Melacak Ideologi Karbala
Oleh : Khoirunnisa Muhammad
Abstraksi
Peristiwa Asyura yang diperingati selama berabad-abad sejak gugurnya Imam Husein as. Pemimpin kaum tertindas, merupakan bukti bahwa terdapat begitu banyak pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa itu.
Segenap ikhtiyar untuk mengenang kesedihan atas wafatnya Imam adalah sebuah dialektika – meminjam istilah Peter L Berger – antara ekspresi keagamaan (proses eksternalisasi) yang melembaga menjadi tradisi takziyah (obyektifikasi) dan akhirnya berusaha diserap kembali kedalam kesadaran umat Islam (proses internalisasi).
Diantara pokok perbedaan Sunni dan Syi’ah adalah persoalan kepemimpinan. Syi’ah mengklaim imamah (kepemimpinan umat) bersifat profetis, sakral dan menjadi bagian dari pokok agama (ushuluddin), sementara Sunni berangagapan sebaliknya imamah bersifat profane, secular, dan hanya merupakan bagian dari cabang agama (furu’uddin).
Kajian sejarah kepemimpinan Islam pasca kenabian menunjukkan bahwa terdapat korelasi kuat antara kepemimpinan Islam dan islam sebagai agama. Pilihan konsep kepemimpinan justru akan menentukan “tipe Islam” yang dianut.
Tulisan ini mencoba berikhtiyar untuk menjelaskan relasi antara latar belakang ideologis yang berisi motivasi dan revolusi Imam Husein as.
Kontroversi Kepemimpinan Umat
Setelah empatpuluh tahun nabi wafat, kaum muslimin mengalami dekadensi, dan demoralisasi. Silih bergantinya kekuasaan para khalifah yang penuh kontroversi yang berakhir dengan pengukuhan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, telah mengubah sistem kepemimpinan dari khalifah menjadi kerajaan.
Adalah sebuah gagasan penting untuk memahami mengapa terjadi suatu penindasan atas nama agama oleh dinasti Muawiyah.
Dalam Islam prinsip-prinsip pengelolaan kekuasaan politik diatur secara jelas, sebab kekuasaan poitik berhubungan dengan maslahat dan mudharat bagi umat Islam. Islam bukanlah agama individual yang berhenti pada aspek internalisasi ritual vertikal, atau dengan kata lain berhenti ketika seorang muslim telah melaksanakan ibadah ritual, yang mestinya setiap ritual dalam Islam memiliki dua aspek ; individual dan sosial sekaligus.
Diantara doktrin prinsip pengelolaan kekuasaan tersebut dapat ditemukan dalam beberapa ayat Qu’ran ;
1. Prinsip musyawarah dan problem solving (QS : 3 ; 159)
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian . Apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
2. Prinsip Kedilan dan Emansipasi Hukum (Equality before the Law) (QS: 5;48)
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap KitabKitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlombalombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (QS: 4;58)Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
3. Prinsip Distribusi Ekonomi (QS: 59;7)
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.
4. Prinsip Partisipasi dalam kebijakan publik (QS: 3;104)
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.Dinasti Muawiyah telah mendiskualifikasi seluruh prinsip pengelolaan kekuasaan diatas, karena memang tidak memiliki kepentingan untuk menjalankan prinsip-prinsip tersebut. Satusatunya prinsip yang diaplikasikan adalah meraih kekuasaan seluas-luasnya agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk keuntungan sendiri dan kaum ningrat kerabatnya.Untuk mencapai tujuan politiknya, dinasti muawiyah ini menjalankan beberapa program dan agenda politiknya sebagai berikut:
1. Intimidasi
Aksi teror terhadap umat Islam dijalankan terhadap mereka yang tidak memberikan konsensus atas otoritas politis Muawiyah. Teror dilakukan secara terorganisir melalui jaringan aparatur pemerintahan dan pejabat-pejabat gubernur di beberapa wilayah kekuasaannya. Teror ini dilakukan dengan cara intimidasi, pemenjaraan, pembunuhan hingga peperangan.
