Mengenang Hidup Seorang Alim
Mengenang Hidup Seorang Alim
“Setiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.” (QS: Al Imran 185)
Siang kemaren, Zain saudara Saya menelepon, setelah salam langsung mengatakan: “Kabar duka!”.
Seketika itu Saya tanya, “Ada apa?”
“Beberapa menit yang lalu, Ustadz Abu Ammar meninggal dunia!”
Saya terkejut sembari berucap, “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun…”.
Kabarnya, beliau wafat pukul 11:35 (Sabtu 08 April 2018) di rumah sakit Hurami, Qom, Iran. Tak berselang lama berita sedih ini cepat viral melalui grup-grup WA dan telegram kawan-kawan. Sebagian mereka juga mensharenya di akun FB. Terlihat setelah itu emoticon sedih bagai karangan bunga “turut berduka” datang berbondong-bondong. Doa serta Alfatihah untuk Almarhum pakar filsafat ini membanjiri kolom komentar.
Almarhum adalah seorang alim, guru besarnya banyak kawan dari berbagai kalangan, pelajar maupun pengusaha. Di mata Saya, sang pecinta ilmu ini dermawan, zuhud, setia kepada sahabat dan peduli kepada murid-muridnya. Ia sangat hati-hati serta teliti dalam setiap tindakan.
Saya percaya, yang sangat mengenal beliau akan merasa sangat kehilangan. Tentunya, banyak kenangan yang berkesan dari mendiang saat bersama ahli irfan ini. Maka patutlah bagi mereka mengadakan majlis tahlil atas wafatnya sang ustadz atau sahabat. Biasanya -dan sangat bermanfaat bila- kebaikan-kebaikan dari orang yang saleh seperti beliau, dalam ilmu dan amal, ucapan dan perbuatan, akan bermunculan di benak-benak mereka untuk dapat dishare kepada yang lain.
Nilai Seorang Alim
Saya mendapati sebuah hadis, Imam Muhammad bin Ja’far al-Baqir berkata: “Seorang alim yang mengamalkan ilmunya adalah lebih utama dari seribu orang ‘abid (yang tekun ibadah). Demi Allah, kematian seorang alim lebih disukai oleh iblis daripada kematian tujuh puluh orang ‘abid.”
Hadis ini membandingkan orang alim dengan –dan mengutamakan atas orang ‘abid. Kendati ibadah yang dalam Alquran dikatakan sebagai tujuan penciptaan manusia, tanpa ilmunya maka ibadah adalah gerakan raga semata. Perintah shalat, misalnya, bukanlah shalat “yang penting shalat”, tetapi adalah yang sebagaimana Rasulullah saw ajarkan. Mungkin perkara ini mirip dengan makna hadis bahwa “tidurnya shaim (yang berpuasa) adalah ibadah”. Dengan kata lain, orang alim seperti shaim yang tidurnya saja adalah ibadah, bahkan lebih utama dari bangunnya orang jahil dalam ibadah.
Mengapa dikatakan bahwa tinta ulama lebih utama dari darah syuhada? Saya mencari-cari alasannya dengan berpikir, dan yang dapat Saya katakan ialah bahwa kehidupan seseorang menjadi lebih berharga karena ilmunya. Hidupnya lebih penting dari matinya dikarenakan ilmunya. Banyak orang sampai rela mati demi hidupnya seorang alim.
Dalam kepemimpinan juga demikian. Bahwa pemimpin yang ideal, jelas bukanlah orang bodoh walaupun dia terkaya. Namun demikian, sebagaimana diterangkan dalam hadis Nabi saw, yang maknanya: “Ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah.” Sekalipun ilmu memiliki keutamaan yang tinggi, ia bahkan menjadi bumerang bagi pemiliknya.
Ustadz: “Saya Ingin Meninggal di Neegeri Para Mulla”
Banyak orang bila menerima kabar kematian sahabat, mereka menanyakan, bagaimana kematiannya? Jarang yang ditanyakan adalah bagaimana kehidupannya. Di sini Saya ingin berbagi dari apa yang pernah Saya lihat langsung dan dari share kawan-kawan tentang pribadi Ustadz Abu Ammar.
Pertamakali Saya berjumpa dengan beliau, pada tahun 90 an di rumah kawan Bapak Saya. Saat itu status Saya pelajar satu pondok pesantren di JABAR, dan waktu itu Saya sedang liburan, Bapak mengajak Saya untuk hadir di pengajian Ustadz. Ketika itu kami mendapat pelajaran cara berwudu plus prakteknya. Saya ingat sekali, Ustadz datang dengan motor vespa untuk mengisi kajian di sana. Di tahun itu pula Sohibulbait juga mengadakan peringatan hari kesyahidan Imam Husein cucu Nabi saw, dengan undangan umum dan Ustadz yang menyampaikan ceramah hikmahnya.
Tentunya banyak cerita tentang beliau, saat bersama dan berinteraksi dengan Ustadz. Di antaranya setahun yang lalu Saya dan kawan-kawan saat ziarah, beliau mengundang kami makan malam di rumah Ustadz. Yang teringat dari kami, canda beliau kepada kami, “Kalian ini faqr nggak faqr..(maksudnya, tak punya seperti orang punya) bisa ziarah beberapa kali. Beberapa bulan yang lalu saat Almarhum pulang ke Indonesia, Saya bertemu dengan beliau di satu majlis sedang mengisi kajian dalam momen Ghadir Khum. Menariknya, sejumlah orang yang hadir terlihat dari kaum cingkrang.
Dua tiga hari berikutnya, Saya bertemu dengan beliau di rumah paman Saya. Almarhum bercerita tentang perjumpaannya dengan Almarhum Marji’ Taqlid Syaikh Behjat di kediaman Sang Arif ini, dan mengungkapkan: “Saya mengambil berkah dari beliau dengan memijat refleksi kaki beliau, dan takjub kepada beliau yang selalu berzikir dengan tasbih yang tak pernah lepas dari tangan berkahnya.” Satu kesempatan yang sangat berharga dan kenangan manis yang tak terlupakan bagi Almarhum. Dinukil dari seorang kawan; “Almarhum Ustadz mengajarkan saya cinta kepada dzurriyah Rasulullah saw.”
Copas dari saudara Saya, bahwa Ustadz seperti sedang berwasiat sering mengatakan: “Kalau Saya meninggal, kuburkanlah Saya di sana (di tempat wafat). Namun Saya berdoa kepada Tuhan, Saya ingin meninggal di Negeri Para Mullah..”
Selamat jalan Ustadz.. Semoga engkau bersama orang-orang yang engkau cintai di sana, bersama Rasulullah saw dan keluarganya yang suci. Amiin.