Nabi Ibrahim as dan Pola Asuh Anak
Euis Daryati, Lc, MA_______ Banyak momen yang terjadi di Bulan Dzulhijjah terkait dengan Nabi Ibrahim as beserta keluarganya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa ibadah haji merupakan ringkasan dari berbagai aktifitas keluarga Nabi Ibrahim as yang telah diabadikan oleh Allah SWT. Beliau merupakan salah satu nabi yang banyak disebut dalam Alquran terkait langsung dengan pendidikan keluarga.
Allah SWT telah menjadikan Nabi Ibrahim as sebagai uswatun hasanah atau teladan baik bagi kita [QS al-Mumtahanah:4]. Salah satu yang dapat kita jadikan teladan dari kehidupan beliau ialah ‘pola asuh anak’ dalam keluarga;
Memilih Lingkungan Pendidikan yang Baik
Dengan melihat fenomena, Nabi Ibrahim as dapat memahami kondisi yang tengah terjadi dan akan terjadi. Di mana hal tersebut dapat berpengaruh bagi perkembangan putranya. Beliau cerdas dalam menangkap sikon yang tidak mendukung bagi perkembangan dan pendidikan putranya. Karena itu, meskipun Nabi Ismail as dilahirkan di Kan’an, negeri yang subur dan baik bagi perkembangan fisiknya, namun beliau memilihkan tempat yang lebih tepat untuk perkembangan dan pendidikan putranya. Mekah menjadi tempat pilihan untuk pertumbuhan dan pendidikan putranya.
رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau… agar mereka mendirikan solat… beri rezeki mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” [QS Ibrahim:37]
Nabi Ibrahim as memilih kota Mekah yang masih bersih dan suci. Beliau yakin bahwa kelak anak dan istri beliau akan menjadi orang yang bermanfaat, karena tempat tersebut mendukung untuk perkembangan mental dan spiritualnya. Meskipun kondisi Mekah itu tandus dan kering, namun beliau yakin akan campur tangan Allah SWT dalam mendidik putranya untuk menjadi generasi yang saleh.
Jika dianalogikan kepada kita sebagai orang tua, maka pada tahapan pertama, suami sebagai kepala rumah tangga hendaknya selektif dalam memilihkan tempat tinggal, juga, lingkungan pendidikan anaknya. Dalam memilihkan tempat tinggal, hendaknya hal yang paling diperhatikan ialah tempat tersebut nyaman untuk pertumbuhan dan pendidikan anaknya. Jauh dari pergaulan tidak sehat, bersih dari narkoba, miras dan lainnya. Karena rumah dan lingkungan, pada tahapan awal dapat memberikan pengaruh baik dan buruk pada karakter anak.
Rumah adalah madrasah pertama bagi anak. Karena masa kehamilan dan masa menyusui anak selalu bersama ibu, maka ibu juga merupakan guru pertama bagi anak. Ibu sebagai guru pertama dapat menanamkan pondasi-pondasi kuat bagi karakter anak untuk menjadi generasi yang soleh atau solehah. Ibu yang salehah dan tangguh seperti Hajar, sebagai guru pertama dapat membentuk murid pertamanya menjadi generasi yang saleh dan tangguh seperti Ismail as.
Begitu pula, terkait dengan tempat pendidikan, jika dianalogikan dengan pendidikan modern, Mekah diibaratkan sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas,
Jika tidak dapat mendidik anak-anaknya sendiri, maka harus selektif dalam memilih lembaga pendidikan yang formal, maupun non formal. Pilihlah lembaga pendidikan yang memiliki kriteria; kondusif dalam proses belajar mengajar, lingkungan yang sehat, jauh dari bully, disiplin, menanamkan nilai-nilai, memperhatikan sisi psikologis dan spiritual anak-anak. Bukan hanya sekolah yang hanya prioritas pada sisi akademisi saja, tanpa memperhatikan kebutuhan lain anak-anak. Anak bukan seperti mesin yang hanya dijejali pelajaran-pelajaran saja, dengan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Generasi yang kita butuhkan ialah generasi yang cerdas, saleh, dan mandiri.
Motivasi Ruhani Orangtua
Nabi Ibrahim as motivator sejati dalam dunia pendidikan, beliau sosok yang senatiasa memberikan motivasi terhadap anak-anaknya berupa doa. Beliau sadar, bahwa beliau tidak dapat memberikan dorongan langsung secara fisik. Karena itu, beliau memberikan dorongan ruhani dengan senantiasa mendoakan agar putra dan istrinya dapat melangsungkan kehidupan di Mekah.
Untuk menjadi orang tua baik bukan hanya sekedar mengetahui ilmu parenting dan prakteknya dalam pendidikan anak, namun juga kita memerlukan campur tangan Tuhan agar anak menjadi generasi soleh. cerdas dan sukses. Nabi Ibrahim as tidak banyak memberikan bekal materi, namun tidak henti-hentinya bermunajat kepada Allah agar anak dan keturunannya menjadi generasi yang baik.
رَبِّ ٱجْعَلْنِى مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِى ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ
“Ya Allah, jadikanlah aku dan dari anak keturunanku termasuk orang-orang yang mendirikan solat. Maka kabulkanlah doa (ku)…” [QS Ibrahim:40]
Terdapat perbedaan antara melaksanakan shalat dan mendirikan shalat. Banyak sekali orang yang melaksanakan shalat, namun tidak banyak orang yang mendirikan shalat. Orang yang mendirikan shalatnya dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Meneladani Nabi Ibrahim as, orangtua hendaknya mendidik anaknya agar menjadi orang mendirikan shalat, bukan hanya sekedar melaksanakan shalat.
Tentang doa orangtua untuk anak juga telah dicontohkan oleh Imam Sajjad as, dalam ash-Shahifah as-Sajjadiyyah. Banyak keajaiban dari doa orang tua bagi kebaikan anaknya. Doa tersebut dapat membantu dalam pembentukan karakter baik anak. Doa orang tua muncul karena ridha kepada anak, ridha orang tua adalah ridha Allah. Ridha Allah dan ridha orang tua hasilnya ialah kebikan, keberkahan, dan kebahagiaan. Karena itu, orang tua hendaknya senantiasa dalam doa-doanya, baik doa qunut, maupun yang lainnya, bermunajat dengan khusyu demi kebaikan anaknya. Karena hal itu merupakan makanan ruhani, dan motivasi ruhani bagi anak, untuk menjadi generasi yang soleh di masa mendatang.
Bersifat Demokratis dan Komunikatif Kepada Anak
Sikap demokratis dan komunikatif Nabi Ibrahim terlihat dari kisah penyembelihan putranya. Ketika Ibrahim mendapat perintah menyembelih anaknya, ia panggil Ismail menggunakan kata “Ya bunayya” atau “Wahai anakku sayang”. Kata itu merupakan panggilan penuh kasih sayang, komunikatif antara seorang ayah dan anak.
Ibrahim juga meminta pendapat Ismail tentang perintah penyembelihannya,
قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
(Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-Shaffat:102).
Suatu perintah yang wajib dilaksanakan, tetapi tetap dikomunikasikan secara demokratis.
Hal ini mengisyaratkan kepada orang tua agar mendidik anaknya dengan cara demokratis dan komunikatif. Orang tua tidak boleh memaksakan kehendak kepada anaknya, kecuali hal yang bersifat prinsip, misalnya, soal ketaatan pada ajaran agama. Orang tua juga jangan menampilkan diri sebagai sosok yang ditakuti anak, tetapi jadilah sosok guru yang disayangi, dihormati, dan diidolakan