Napak Tilas Kehidupan Khadijah as, Perempuan Pertama Pembela Dakwah Islam (Bagian kedua)

image
Masih melanjutkan tentang kehidupan Khadijah as yang patut kita ketahui dari perempuan agung ini. Di artikel sebelumya telah mengulas tentang nasab, dan status beliau pra nikah dengan Rasulullah saww.
Perkenalan Sayidah Khadijah as dengan Nabi Muhamad saww
Dalam mengendalikan bisnisnya, Sayidah Khadijah akan mengirim rombongan yang telah dibayar dengan bayaran tertentu, untuk membawa barang dagangannya ke Syam dan tempat-tempat lainnya. Rombongan dagang inilah yang akan melakukan transaksi jual beli untuk semua barang dagangannya. Sebelum diangkat menjadi nabi pun, kejujuran, tanggungjawab, dan amanah Nabi Muhamad saww sudah menjadi bahan pembicaraan dan buah bibir masyarakat Mekah. Nabi Muhamad saww terkenal jujur dan dan dapat dipercaya hingga digelari ‘al-amin’. Karena itu, Sayidah Khadijah as tertarik untuk memintanya pergi bersama rombongan dagangnya ke Syam dan tempat-tempat lainnya. Karena kejujuran dan amanahnya ini pula Sayidah Khadijah mengusulkan upah lipat ganda kepada Nabi Muhamad saww.
Setelah mendengar tawaran tersebut, Nabi Muhamad saww pun bermusyawarah dengan pamannya, Abu Thalib, dan ia pun menyetujuinya. Setelah mengadakan perjanjian, Nabi Muhamad saww pun diberi tugas meminpin salah satu rombongan dagang milik Sayidah Khadijah as. Dan, Sayidah Khadijah pun mengirim budaknya, Maisaroh untuk mengurusi semua keperluan Nabi Muhamad saww selama perjalanannya.
Rombongan dagang pun sampai di kota Syam. Semua barang dagangan terjual habis laris manis. Dan, sebelum kembali, mereka membeli barang-barang dagangan lainnya dan siap-siap untuk kembali ke Mekah.
Untuk pertama kalinya, rombongan dagang milik Sayidah Khadijah pun mendapatkan keuntungan yang sangat besar, yang tidak pernah dialami sebelumnya. Nabi Muhamad saww bersama rombongan dagangnya pun sangat bahagia karena keuntungan yang diraih dari perniagaan tersebut.
Rombongan dagang pun tiba di Mekah. Dengan penuh semangat, Maisaroh menceritakan semua keajaiban yang telah disaksikannya selama menemani Nabi Muhamad saww, yang menunjukkan kedudukan agung yang dimiliki oleh beliau. Maisaroh juga menceritakan tentang pertemuannya dengan seorang pendeta, lalu menyampaikan pesan pendeta tentang Nabi Muhamad saww kepadanya.
Kemudian Nabi Muhamad saww pun pergi menghadap Sayidah Khadijah as dan melaporkan dan menyerahkan hasil perdagangannya. Sayidah Khadijah as mengucapkan selamat atas keberhasilannya dalam perniagaan, begitu juga pamannya, Abu Thalib.
Pernikahan Sayidah Khadijah as dan Nabi Muhamad saww
Setelah mengetahui keajaiban dan keistimewaan yang terjadi pada Nabi Muhamad saww, juga keberhasilan luar biasa yang telah dicapainya, dan keluhuran-keluhuran perilakunya selama perjalanan niaganya, tumbuhlah rasa cinta Sayidah Khadijah as terhadap Nabi Muhamad saww. Sayidah Khadijah as tertarik kepada Nabi Muhamad saww, menurutnya beliau bukanlah orang biasa, namun orang yang sangat mulia dan memiliki derajat yang agung. Terbesit pada diri Sayidah Khadijah ingin menikah dengan Nabi Muhamad saww.[1]
Karena itu, berdasarkan pendapat masyhur, sebab pernikahan Nabi Muhamad saww dengan Sayidah Khadijah as ialah karena keajaiban dan keistimewaan yang terjadi selama perjalanan niaganya serta keberhasilannya, juga semua keluhuran sifatnya yang menunjukkan keagungan pribadinya dan kemuliaan sifatnya.
