikopat.
Yang lebih primitif dari dua poin di atas adalah pandangan mereka ihwal perempuan. Kita lihat, di film tersebut, Abdul Hamid merumahkan Faizeh dan Gumnaz yang tak lain adalah istri dan ibu kandungnya sendiri. Dua perempuan malang tersebut “dirumahkan” di dalam rumah mewah. Tapi sayang, keduanya bak burung dalam sangkar emas yang tak punya hak bicara, bahkan seperti tak dianggap sebagai manusia.
Di tengah kekalutan karena suaminya bergabung dengan kelompok teroris, Faizeh berkata pada ibu mertuanya, tidakkah Gumnaz tahu bahwa anaknya telah melakukan kesalahan? Ibu yang malang itu menjawab bahwa itu adalah kesalahan, meskipun itu dilakukan oleh anak sendiri. Tapi apalah daya, dalam pandangan kaum takfiri, kaum perempuan tidak lebih mulia dari kotoran yang mereka injak di bawah kaki mereka.
Walhasil, film malam ketika purnama garapan Nargis Abyar sedasar dan semaksud dengan film Sayap-Sayap Patah karya Denny Siregar. Kedua film ini didasarkan pada kisah nyata. Keduanya juga punya pesan moral yang mengingatkan bahwa kelompok takfiri itu memang ada dan mereka berupaya menjerat kerabat dan sahabat.
Belajar agama tidak selamanya mendatangkan keselamatan, kadang malah membawa diri pada kesesatan. Belajar agama itu penting. Tapi, lebih penting dari itu adalah di mana dan kepada siapa Anda belajar agama.
Film MKP menampilkan kuatnya daya cuci otak kaum Takfiri. Mereka bisa mengubah domba yang pengasih menjadi serigala buas. Mereka bisa membuat orang melakukan kejahatan sembari merasa melakukan kebenaran. Lebih jahat dari itu, mereka bisa memisahkan dua hati yang semula menyatu dalam cinta.
Itulah yang membuat pilu Faizeh. Suaminya yang semula pengasih dan menolak kala seorang warga hendak menyembelih domba sebagai kado pernikahannya dengan Faizeh, tiba-tiba saja menjadi orang yang terbiasa menyaksikan orang-orang yang tak bersalah dibunuh secara sadis di hadapannya.
Puncaknya, di suatu malam ketika purnama, Abdul Hamid mengalami gejolak batin. Ia mendatangi Faizeh istrinya dan mencoba mengulang keromantisannya. Sayangnya, Faizeh terlanjur kecewa. Lara hatinya meradang. Terlebih ketika Faizeh tahu bahwa Shahab adiknya telah dibunuh. Faizeh tertidur dalam lelah bercampur sedih.
Sesaat, Abdul Hamid keluar kamar. Ia pandangi langit berhias purnama. Terang di atas langit, gelap di dalam hati. Indahnya malam purnama begitu kontras dengan kisah cinta dua insan yang berujung tragis. Semua akibat paham agama yang menyimpang.
Hamid tetap dalam dilema. Haruskah ia membunuh istri yang dicintainya seperti yang diperintahkan oleh Abdul Malik pemimpinnya?
Di ujung kisah, Nargis Abyar menampilkan dimensi ketangguhan seorang perempuan, yaitu sikap resisten dan melakukan perlawanan. Sebenarnya, dimensi resistensi ini sudah terlihat pada sosok Faizeh. Faizeh bukan tipe istri penurut pada suami -yang ternyata mulai menyimpang-. Namun, maskulinitas ini dipertajam oleh sosok Gumnaz ibu kandung Abdul Hamid. Gumnaz terlihat lemah karena diam. Namun, sesungguhnya ia tetap melawan sesuai kemampuannya. Tercatat, Gumnaz sempat membantu Faizeh lari dan mencegah Abdul Hamid masuk ke kamarnya. Dan ujungnya sekaligus mengakhiri film, Gumnaz berhasil menyelamatkan dua anak kembar Faizeh.
Lantas, bagaimana nasib Faizeh? Silahkan menonton filmnya.