Sementara pembunuhan tanpa alasan yang sah, dalam Islam memang merupakan kejahatan fatal, sebagaimana dalam ayat QS: 5;32 oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain
atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan .seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Seperti kebanyakan penguasa otoriter, maka dinasti muawiyah pun membutuhkan pemerintahan yang kuat. Untuk tujuan ini maka umat Islam dipaksa untuk mendukung, menyokong dan jika perlu memuja otoritas muawiyah. Disisi lain, terhadap rakyat dipaksa untuk membantu menyingkirkan, mendiskreditkan dan menjatuhkan siapapun yang mengganggu otoritas muawiyah. Dalam sejarah disebutkan bahwa telah terjadi propaganda anti Imam Ali as. Dengan melakukan penghujatan dalam tiap akhir mimbar jum’at di masjid-masjid dalam wilayah kekuasaan mu’awiyah.
Salah satu skandal pembunuhan tokoh penting – terhadap sahabat nabi yang sangat dihormati – adalah pembunuhan terhadap Hujr ibn Adi dan para pengikutnya. Latar belakang pembunuhan tersebut adalah suatu upaya untuk menyingkirkan pengaruh Imam Ali as. Dan pengikutnya (syi’ah Ali), agar “stabilitas” pemerintahan dapat terkendali. Metode represif dalam pengendalian stabilitas tersebut adalah untuk menciptakan ketakutan-ketakutan dan membungkam kelompok-kelompok oposisi.
Sejarahwan telah merekam kisah-kisah yang dialami korban penindasan Muawiyah, diantaranya adalah yang terjadi pada Amr manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.bin Hamiq al Khuza’iy, sahabat Hujr bin Adi. Seorang pecinta dan
pendukung Ahlul Bait Rasul. Dalam pelariannya ke kota moshil Amr tertangkap kemudian dibawa dan dihadapkan kepada gubernur moshil Abdurrahman bin Abdullah bin Utsman Ats-tsaqofi. Setelah mendapat arahan dari Mu’awiyah, sang gubernur diperintahkan untuk mencambuk sebanyak lima kali. Amr yang pada saat itu sakit, hanya dengan sekali cambuk langsung menemui ajalnya. Namun yang mengejutkan adalah setelah kematiannya kepala Amr dimutilasi. Kemudian kepala tersebut dibawa, dipertontonkan di pasar dari satu kota ke kota lain hingga berakhir di Damaskus. Inilah kepala pertama yang dikirim sebelum kepala Imam Husein as. Dan kepala para syuhada karbala.
2. propaganda
Disamping terror dan intimidasi, cara yang juga efektif untuk menyingkirkan lawan politiknya adalah dengan melakukan propaganda atau kampanye hitam demi untuk mempengaruhi opini publik. Dinasti Muawiyah menggunaakan pengaruh agitasi untuk mendiskreditkan Imam Ali as. secara massif selama dua abad.
Jika kita merujuk pada peradaban lain, terdapat hal yang sama. Di India kuno, menjelang tahun 400 SM di India, Kautilya seorang
Brahmana yang diduga menteri besar dalam Kekaisaran Candragupta Maurya menulis Arthashastra (Prinsip-prinsip Politik), sebuah buku nasihat bagi para penguasa yang sering dibandingkan dengan Republic karya Plato dan The Prince karya Machiavelli.
Kautilya membahas penggunaan perang psikologis (psywar) baik yang tebuka maupun rahasia dalam upaya mengganggu militer musuh dan merebut ibu kota. Ia menulis bahwa para propagandis raja harus menyatakan bahwa ia bisa mempraktekan sihir, para “Dewa” dan orang-orang bijak (intelektual) berada dipihaknya dan bahwa semua orang mendukung tujuan perangnya yang akan meraih manfaat. Dalam cara-cara rahasia, agen-agen propagandis harus menyusup ke kubu musuh untuk menyebarkan berita yang salah ditengah rakyat di ibu kota, diantara kalangan pemimpin dan militer.
Nasihat yang sama juga dilontarkan oleh Sun Tzu dalam karyanya Ping-fa (The Art of War) yang menulis pada periode sama. Bahwa “Semua perang berdasarkan pengelabuan. Oleh karena itu, ketika mampu menyerang, kita harus terlihat tidak berdaya, ketika kita menggunakan kekuatan, kita harus terlihat tidak aktif, ketika kita dekat, kita harus membuat percaya bahwa kita sangat jauh, ketika kita berada jauh, kita harus membuat mereka yakin kita dekat. Tahan musuh, munculkan kekakaucan dan serang mereka”.