Adapun terhubungnya Sayidah Khadijah kepada Nabi Muhamad saww untuk pernikahannya, terdapat beberapa pendapat dalam hal ini;
Sebagian sejarawan mengatakan melalui perantara Nafisah, teman dekat Sayidah Khadijah as. Suatu hari, Sayidah Khadijah as tengah termenung memikirkan tentang keajaiban dan keistimewaan yang terjadi pada Nabi Muhamad saww dan semua keagungannya. Ia tidak dapat menyembunyikan semua perasaan ketertarikan hatinya kepada Nabi Muhamad saww. Tiba-tiba masuklah Nafisah, teman dekatnya melihat kondisi Sayidah Khadijah as seperti itu. Sayidah Khadijah as berusaha menyembunyikan semua perasaannya, dan berusaha tampil wajar. Namun Nafisah tidak dapat dibohongi, ia sangat kenal betul Sayidah Khadijah as. Karena kedekatannya ia dapat memahami dan mengetahui semua perasaan sahabatnya itu. Nafisah terus berusaha mengorek rahasia sahabatnya yang senantiasa berusaha untuk menutupinya, sampai akhirnya dapat mengetahuinya.
“Wahai Khadijah, jangan engkau siksa dirimu karena kesedihanmu. Ini hal yang mudah, aku berjanji padamu akan berbicara dengannya tentang cinta tulusmu ini. Yakinlah, aku akan berusaha membantumu semampuku.”[2]
Nabi Muhamad saww dalam kesendiriannya senantiasa bertafakur merenungkan tetang Allah Swt, manusia dan alam semesta. Paman tercintanya, Abu Thalib yang senantiasa menemaninya dengan penuh kasih sayang, baik dalam keadaan sedih maupun senang.
Suatu hari, Nafisah menemui beliau dalam kondisi beliau sedang bertafakur. Nafisah mengucapkan salam kepada Nabi Muhamad swaw, dan memulai pembicaraannya.
“Wahai Muhamad, usiamu sudah melampaui dua puluh tahun dan engkau masih sendiri, kenapa engkau tidak berniat untuk menikah?”
Nabi Muhamad saww terdiam tidak menjawab. Beliau menundukkan kepalanya dan kembali merenung. Nafisah tidak diam begitu saja saat melihatnya seperti itu. Ia terus melanjutkan pembicaraannya hingga akhirnya Nabi Muhamad saw menjawab dengan tersenyum malu.
“Aku tidak memiliki harta yang cukup untuk melakukan ini…”
Kesempatan ini diambil Nafisah untuk menyampaikan tujuan kedatangannya dan mengenalkan Sayidah Khadijah untuk dinikahinya.
“Apa yang dapat aku sampaikan, bagaimana jika aku kenalkan seorang perempuan baik dan terhormat kepadamu untuk menjadi istrimu? Dia adalah Khadijah, perempuan Quraisy, tidak ada seorang perempuan Quraisy dan Mekah pun yang menyamainya.”
Nabi Muhamad saww menyetujui usulan Nafisah, kemudian beliau menyampaikan hal tersebut ke Abu Thalib, pamannya.[3]
Abu Thalib senantiasa memikirkan kebahagiaan keponakannya. Beliau juga meyakini akan masa depan keponakannya yang akan menjadikan manusia agung. Karena itu, beliau menyetujui pernikahannya dengan Sayidah Khadijah as. Di kesempatan lain, Abu Thalib bersama Hamzah dan Nabi Muhamad saww pergi menuju rumah Sayidah Khadijah as untuk membicarakan tentang persiapan pernikahan Nabi Muhamad saww dengan Sayidah Khadijah as.
