Mengenal Jalaluddin Rumi: Gagasan dan Puisi Sufistiknya (Bagian Pertama)

Rumi dan Puisi Sufistiknya
Beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Husain bin Ahmad al-Balkhi al-Qaunawi, ar-Rumi, Jalaluddin.
Beliau mengetahui fiqih al-Hanafi dan berbagai perselisihan pendapat serta bermacam-macam disiplin ilmu. Di samping itu, beliau juga seorang sufi sejati. Beliau dilahirkan di Balkh, Persia (Iran), kemudian beliau pindah bersama ayahnya ke Baghdad pada saat berusia empat tahun. Ayahnya sering menggembara dari satu negeri ke negeri yang lain, hingga kemudian beliau menetap di Quniyah pada tahun 623 Hijriyah.
Jalaluddin dikenal sebagai orang yang ahli fiqih dan menguasai berbagai ilmu keislaman lainnya. Sepeninggal ayahnya pada tahun 648 Hijriyah, beliau mengajar di Quniyah pada empat sekolah. Beliau adalah pengarang kitab “al-Mastnawi” dalam bahasa Persi yang cukup terkenal.
Cukup banyak pengikut tarekatnya. Dan akhirnya, beliau meninggal dunia di Quniyah dan pemakamannya sangat terkenal hingga hari ini.[1]
Pada abad ketujuh Hijriah, kaum Muslim mengalami kegoncangan pemikiran yang hebat yang dihembuskan oleh tersebarnya ilmu kalam (teologi) yang merupakan obor penggerak Muslimin. Badai kegoncangan itu sangat kuat sehingga memadamkan sendi-sendi hati.
Di tengah-tengah situasi yang tidak menyenangkan itu, bangkitlah Jalaluddin ar-Rumi dengan membawa pesan “cinta abadi”.
Pengaruh Dakwahnya
Akibat dari kebangkitan yang mengagumkan ini yang berasal dari sumber yang jernih, dunia Islam bangun dari tidur panjangnya dan kelalaiannya yang berbahaya, lalu timbullah kehidupan baru. Allah SWT berfirman : “Ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yasin: 78) “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang.” (QS. al-Ana`m: 122)
Syaikh ar-Rumi memperkenalkan mazhab cinta dan menyebutkan keajaiban-keajaibannya serta menjelaskan manfaat-manfaatnya, sehingga hati yang keras menjadi lunak dan jiwa yang gelisah menjadi tenang.
Manfaat-manfaat Cinta
Ar-Rumi menjelaskan manfaat-manfaat cinta dalam pernyataannya: “Sesungguhnya cinta abadi akan mengubah—dengan izin Allah SWT—yang pahit menjadi manis, tanah menjadi emas, kekeruhan menjadi kejernihan, sakit menjadi kesembuhan, penjara menjadi taman, penyakit menjadi kenikmatan, kekerasan menjadi kasih sayang, malam menjadi siang, kegelapan menjadi cahaya, dan kekerasan menjadi kelembutan. Cintalah yang melunakkan besi, mencairkan batu, dan membangkitkan orang yang mati serta meniupkan di dalamnya kehidupan yang baru.
Kekuatan Cinta
Sesungguhnya cinta inilah yang merupakan sayap yang dengannya manusia yang materialis mampu terbang di udara, dan dengannya ia sampai ke pangkuan Pencipta langit dan bumi. Cintalah yang mengantarkan seseorang dari tanah ke bintang Tsuraya dan dari alam yang keras ke alam yang lembut. Jika cinta ini melalui gunung yang kokoh maka gunung itu akan terhuyun, miring, dan bergoncang. Allah SWT berfirman: “Takkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. al-A`raf: 143)
Keadaan Cinta
Cinta itu kaya dan tinggi. Ia tidak dapat dinilai dari sisi kedudukan, jabatan, dan kekayaan. Siapa yang merasakan cinta sekali saja maka ia tidak akan puas dengan kenikmatan lainnya.
Cinta menyebabkan seseorang tidak butuh kepada alam (segala sesuatu selain Allah—pen.) Jika terpikat dengan sang kekasih dan meniadakan yang lainnya dianggap suatu kegilaan maka aku adalah pemimpin orang-orang yang gila.
Penderita Cinta
Semua penderita penyakit pasti mengharapkan kesembuhan dari penyakitnya, kecuali penderita penyakit cinta yang justru berharap agar penyakitnya semakin “parah”. Mereka suka bila kepedihan dan penderitaan mereka meningkat. Oleh karena itu, aku tidak pernah melihat minuman yang lebih manis dari racun ini, dan aku tidak pernah menemukan kesehatan yang lebih baik dari penyakit ini.
Sesuatu Yang Hilang dan Fana Tidak Layak Dicintai
Pertanyaan penting yang harus segera dijawab ialah: kepada siapa gerangan cinta yang merupakan pelita kehidupan dan nilai manusia ini ditujukan? Sesungguhnya cinta abadi tidak layak ditujukan kepada sesuatu pun kecuali kepada sesuatu yang abadi, karena ia tidak tepat jika dinisbatkan kepada sesuatu yang hilang atau fana.
Cinta itu adalah hak Zat Yang Maha Hidup dan tidak mati, yang memberikan kehidupan atas semua wujud. Ar-Rumi berargumentasi atas hal tersebut melalui kisah Nabi Ibrahim as yang terekam dalam Al-Qur’an: “Aku tidak suka kepada sesuatu yang tenggelam (hilang).” (QS. al-An`am: 76)
Ya, madrasah Jalaluddin Rumi adalah madrasah cinta. Rumi lahir dari cinta,tumbuh dan berkembang karena cinta dan mengabdi serta berjuang untuk cinta dan tentu hidup untuk menebar cinta. Sehingga bisa dikatakan bahwa sekujur tubuh Rumi berisi dengan cinta. Rumi hidup karena cinta dan untuk cinta dan mati untuk mendapatkan cinta Ilahiah yang diidam-idamkannya.
Rumi menganggap bahwa saripati dari ajaran agama adalah cinta. Al-Quran adalah kitab cinta dan Nabi Muhammad saw adalah penebar cinta di tengah umat. Dan bagi Rumi, cinta dalah segala-galanya. Cinta adalah nyawa kehidupan dan tanpa cinta kehidupan tan bermakna. Dan pencinta akan melalui kehidupan dengan mudah dan mampu melewati pelbagai hambatan dengan penuh keyakinan dan kemantapan.
[1] Referensi-referensi biografinya:
1-al-A`lam, karya Zirikli (7/258)
2- al-Jawahir al-Mudhi`ah (2/123)
3- Miftah as-Sa`adah (2/145)
Juga silakan Anda merujuk kitab “Rijal al-Fikr wa ad-Da`wah, karya Allamah Abul Hasan an-Nadwi, juz pertama, halaman 359-370.