Napak Tilas Kehidupan Khadijah as, Perempuan Pertama Pembela Dakwah Islam (Bagian Ketiga)
Bagaimana dengan keimanan Sayidah Khadijah terhadap kenabian Nabi Muhamad saw? Beliau merupakan perempuan pertama yang beriman kepada Nabi Muhamad saww. Artikel ini akan membahas hal tersebut.
Sayidah Khadijah as dan Kenabian Nabi Muhamad saw
Setelah pernikahan Sayidah Khadijah as dan Nabi Muhamad saw memulai kehidupan rumah tangga yang sakinah. Sayidah Khadijah as sangat memahami kedudukan seorang istri bagi seorang suami. Beliau tidak pernah menghalangi aktifitas Nabi Muhamad saw, bahkan mendukungnya dengan sepenuh hati. Dengan berlalunya waktu, kebesaran Nabi Muhamad saw pun bergaung di seluruh penjuru Mekah. Beliau terkenal karena kedermawanannya, keluhuran prilakunya, kepeduliannya kepada sesama, kejujurannya yang membuat khalayak banyak yang simpati padanya.
Sayidah Khadijah as senantiasa mendapatkan suaminya sibuk beribadah. Bahkan, terkadang saat tiap ada kesempatan Sayidah Khadijah as melihat suaminya pergi ke goa Hira untuk berkhalwat dan beribadah. Juga, Nabi Muhamad saw pun mencela kaumya yang memiliki pemikiran menyeleweng dan tradisi-tradisi khurafat dan jahiliyah yang telah menyembah berhala dan memberikan kurban untuk berhala. Nabi Muhamad saw merasakan bahwa pesan-pesan Ilahi semakin dekat kepadanya, karena itu beliau sering meninggalkan istrinya untuk berkhalwat di goa Hira.
Sayidah Khadijah as, sangat memahami semua tindakan suaminya. Beliau bukan saja tidak melarangnya, namun juga senantiasa mendukungnya. Beliau juga tidak protes karena sering ditinggalkan. Beliau tetap menjalankan fungsinya sebagai istri untuk senantiasa memberikan ketenangan dan kenyamanan kepada suaminya. Saat di rumah beliau akan menjadi tempat nyaman bagi suaminya. Dan, saat suaminya hendak ke goa Hira, beliau pun akan mengirim orang untuk menjaganya dan memantaunya dari kejauhan agar suaminya terjaga dari gangguan orang-orang jahat, juga mendoakannya.
Janji Allah Swt telah tiba, Allah telah mengutus Jibril as untuk menyampaikan risalah kepadanya. Tepat pada usia empat puluh tahun, Nabi Muhamad saw diangkat menjadi seorang nabi. Saat pertama kali Nabi Muhamad saw mendapatkan wahyu, beliau merasakan badannya berat karena dampak dari beban yang beliau dapatkan setelah mendapatkan wahyu. Tubuhnya tampak gemetar terlihat khawatir dan cemas. Dalam kondisi seperti itu beliau langsung pergi menuju rumahnya untuk menemui istri tercintanya, Sayidah Khadijah as. Beliau tahu bahwa istrinya senantiasa membuatnya nyaman dalam semua kondisi. Karena itu beliau masuk ke kamar istrinya, setelah duduk di sampingnya beliau menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya di goa Hira, juga beban berat yang terasa pada jiwa dan raganya karena peristiwa tersebut. Dengan seksama dan penuh perhatian Sayidah Khadijah as pun mendengarkan cerita Nabi Muhamad saw seraya berkata, “Wahai putra pamanku, berbahagialah. Yakinlah bahwa Tuhan tidak akan pernah menghinakanmu dan membiarkanmu. Engkau orang yang sangat agung yang senantiasa menyambung tali silaturahmi, senantiasa berkata jujur, sabar dalam menghadapi kesulitan, suka menghormati tamu, engkau juga penolong masyarakat dalam kesulitan dan masalah. Ketahuilah, aku juga telah mengimani kenabianmu sejak sebelum-sebelumnya.”[1]
Ayatullah Jakfar Subhani telah memberikan penjelasan tentang kondisi Nabi Muhamad saw pasca menerima wahyu pertama. Beliau mengatakan bahwa kondisi khawatir, cemas dan gemetar seperti itu selama masih pada batasnya, itu wajar dan tidak bertentangan dengan tingkat keyakinan Nabi Muhamad saw atas kebenaran yang telah disampaikan kepadanya. Karena meski kapasitas ruhani sangat tinggi dan kuat pun, di awal-awal tugasnya pasti akan mengalami kekhawatiran dan kecemasan seperti itu, karena itu setelahnya semua kecemasan dan kekhawatiran itu pun hilang.[2]
Setelah Nabi Muhamad saw tertidur, Sayidah Khadijah as keluar rumah pergi menuju rumah anak pamannya, Waraqah bin Naufal. Kemudian beliau menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi kepada Nabi Muhamad saw di goa Hira. Setelah mendengarnya, sambil berteriak Waraqah bin Naufal pun berkata, “Sumpah demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, Khadijah, andaikan semua yang engkau katakan itu benar, sosok yang mendatanginya adalah sosok yang telah mendatangi Nabi Musa dan Nabi Isa. Dia itu seorang nabi. Sampaikan padanya, kokohkanlah langkahnya, dan yakinlah pada kenabian dirinya.”