Setelah semua persiapan selesai, Sayidah Khadijah as pun dilamar Nabi Muhamad saww, dan dinikahinya. Abu Thalib membacakan khutbah nikah mereka. Nabi Muhamad saww dan Sayidah Khadijah pun resmi menjadi suami-istri. Allah swt berkehendak mereka hidup berdampingan. Disebutkan dalam riwayat bahwa setelah selesai acara Nabi Muhamad hendak pergi bersama Abu Thalib. Saat itu Sayidah Khadijah as dengan penuh sopan santun mengatakan, “Selamat datang di rumahmu. Ini adalah rumahmu, dan sekarang aku juga adalah pelayanmu.”[4]
Sebagian ada yang berpendapat bahwa sebab pernikahan Nabi Muhamad saww dengan Sayidah Khadijah as bukanlah perjalanan perniagaan Nabi Muhamad saww, juga bukan karena perantara Nafisah. Tapi yang menjadi perantara ialah Halal, bibinya Sayidah Khadijah as, atas permintaan Sayidah Khadijah as sendiri. Telah dinukil dari Amar bin Yasir yang mengatakan, “Aku yang lebih tahu dari yang lainnya tentang pernikahan Nabi Muhamad saww dan Sayidah Khadijah, karena aku sangat dekat dengan beliau. Suatu hati aku bersama Nabi Muhamad saww mengitari ke Shafa dan Marwa. Tiba-tiba kami bertemu Khadijah bersama Halah, saudarinya. Saat melihat kami, Halah pun datang mendekatiku. Ia menanyakan kepadaku pendapat Nabi Muhamad saww tentang pernikahannya Khadijah. Kemudian aku pun menyampaikan hal tersebut kepada Nabi Muhamad saww. Beliau meminta waktu khusus untuk membicarakan masalah tersebut.
Karena waktu yang ditentukan tiba, Sayidah Khadijah as pun mengirim orang untuk menjemput pamannya, Amru bin Asad. Saat tiba di rumahnya, ia pun disambutnya dengan hormat dan dikenakan gaun yang istimewa. Tak lama kemudian, Nabi Muhamad saww pun datang bersama beberapa pamannya termasuk Abu Thalib. Acara pernikahan pun dimulai, Abu Thalib membacakan khutbah nikah untuk mereka dan akad nikah pun dilaksanakan.”
Amar bin Yasir melanjutkan, “Sebelum pernikahan ini, Khadijah tidak pernah mempekerjakan Nabi Muhamad saw, juga Nabi Muhamad saww tidak pernah disewa orang untuk dipekerjakan.[5]
Sebagian lagi berpendapat bahwa sekembalinya Nabi Muhamad saww dari perniagaan ke Syam, dan cerita-cerita Maisaroh tentang semua peristiwa menakjubkan yang terjadi pada Nabi Muhamad saww perjalanan tersebut, Sayidah Khadijah as pun langsung menyampaikan keinginannya untuk dinikahinya. Di antara faktor tersebut adalah; kabar tentang kemunculan Nabi terakhir di kalangan orang-orang Quraiys melalui pembesar-pembesar Yahudi dan Nasrani, mimpi Sayidah Khadijah as dan takbirnya melaui anak pamannya, mukjizat-mukjizat Nabi Muhamad selama perjalanan niaga ke Syam. Ternyata Nabi Muhamad saww pun menyetujuinya, dan tidak lama setelah itu beliau berdua pun menikah[6]
[1] Riyahan asy-Syariah, jil 2, hal 219-230; Biharul-Anwar, jil 16, hal 30-52
[2] Shiratul Aimatul Itsna Asyar, jil 1, hal 49; Siroh Ibnu Hisyam, jil 1, hal 201
[3] Nisaun Nabi, hal 35; ‘Alamun Nisail Mukminat, hal 318 dinukil dari Jam’i az Muallifan Pazuheshkade Baqirululum, Banwane Nemune, hal 337-338
[4] Biharul Anwar, jil 16, hal 4
[5] Tarikh Ya’kubi, jil 2, hal 16
[6] Riyahan asy-Syariah, jil 2, hal 207-211