Rekayasa dan pemalsuan hadits untuk mendiskreditkan tokohtokoh Ahlul Bait dilakukan secara sistematis dengan tujuan untuk mendistorsi, merusak dan menjungkirbalikkan ajaran Islam yang dibawa olah nabi saww. Kemudian Bani umayah ingin mengganti Islam yang murni ini dengan Islam yang kompatibel / cocok dengan sistem kekuasaan Muawiyah.
Ibn Abil Hadid al Mu’tazili menulis bahwa Muawiyah mendorong pengikutnya dan pendukungnya untuk meriwayatkan beberapa hadits yang memojokkan Imam Ali, diantaranya Abu hurairoh, Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah dan Urwah bin Zubair.
3 Kesenjangan ekonomi
Demi tercapainya kekuatan pemerintahan muawiyah, maka sumber ekonomi umat harus dikuasai dan dimonopoli. Dalam konteks pemerintahan muawiyah distribusi kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan tingkat loyalitas masyarakat terhadap otoritas muawiyah. Makin setia, maka akan makin sejahtera Dengan kebijakan ini maka prinsip-prinsip keadilan ekonomi yang tertuang dalam QS; 59:7 telah dicampakkan. Hasilnya tentu saja kesenjangan ekonomi yang semakin melebar.
Sejarahwan muslim telah mencatat keadaan ekonomi pada masa awal dinasti Muawiyah, telah terjadi kesenjangan ekonomi yang dalam antara golonagan kaya (kaum aristocrat) dan kaum miskin (umat Islam). Kendatipun kondisi ini telah tercipta pada masa khalifah Utsman ibn Affan dengan kebijakan ekonominya yakni “ekonomi kekeluargaan”. Maka pengangkatan pejabat politik wilayah yang berbau nepotisme telah menjadi pintu masuk dari kondisi struktur ekonomi yang timpang.
Posisi Imam Ali as. Sebagai khalifah penggantinya yang banyak mereformasi struktur pemerintahan, pengelolaan administrasi baitul maal ternyata hanya merupakan selingan dari transformasi Utsman bin Affan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Muawiyah menempatkan Amr ibn Ash sebagai gubernur Mesir, dan para sejarahwan mencatat harta kas Amr senilai 325.000 Dinar dan 1.000 dirham60, lahan pertanian senilai 200.00 dinar, Istana di al-What Mesir senilai 10.000 dinar. Marwan bin Hakam mendapat 500.000 Dinar yang bersumber dari pengumpulan pajak di wilayah Afrika juga memiliki rumah-rumah mewah. Sa’ad bin Abi Waqash meninggalkan warisan harta sejumlah 250.000 dirham, demikian pula dengan Zaid bin Tsabit telah mweninggalkan rumah-rumah mewah senilai 100.000 dinar. Disisi lain kerawanan pangan, kelaparan, dan kemiskinan melanda umat Islam. Pemerintahan Muawiyah tidak saja mengabaikan kondisi ini, namun juga tanpa belas kasih memelihara diskriminasi ekonomi untuk tujuan kelanggengan kekuasaannya.
Sebagaimana telah ketahui luas bahwa pemerintahan nepotism Bani Umawiyah ini telah dimulai sejak masa Utsman bin Affan. Rezim inilah yang telah dengan sengaja by design membagi kelas social masyarakat Islam menjadi dua strata ; kelas bangsawan dan kelas rakyat jelata.
Seorang sahabat nabi bernama Abi Dzar al Ghifari mengomentari kondisi yang terjadi dimasa Utsman bin Affan ; “ Saya heran mengapa orang yang tak punya makanan dirumah tidak menghunuskan pedang dan menyerang orang-orang itu. Ketika kemiskinan datang ke suatu kota, maka kekafiran akan meminta untuk mengambilnya sendiri.”