Mendengar hal itu, Sayidah Khadijah as pun langsung berpamitan pergi meninggalkan rumah Waraqah bin Naufal. Beliau pergi menuju rumahnya dengan tergesa-gesa ingin segera menyampaikan pesan Waraqah kepada suaminya. Ingin menyampaikan kabar gembira bahwa suaminya telah menjadi seorang nabi. Beliau telah membawa bendera risalah, risalah yang tengah ditunggu-tunggu oleh orang-orang seperti Waraqah bin Naufal, para pembesar agama Yahudi dan Nasrani jazirah Arab dan para pengikut tauhid.[3]
Saat tiba di rumah, Sayidah Khadijah as mendapati suaminya tertidur. Beliau terus menatap wajah suaminya yang bercahaya dan penuh kewibawaan. Beliau juga tengah memikirkan masa depan suaminya. Tiba-tiba beliau mendapati tubuh Nabi Muhamad saw demam, tubuhnya gemetar, nafasnya tersengal-sengal, keringat bening bercucuran dari dahinya. Untuk beberapa saat Nabi Muhamad saw dalam kondisi seperti itu seperti tengah mendengarkan suara. Kemudian Nabi Muhamad saw tenang dan mulai membacakan surat al-Mudatstsir ayat 1-7.
Setelah itu, kemudian Nabi Muhamad saw melihat sekitar ruangan dan melihat istri tercintanya duduk dekat di sampingnya. Beliau menatapnya dengan penuh rasa kasih dan cinta.
Sementara itu Sayidah Khadijah as mengkhawatirkan keadaan suaminya, bersikeras memohon kepadanya agar tetap istirahat. Namun Nabi Muhamad saw bersabda, “Istriku, waktu tidur dan tenang sudah berakhir. Jibril pembawa wahyu telah memerintahkanku untuk mengingatkan orang-orang akan akibat perbuatan buruk, dan menyeru mereka untuk menyembah Allah Swt. Maka siapakah orang yang harus aku seru dan siapakah juga yang akan menerima seruanku.”
Keesokan harinya, Waraqah bin Naufal melihat Nabi Muhamad saw di dalam Masjidil Haram. Saat melihatnya langsung ia berteriak, “Sumpah demi Tuhan yang jiwaku berada di bawah kekuasaanNya, engkau adalah seorang nabi umat ini. Kaum jahiliyah ini akan mendustakanmu, akan mengganggumu, akan mengusirmu dari kota ini, dan akan memerangimu. Jika saat itu aku masih ada, aku akan membela agama Tuhan dengan membelamu. Kemudian ia mendekati Nabi Muhamad saw seraya mencium tubuh mulianya.
Nabi Muhamad saw berkata, “Apakah mereka akan mengusirku dari tanah kelahiranku?”
“Iya, andaikan aku masih muda …, andaikan aku sampai saat itu masih hidup …,”[4]
[1] Riyahan asy-Syariah, jil 2, hal 250-251
[2] Furug Abadiyat, jil 1, hal 185-186 dinukil dari Jam’i az Muallifan Pazuheshkade Baqirululum, Banwane Nemune, hal 342
[3] Biharul Anwar, jil 16, hal 20-23
[4] Sirah Ibnu Hisyam, jil 1, hal 253-254; Riyahan asy-Syariah, jil 2, hal 252