Merajut Sakinah dalam Keluarga
‘Sakinah bersama-mu’ bak judul film yang menggambarkan tentang keromatisan kehidupan pasangan suami-istri. Ungkapan yang sederhana namun penuh makna, pasangan suami-istri perlu kerja keras untuk meraihnya. Sebagaimana dalam menggapai mawadddah harus melalui tahapan-tahapannyas, dalam menggapai sakinah pun terdapat berbagai tahapan yang mesti dilewatinya. Tujuan pernikahan menurut al-Quran adalah membangun keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. [QS ar-Rum:21] Namun, bagaimana kita dapat membagun keluarga semacam itu, bila kita sendiri tidak faham apa itu sakinah?
Sakinah dalam rumah tangga itu sendiri memiliki tingkatan-tingkatan, mulai dari tingkatan awal yang sangat sederhana hingga sakinah sejati pada tahapan tertinggi. Merujuk kepada buku ‘pengantin al-Quran’ karya pakar tafsir bumi pertiwi, Quraisy Syihab, beliau menyatakan bahwa dalam tahapan awal ‘kenapa manusia menikah?’ menggambarkan bahwa bagaimana naluri seks kepada lawan jenis, atau berpasangan, terkhusus saat menginjak dewasa sedemikian mendesak, sehingga menimbulkan kegelisahan jika tidak terpenuhi. Di sinilah lahir tujuan awal pernikahan ialah meraih sakinah. Dengan terpenuhinya kebutuhan dengan menyalurkan secara halal maka terwujud sakinah pada tingkatan awal.
Kata sakinah artinya ketenangan, lawan kata dari kegoncangan. Kata ini tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak, gejolak apa pun bentuknya. Kecemasan menghadapi musuh, bahaya, dan kesedihan, bila disusul dengan ketenangan batin yang mendalam maka ketenangan tersebut disebut sakinah. Cinta yang bergejolak di dalam hati dan diliputi oleh ketidakpastian, yang menghantar kepada kecemasan akan membuahkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman hati bila dilanjutkan dengan pernikahan.
Kita menyadari bahwa hubungan yang erat dan dalam dengan pihak lain termasuk pasangan akan membantu mendapatkan kekuatan dan membuat mampu menghadapi segala tantangan. Karena itu, di antara alasan tujuan menikah ialah dorongan kebutuhan jiwanya meraih sakinah dan ketenangan. Ketenangan tersebut didambakan oleh seorang suami, dibutuhkan oleh seorang istri, juga dibutuhkan oleh anak-anak bukan saja saat mereka berada di tengah keluarga, tetapi sepanjang masa. Ketenangan tersebut adalah ketenangan yang timbal balik antara pasangan suami-istri, bukan untuk pihak suami saja, atau untuk istri saja. Hal ini juga telah disebutkan dalam al-Quran dengan menyatakan bahwa di antara tujuan menikah ialah untuk saling memberikan sakinah kepada pasangan. [QS ar-Rum:21] Dalam ayat tersebut, Allah Swt menggunakan ungkapan ‘azwaj’ jamak dari kata ‘zauj’ yang artinya pasangan.
Sakinah harus didahului oleh gejolak, menunjukkan bahwa ketenangan yang dimaksud adalah ketenangan yang dinamis. Pasti dalam setiap rumah tangga ada saat-saat gejolak dan kesalahfahaman terjadi. Mustahil sebuah rumah tangga tanpa gejolak, karena itu bagaikan bumbu dalam masakan. Rona-rona itu yang menjadikan rumah tangga menjadi hidup dan berwarna. Namun, gejolak-gejolak tersebut dapat segera tertanggulangi dan kemudian melahirkan sakinah. Pasti untuk menanggulanginya dengan baik dan bijak memerlukan banyak hal, di antaranya bila tuntunan-tuntunan agama dihayati dan pahami oleh anggota keluarga, bersikap pengertian, keterbukaan, mendahulukan kenyamanan dan ketenangan keluarga, dibandingkan ego masing-masing.
Sakinah bukan sekedar apa yang terlihat pada ketenangan lahir, yang tercermin pada kecerahan air muka dan rona wajah. Namun sakinah terlihat pada kecerahan air muka disertai dengan kelapangan dada, budi bahasa yang halus, yang dilahirkan oleh ketenangan batin akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati, serta bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad yang kuat.
Tingkatan tertinggi dari sakinah bisa kita lihat dari pasangan teladan kita, Imam Ali as dan Sayidah Fatimah, bagaimana beliau berdua telah mencontohkan kepada kita agar pasangan suami istri senantiasa menciptakan ketenangan untuk pasangannya.
Tentang Imam Ali as, kepada Rasulullah Sayidah Fathimah as berkata, “Wahai ayahku, dia suami yang paling baik.” [Biharul Anwar, jil 43, hal 133]
Sedangkan Imam Ali as berkata, “Tiap kali aku memandang wajahnya, maka hilanglah semua gundah gulana dan kesedihanku.” [Biharul Anwar, jil 43, hal 134]
“Sumpah demi Alloh, Aku tidak pernah membuat Fathimah marah dan sedih…dan Fathimah pun tidak pernah membuatku marah dan sedih.” [Arbili, Kasyful Ghummah, jil 1, hal 492]
Sayidah Fathimah as juga mengajarkan kepada kita agar tetap dapat menciptakan sakinah untuk pasangan dalam segala kondisi. Basanya kenyamanan akan goyah saat kesulitan hidup menimpa mereka, terutama kesulitan ekonomi, ‘ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang’.
“Wahai Abal Hasan yang ruhku sebagai tebusan ruhmu, jiwaku sebagai tebusan jiwamu, jika engkau dalam kebaikan aku akan bersamamu, begitupula jika engkau dalam kesulitan aku juga akan tetap bersamamu.” [Al-Kaukab ad-Durriyu, jil 1, hal 196]
Karena itu Sayidah Fathimah as dikenal dengan ‘haniyah’ yaitu seorang perempuan yang sangat penyayang dan lemah lembut terhadap suaminya. Kasih sayang dan kelembutannya sangat luar biasa ditumpahkan untuk kebahagiaan dan kenyamanan suaminya. Itulah puncak cinta, kasih sayang dan kelembutan seorang istri. Beliau berdua merupakan pasangan yang paling romantis di dunia dan akhirat.
Di bawah ini beberapa pertanyaan untuk mengetahui sakinah yang kita telah diraih bersama pasangan:
Saat bersama pasangan apa yang dirasakan? Ketenangan, ataukan semakin bete? Lebih senang berkumpul bersama teman-teman, ataukah bersama pasangan? Lebih senang curhat masalah ke orang lain, ataukah kepada pasangan? Saat ada masalah, bertambah ringankah beban pasangan saat bersama kita, ataukah sebaliknya bertambah sumpek?
Jika rumah tangga kita masih jauh dari sakinah sejati, tak ada kata lambat dan lelah bagi pasangan suami-istri, untuk terus memperbaikinya, selama hayat masih dikandung badan.