Legitimasi Agama
Muawiyah menyadari bahwa seluruh agenda politik seperti intimidasi, propaganda, monopoli ekonomi, dalam rangka penguatan kekuasaannya, tidak akan dapat dijalankan tanpa ada legitimasi agama. Mengingat masa kekuasaannya adalah masa yang tidak terlalu jauh dengan masa kenabian, dan banyak diantara para sahabat nabi masih hidup. Maka untuk menghindari kritik atas pelaksanaan pemerintahan yang diarahkan pada dirinya, Muawiyah
mencoba untuk membungkam kelompok kritis yang berseberangan dengannya, dengan cara penyuapan atau jika tak dapat disuap diintimidasi.
Muawiyah menghimpun intelektual bayaran yang terdiri dari kelompok penyair, tukang cerita, dan ulama bayaran. Tugas mereka tak lain adalah menjaga “stabilitas” pemerintahan dengan cara memberikan legitimasi keagamaan atas kebijakan publiknya.Pada masa inilah kemudian muncul dan berkembang paham teologi yang di rekayasa oleh para elite intelektual gadungan atas sponsor Muawiayah. Bahkan paham ini telah sangat jauh melenceng dari spirit ajaran Islam paling fundamental, Diantara sebagian paham-paham itu adalah ;
a. Paham fatalis (jabariyah)
Paham ini percaya bahwa semua peristiwa terjadi memang sudah ditetapkan kejadiannya jauh sebelum penciptaan alam semesta, sehingga manusia tak sanggup untuk mengubah nasibnya sendiri. Muawiyah adalah orang yang menghidupkan keyakinan ini. Qadhi Abdul Jabbar mengutip perkataan Muawiyah “Perkara Yazid ini merupakan takdir Allah dalam perkara ini kita tidak memiliki kehendak atau pilihan. ”Pada satu kesempatan Ubaidullah bin Ziyad bertanya pada Imam Sajjad ; “Bukankah Allah yang membunuh Ali Akbar?” “Orang (manusia) yang membunuh kakaku” Jawab Imam
Sajjad. Paham ini, disatu sisi bertujuan untuk mengokohkan legitimasi pemerintahan Muawiyah, disisi lain betujuan untuk membelokkan umat Islam dari aqidah jihad dan amar ma’ruf nahi mungkar dengan pola pengingkaran umat Islam terhadap taklif (tanggung jawab keagamaan).
b. Paham Jama’ah
Suatu ketika Ibn Ishak melihat Syimr ibn dzil-Jaushan (pembunuh Imam Husein) shalat di masjidil haram dan berdoa ; “Ya Allah Engkau sungguh tahu bahwa aku ini bermartabat, karena itu ampunilah aku” Ibn Ishak menyela ; “mana mungkin diampuni, kalau ternyata kamulah orangnya yang membantu pembunuhan putra Nabi !” “Apa yang telah kami lakukan?” tukas Syimr. “Itu adalah perintah komandan kami, kami tak dapat menolak, jika tidak dilaksanakan maka kami lebih rendah kedudukannya disbanding binatang buas!” Ibnu Ziyad ketika melakukan briefing kepada tentaranya sebelum peristiwaw pembantaian di Karbala, menegaskan ; “Jangan sampai lupa ketaatan dan persatuan, jangan sekalisekali ragu untuk membunuh orang yang memisahkan diri dari agama dan terlibat konflik dengan ‘Imam’ (Muawiyah).” Pada awalnya istilah bay’ah (perjanjian) merupakan konsensus
dan pengakuan sukarela atas pengemban otoritas politis terhadap umat Islam yang didasarkan pada kapasitas, kualifikasi kepemimpinan dan tuntunan ilahiyah. Namun konsepsi ini diselewengkan pihak Muawiyah dari sebuah ‘konsensus’ menjadi sebuah ‘paksaan’, dari kepemimpinan berkapasitas profetis menjadi kepemimpinan berkapasitas bandit.Pergeseran esensi konsep kepemimpinan ini telah terjadi sejak kontroversi penetapan Khalifah pertama, dan berpuncak pada syahadah Imam Husein as. Dinamika awal kepemimpinan Islam pasca kenabian menunjukkan korelasi kuat antara kepemimpinan Islam dan islam sebagai agama. Pilihan konsep kepemimpinan justru akan menentukan “tipologi Islam” yang dianut.
