Merah Putih Karbala
Karbala, kita mengenalnya sebagai medan pertempuran antara kebenaran dan kebatilan. Tempat itu mendulang kisah epik Al-Husein, kisah cucu kesayangan Nabi Muhammad yang memperjuangkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pengorbanan dirinya merupakan pembebasan bagi seluruh umat manusia dari ketidakadilan.
Al-Husein menjadi martir di Karbala setelah dibantai oleh pasukan Yazid karena telah mewariskan karakter kakeknya dalam melawan kebatilan. Padang Karbala menjadi saksi pengkhianatan terbesar sepanjang sejarah umat Islam yang dilakukan oleh Yazid bin Muawiyyah terhadap Nabi Muhammad Saw.
Heroisme Al-Husein di Padang Karbala menginspirasi banyak orang di seluruh dunia, khususnya bagi orang-orang yang mempunyai jiwa merdeka. Sebuah perjuangan inspiratif, membangunkan emosi orang-orang tertindas, membuat mereka berani menghadapi ketidakadilan. Bersama dengan Al-Husein jiwa mereka terlepas dari belenggu-belenggu kemunafikan untuk menegakkan keadilan.
Kisah epik ini ternyata telah membangun peradaban baru bagi para visioner yang anti terhadap penindasan, diktator, koruptor, intoleran, radikalisme dan segala macam bentuk kezaliman yang dilakukan oleh rezim di negerinya. Mereka bangkit melawan rezim tiran di negerinya atas kesadaran menjunjung tinggi nilai keadilan demi mencari kemuliaan dan integritas.
Mega tragedi Karbala mengajarkan kepada kita bahwa tujuan mulia itu memerlukan pengorbanan. Al-Husein mengorbankan dirinya untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut dengan menjaga kehormatan, kesetiaan dan segenap keberaniannya. Diluar menjaga eksistensi kemurnian agama kakeknya dari tangan orang lalim, Yazid bin Muawiyah, Al-Husein telah mengajarkan sebuah falsafah pengorbanan kepada kita. Dari pengorbanan inilah yang menjadi api dalam membangun peradaban manusia.
Keberanian Al-Husein memberi pengaruh kepada Soekarno, Che Guevara, Ghandi dan Imam Khomaini untuk merevolusi negerinya dari penjajahan kapitalisme. Revolusi mental yang diusung oleh Presiden Jokowi juga merupakan rentetan dari revolusi yang dibangun oleh Soekarno. Hikmah dari revolusi mental tersebut untuk mengajak kita berpikir terbuka dalam kemajemukan, membangun peradaban bangsa yang lebih baik, membebaskan skat-skat perbedaan dengan merangkul semua agama, suku, ras dan antar golongan ke dalam bentuk Bhinneka Tunggal Ika.
Al-Husein tidak pernah tunduk maupun iba di hadapan pasukan Yazid, sebagaimana Soekarno pantang menyerah menghadapi ancaman maupun gertakan para penjajah. Bung Karno membakar semangat rakyat agar terbebas dari ketertindasan dan perbudakan demi memuliakan bangsa Indonesia. Begitu pula bagi para revolusioner lainnya, demi mengangkat derajat bangsanya mereka berani melawan orang-orang lalim yang ingin menguasai negerinya.
Bendera Merah Putih yang melambangkan kemerdekaan Indonesia terdapat kesamaan filosofis dengan perjuangan Al-Husein di Karbala. Dalam perjuangan tersebut, terdapat bukti filosofis yang sama, bagaimana gairah seseorang saat menemukan jati dirinya untuk berkorban demi kemerdekaan. Sebagaimana kutipan terkenal mengenai perjuangan Al-Husein, semua hari adalah Asyura dan semua tempat adalah Karbala.
Putih yang melambangkan tujuan suci atau kebenaran dan merah sebagai darah atau keberanian para pejuang, terdapat jejak yang sama dengan para pejuang di Karbala. Jejak keberanian dan niat tulus para pejuang di Karbala mempunyai implementasi yang sama yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia. Mereka mengorbankan dirinya menjaga tanah air demi memuliakan rakyat kecil yang ditindas oleh para penjajah. Hal itu pula yang akhirnya membentuk ideologi berbangsa dan bernegara.
Merah Putih di Karbala merupakan misi suci dan darah Al-Husein sebagaimana jasmani dan rohani para pejuang Indonesia yang dilambangkan ke dalam Bendera Merah Putih. Kesucian jiwa membuat para pejuang tak gentar menghadapi pasukan penjajah, sedangkan pengorbanan dirinya merupakan keberanian untuk membela kemerdekaan Indonesia. Gugurnya Al-Husein di Karbala dengan gugurnya para pejuang Indonesia mempunyai nilai yang sama dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Kesamaan dari kisah perjuangan Al-Husein di Karbala dan perjuangan kemerdekaan Indonesia disimbolkan oleh masyarakat Jawa. Sejak sebelum kemerdekaan masyarakat Jawa sudah mengenal dengan tradisi Bubur Syura. Bubur ini disajikan tepat pada peringatan Asyuraan, yang dikaitkan dengan peristiwa gugurnya Al-Husein, cucu Rasulullah, di Padang Karbala. Bubur ini, umumnya, dihidangkan bersamaan dalam sebuah piring kecil yang porsinya dibagi dua, yakni setengah untuk bubur merah, setengah lagi untuk bubur putih, tradisi ini persis seperti membentangkan Bendera Merah Putih.
Setelah kemerdekaan Indonesia tradisi itu tetap berlangsung untuk mengenang para pejuang yang gugur. Umumnya Bubur Merah Putih ini disajikan pada hari ke-10 bulan Muharram, namun setiap tanggal 17 Agustus di beberapa daerah juga menyajikan Bubur yang sama. Tradisi yang juga dikenal dengan Bubur Syura ini merupakan sajian untuk mengenang para pejuang yang memiliki keberanian menjunjung tinggi nilai kebenaran.
Bubur ini juga disimbolkan kepada para pejuang yang membela Al-Husein di Karbala. Selain itu, di beberapa daerah di Jawa Timur misalnya, tradisi Bubur Syura ini terdapat kandungan filosofi lain, yaitu sebagai penghormatan kepada Al-Husein yang telah membangunkan jiwa para pejuang bangsa Indonesia.
Bubur Merah Putih itu menjadi tradisi penghormatan bagi para pejuang pemberani yang gugur di Indonesia maupun di Karbala. Namun pada keyakinan kejawen Bubur Merah Putih ini diyakini juga sebagai simbol kehidupan baru, umumnya bagi anak yang baru lahir orangtuanya menyajikan Bubur ini.
Dengan demikian, filosofi Merah dan Putih melambangkan kedaulatan bangsa Indonesia, yaitu lahirnya kehidupan baru dengan kemerdekaan, makna lainnya merupakan lambang penghormatan terhadap tujuan suci dan keberanian para pejuang penegak keadilan, dan hal yang sama juga dilakukan oleh para pejuang di Karbala.