Dalam AlQur’an, Allah berfirman (QS; 4:59) ; Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat di atas berkaitan dengan salah satu isu Islam yang paling penting, yaitu masalah kepemimpinan ilahiyah. Jadi pada prinsipnya, kepemimpinan adalah kunci rahasia bagi kemajuan dan kemunduran kemanusiaan. Seorang pemimpin yang lemah dan tidak berkompeten akan menyesatkan rakyat dan membawanya kepada kehancuran, sedangkan pemimpin yang kuat dan berkompeten akan memimpin rakyat menuju kesejahteraan material dan spiritual. Sebuah kepemimpinan yang benar akan membuka jalan bagi yang berpotensi untuk berkembang, sedangkan kepemimpinan palsu akan menghancurkan potensi umat.
Intisari ajaran yang tertuang pada ayat diatas terdiri dari tiga tahap : tahap pertama, memerintahkan orang beriman untuk taat kepada Allah, karena Dia adalah sumber dari semua jenis ketaatan, maka kepemimpinan harus datang dari yang Maha Perkasa. Pada tahap kedua ia memerintahkan orang percaya untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya, Nabi saww. yang sempurna dan tidak bertindak sesuai dengan keinginan pribadinya.
Pada tahap ketiga dan terakhir Ia memerintahkan orang beriman untuk mematuhi otoritas kepemimpinan Ulul amri, Mereka adalah yang berasal dari kalangan masyarakat muslim yang menjaga Islam dari aspek material dan spiritual dari kehidupan seorang muslim. Namun siapakah mereka yang dapat disebut sebagai pemangku otoritas Ulil Amri?
Konsep Kepemimpinan dan Islam
Mayoritas ulama Sunni dan para penafsir Quran memandang Ulul-Amri adalah penguasa dan negarawan pada setiap zaman. Akibatnya, setiap muslim berkewajiban untuk mematuhi mereka sebagai-pemerintah, apapun esensi pemerintahan mereka adil atau zhalim.
Meskipun ini pendapat tradisional yang umum dari para ulama Sunni, namun ada beberapa pemikir kontemporer dan intelektual Sunni yang telah menolak pendekatan tradisional dan menegaskan bahwa “kita berkewajiban untuk mematuhi mereka dengan syarat bahwa mereka tidak melanggar aturan Islam dan hukum”. Sayid Quthb dalam tafsirnya, Fi zhilalil Qur’an. Ini adalah contoh pendekatan baru dalam menerjemahkan konsep kepemimpinan.
Legitimasi pendekatan tradisional atas Ayat Ulul Amri (misal QS; 4:59) dalam kutipan sebelumnya adalah memerintahkan kita untuk benar-benar taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan Ulul-Amr tanpa syarat mempertanyakan kualifikasi Ulul Amri yang dimaksud. Alasannya adalah, bahwa ketidaktaatan kepada “pihak berwenang” di atas dapat mengganggu stabilitas dan ketenangan umat. Konsep serupa dapat kita bandingkan dengan pasal-pasal dari UndangUndang Subversi warisan kolonialis.
Justifikasi lain yang merupakan salah satu sebab utama adalah bahwa banyak Hadis yang diklaim sebagai dikutip dari Nabi yang menyatakan bahwa para penguasa harus dipatuhi, terlepas dari perilaku mereka dan kualifikasinya.
Hadis tersebut dibuat dalam skala besar diproduksi dalam pabrik hadis. Industri hadis ini didirikan pada masa pemerintahan dinasti Mu’awiyah. Tujuan dari pabrikasi tersebut, adalah pembenaran kepemimpinan palsu mereka untuk menyesatkan umat Islam.
Berikut ini adalah beberapa contoh produk hadits Bani Umaiyah :
Diriwayatkan dari Huzhaifah bahwa Nabi telah berkata: “Akan ada penguasa setelahku, yang mereka tidak mengikuti sunahku. Di antara mereka ada yang hatinya seperti hati setan dalam tubuh manusia” Huzhaifah Kemudian bertanya pada Nabi tentang apa yang harus ia lakukan? Nabi menjawab: “Dengarkan dan ikuti penguasa anda, meskipun ia merampas harta benda dan ternak anda” (Muslim 6: 21).
Diriwayatkan dari Ibn-Abbas telah dikutip dari Nabi mengatakan: “Barangsiapa melihat pemimpinnya sesuatu yang menjijikkan darinya, ia harus bersabar, karena siapa saja yang pergi satu langkah atau satu rentang dari mayoritas jama’ah maka dia akan mati dalam keadaan mati jahiliyah. “ Berdasarkan hadits-hadits diatas, seorang ulama Sunni yang bernama Abubakar Ibn Arabi telah menegaskan dalam bukunya Al-Awasim bahwa: “(Imam) Husain dibunuh oleh pedang kakeknya (maksudnya hadits-nya), karena ia memberontak terhadap Imam (Yazid)”.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang dikutip dari Nabi telah berkata: “Barangsiapa mendurhakai pemerintahannya, ia akan bertemu dengan Allah di akhirat sedangkan dia tidak memiliki bukti atas apa yang telah dilakukan, dan orang yang meninggal tanpa memiliki kesetiaan dari pemerintah ia telah meninggal dan mati Jahiliyah (non-Muslim)” (Muslim 6:20) Abdullah Ibn Umar mengutip hadits tersebut setelah pembantaian yang terjadi di Harra,
Madinah tiga tahun setelah peristiwa Asyura di Karbala.
Imam Nawawi dalam syarahnya berkata dalam penjelasan dari hadis tersebut di atas:
“Semua ulama yang ahli hukum Sunni, perawi dan teolog telah sepakat bahwa khalifah tidak akan jatuh karena korupsi dan kesalahan dan pengabaian kepentingan publik. Jadi tidak ada yang diperbolehkan untuk bangkit melawan dia (penguasa zhalim). Paling banter hal yang diizinkan adalah memberi beberapa nasihat dan menakut-nakuti dia dari azab Allah, karena Hadis mengatakan kepada kita untuk melakukannya.
Sepanjang sejarah Islam, ulama Sunni telah telah berperan dalam melakukan pengelabuan terhadap kaum muslimin, disebabkan oleh ketergantungan mereka pada industri pemalsuan hadits produk Mu’awiyah. Mereka berdoa di belakang siapa pun yang memimpin doa, mereka berbay’at kepada siapa pun penguasa mereka. Kemudian disisi lain kaum Syi’ah dituduh menjadi pemberontak dan teroris.
Banyak kejahatan dalam sejarah Islam yang dibenarkan oleh doktrin palsu tersebut. Dalam peristiwa Harra di kota suci Nabi saaw., pembantaian ratusan umat Islam Madinah yang tidak bersalah menjadi saksi sejarah. Kota suci Nabi saww. Telah dilanggar kesuciannya, dimana telah terbunuh 700 diantaranya adalah mereka yang hafal Quran, 1000 anak perempuan diperkosa dan harta mereka dirampas selama tiga hari oleh tentara Yazid,
semua di bawah legitimasi mematuhi khalifah.
Motif Revolusi Husein
Ada banyak motif untuk revolusi Huseiniyah dan yang paling menonjol yang bersifat ideologis. Berikut ini adalah rinciannya:
Diantara banyak alasan, maka dekadensi moral umat Islam adalah yang paling mendesak untuk dipulihkan. Karena adanya suatu upaya sistematis untuk mendistorsi konsep-konsep dan gagasan Islam. Pemalsuan hadis adalah perilaku dan rahasia umum, yang memiliki efek beracun pada kehidupan kaum muslimin.
Kedok agama yang digunakan untuk menyembunyikan perilaku jahat dinasti Bani Umayah sangat membahayakan Islam sebagai agama. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengubah konsepkonsep Islam yang murni dan menjungkirbalikkan cita-cita sosial Islam. Oleh karena itu, ikhtiyar untuk menanggalkan topeng ini dan mengekspos citra Bani Umayah sesungguhnya adalah suatu kebutuhan mendesak dan penting.
Struktur pemerintahan tidak dibangun atas konsep dasar Islam. Klaim kaum Quraisy bahwa mereka dilahirkan untuk memerintah dan non-Arab adalah warga negara kelas dua. Ini menunjukkan bagaimana gambaran struktur sosial dari dunia Islam di bawah dinasti Bani Umayah. Kebebasan berpikir dan berekspresi ditolak. Ketika seseorang berani untuk mengungkapkan pendapat yang bertentangan dengan penguasa, maka penjara Umayyah akan
menjadi rumahnya, hartanya dirampok, dan bahkan hidupnyadipertaruhkan.
Dinasti Bani Umayah menganggap kekuasaan Islam menjadi property right mereka. Sejumlah kewajiban pajak-pajak Islam seperti sedekah, zakat dan pajak Islam lainnya dikumpulkan, namun dilarang mempertanyakan kemana uang itu dibelanjakan. Gratifikasi dan penyuapan diberikan kepada gubernur dan kepala suku dalam rangka menjamin loyalitas mereka. Sejumlah besar uang dihamburkan dengan sia-sia untuk balapan, perjudian, industri khamr, dan membeli budak perempuan untuk menghibur kaum aristokrat Umayah. Oleh karena itu, sementara mayoritas muslim
bisa mati karena kelaparan, sisi lain kelompok yang berkuasa menikmati hak istimewa sosial dan material.
Pada titik kulminasinya seiring dengan berjalannya waktu, kaum muslimin telah terbiasa dengan regulasi anti-Islam model Bani Umayyah. Beberapa perlawanan dengan mudah ditaklukkan dan akhirnya beberapa kelompok umat mulai menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Oleh karena itu, semangat revolusioner Islam mulai hilang secara bertahap dari kehidupan kaum muslimin. Oleh karenanya maka diperlukan stimulan baru untuk memompa jiwa dan memulihkan kembali kehidupan beragama mereka.
Pentahapan Revolusi
Deklarasi Imam Husain untuk melawan rezim Bani Umayyah tidak diragukan lagi. Selama perjalanan ke Karbala, ia tidak pernah berhenti mengajak orang untuk berjuang untuk menuntut citacita keadilan Islam, dan untuk berperang melawan penyimpangan perilaku. Dalam sambutannya di Karbala, dia mengutip ucapan Nabi (saww) yang mengatakan :
“Barangsiapa yang melihat penguasa kejam, melanggar hukum Allah, melanggar hukum-Nya, bertindak menyalahi sunah Nabi, kemudian dia tidak mencoba untuk mengubah penguasa itu dengan tindakan atau lisannya, maka Allah berjanji memberikan tempat yang layak di Neraka”
“Kini orang-orang Bani Umayyah telah berjanji setia kepada Iblis dan meninggalkan ketaatan kepada Allah.. Mereka telah menyebar korupsi, menangguhkan penerapan hukum Islam, dan merampas harta kaum muslimin untuk diri mereka sendiri. Mengharamkan yang dihalalkan dan menghalalkan apa yang diharamkan.
“Pidato Imam Husain bertujuan untuk membuka kedok agama rezim Umayyah itu. Beliau memperkenalkan dirinya kepada orangorang dan menyampaikan pesan kepada umat Islam. Kepribadian Imam Husain dan reputasi agamanya tidak perlu dipertanyakan. Maka tak heran kalau beliau membawa tugas besar, sementara orang banyak yang tidak siap untuk menyambutnya.
Suatu keunikan dari revolusi besar ini adalah bahwa Imam Husein as. Adalah pemimpin yang telah memprediksi kematiannya sendiri bahkan sebelum menginjakkan kaki untuk melangkah. Namun beliau terus melaksanakan segala persiapan yang diperlukan dan berkampanye. Diantara pernyataan Imam Husain kepada orangorang di Mekah adalah:
“…Sebaik-baik hal bagiku adalah kematian yang akan kualami Wahai manusia, aku melihat seolah-olah tubuhku akan dicabikcabik oleh serigala buas diantara Al-Nawasis dan Karbala. Lalu mereka mengisi kantong-kantong mereka yang kosong. Tidak ada lagi tempat pelarian dari kejaran takdir…”
Imam Husain dan para sahabatnya yang mulia berjuang dengan keberanian yang tiada banding. Pasukan beliau hanya tujuh puluh berjuang melawan ribuan orang dari tentara Yazid dengan pertempuran yang tidak seimbang. Tentara Umayyah menggunakan metode yang paling kejam dan tercela dalam memerangi kafilah kecil ini. Tentara Yazid telah mencegah kafilah ini dari air minum selama tiga hari, dan menyiksanya dalam panasnya padang pasir. Namun keteguhan iman Imam Husain as. dan pengikutnya tidak goyah dalam perjuangannya. Imam telah menyalakan api yang selalu bersinar dengan jihad melawan penyimpangan Islam dan menghancurkan mitos tentang kewajiban kesetiaan kepada rezim Umayyah yang menyimpang.
Hasil Revolusi Imam Husein as.
Apa maksud hasil revolusi Imam Husain? Banyak orang yang tidak paham dengan motivasi kebangkitan Imam Husein, dengan polosnya bertanya tentang hasil revolusi Imam Husein. Bahkan mempertanyakan keputusan Imam untuk melawan rezim Umayah yang dianggapnya sia-sia dan fatal.
Meskipun motif revolusi sudah dibahas, tapi disini kita dapat melihat secara singkat tentang perubahan yang terjadi di dunia Islam akibat revolusi Imam Husain sesuai pada tahapan ini :
Pembunuhan Imam Husain as. cucu Nabi adalah skandal besar bagi seluruh dunia Islam. Apalagi cara pembunuhan dan perlakuan yang diberikan kepada keluarganya yang memiliki derajat mulia. Akibatnya, mayoritas kaum muslimin berlepas diri dari perbuatan
dan kebijakan rezim Umayyah. Dengan demikian, revolusi ini telah menjalankan tugas untuk mengungkap karakter rezim Umayyah yang jauh dari tuntunan Islam kepada masyarakat umum dan kini kaum muslimin tidak meragukan lagi tentang hakekat rezim Umayyah itu. Sebab program rezim Umayyah dalam rangka mendistorsi cita-cita Islam tidak mendapatkan animo lagi.
Revolusi Imam Husain telah membuka jalan untuk tugas umat Islam kedepan. Penderitaan panjang umat Islam berubah menjadi pertobatan massal dan kemudian ke pemberontakan terbuka terhadap rezim Bani Umayah itu. Dengan demikian, revolusi Imam Husein telah memberikan stimulan untuk memindahkan semangat dan mengaturnya dalam gerakan yang dinamis. Kemudian gelombang gerakan Islam terjadi sepanjang sisa sejarah Islam. Serangkaian revolusi terealisasi berkat semangat revolusioner Imam Husain dan reformasi muncul pada interval waktu yang berurutan.
Dalam kesempatan ini kami menutup pembahasan ini dengan mengutip pandangan Syahid Murtadha Muthahari tentang keberhasilan yang dicapai dari kebangkitan Imam Husein ; “Akan tetapi, syahadah Imam Husain meniupkan hawa segar pada dunia Islam, mewujudkan perkembangan dahsyat dalam Islam. Dampak sosial ini karena Imam Husain as telah membangkitkan roh muslimin melalui gerakan kesyahidan. Beliau telah menghidupkan
tradisi syahadah di tengah masyarakat Islam, dan mengurangi perbudakan yang mendominasi sejak akhir priode kepemimpinan Utsman dan memuncak pada zaman Muawiyah serta anaknya. Beliau telah merubah perasaan takut menjadi berani. Singkatnya, bahwa beliau telah menganugerahkan identitas Islam pada masyarakat muslim.”
Penutup
Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa tugas utama dan misi Imam Husein as. adalah untuk membangkitkan umat dan untuk membuat mereka menyadari bahwa kesialan sedang menunggu mereka jika tidak memiliki kepedulian atas nasib umat Islam. Misinya bukan hanya sekedar untuk mereformasi pemerintahan rezim despotis Umayah. Akan tetapi Imam Husain, bersama dengan nenek moyangnya membawa misi yang unik namun universal, yaitu: untuk melawan kebodohan dan menyelamatkan orang-orang agar tidak tersesat.
DISKUSI: