Pembahasan Teologis Seputar Bencana Banjir
Oleh: Otong Sulaeman
Akhir-akhir ini, sejumlah kawasan di Jawa Barat dilanda bencana banjir. Sebagian kawasan Garut luluh lantak diterjang banjir bandang. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, beberapa ruas jalan besar di Kota Bandung menampilkan pemandangan seperti sungai dengan aliran yang sangat deras. Adapun banjir musiman di Kecamatan Bale Endah, alih-alih teratasi, malah semakin menjadi-menjadi.
Sebagai masayarakat yang “religius”, bangsa Indonesia biasanya langsung menghubungkan peristiwa demi peristiwa bencana tersebut dalam kerangka berpikir teologis. Setiap kali terjadi bencana alam, agama sering dibawa-bawa.Untuk setiap bencana banjir yang cukup massif, nama Tuhan disertakan dalam doa dan harapan. Klarifikasi teologis pun dikemukakan.
Teks-teks agama memang sangat banyak berbicara tentang hubungan antara perilaku individual manusia dengan turunnya bencana. Ada teks agama yang secara jelas menyatakan bahwa bencana muncul sebagai hukuman Tuhan kepada perilaku dosa dan maksiat manusia. Inilah yang terjadi pada ummat-ummat terdahulu seperti kaum Madyan, yaitu kaum Nabi Syu’aib a.s. (Al-A’raf: 91) atau kaum Nabi Nuh a.s. (Al-Ankabut: 14). Model hubungan “dosa-bencana” ini adalah hal yang diterima secara luas oleh kaum Muslimin. Para ulama pun sudah banyak menjelaskan hubungan di antara keduanya.
Pada dasarnya, hubungan spiritual ini lebih bersifat umum lagi, karena tidak hanya terkait dengan perilaku buruk, melainkan juga perilaku baik. Jadi, polanya bukan hanya “dosa-bencana”, melainkan juga “amal salih-kebaikan”. Silaturahmi diyakini bisa memanjangkan usia; ketakwaan suatu kaum bisa menurunkan rezeki dari langit kepada kaum itu; dan seterusnya. Dari sisi ini, respons terbaik saat kita menghadapi bencana adalah introspeksi. Kita perbaiki perilaku kita secara bersama-sama. Jika kita yakin ada kesalahan yang kita lakukan, jelas kita harus bertobat.
Akan tetapi, pembahasan agama terkait dengan bencana itu bukan melulu masalah dosa-bencana atau amal-kebaikan. Fenomena bencana alam, seperti banjir masif yang terjadi akhir-akhir ini, bisa dilihat dari perspektif dosa sosial manusia. Bencana terjadi karena ulah manusia yang telah merusak ekosistem. Di sini, alam hanyalah merespons. Bencana hanyalah pantulan atas perilaku ekologis manusia. Karena alam disakiti, maka ia balas manyakiti. Perilaku yang direspons bisa jadi bukan tanggung jawab manusia generasi sekarang. Kebanyakan malah ulah orang terdahulu. Jika ini yang terjadi, para perusak ekosistem harus bertanggung jawab di hadapan Tuhan.
Hati-hatilah para pembabat hutan, pembangun vila di kawasan perbukitan tadah hujan, para pembangun mall di daerah resapan, perusahaan air minum yang mengeksploitasi air tanah sehingga terjadi penurunan tanah (abrasi), juga orang-orang serakah yang mendesak kaum marjinal hingga tidak punya pilihan, kecuali membangun pemukiman di bantaran sungai, agar bisa bertahan hidup! Hati-hatilah, karena kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap nyawa yang melayang dan kerugian lainnya yang diakibatkan oleh bencana banjir. Kalian akan dikejar sampai ke liang kubur!
Tapi ada juga kemungkinan ketiga, yaitu bahwa bencana ini memang murni fenomena alam yang diskenariokan oleh Allah. Para ilmuwan menemukan fakta bahwa pergeseran lapisan tanah pada fenomena gempa bumi memang diperlukan demi sebuah kebaikan yang lebih besar bagi bumi. Jadi, ini memang murni kehendak Tuhan. Ini sama dengan fenomena kematian yang menimpa orang baik. Kematian itu bencana bagi orang tersebut dan juga bagi keluarganya. Tapi, fenomena kematian adalah harga yang harus ditebus untuk kebaikan yang lebih besar. Apa itu? Tercegahnya orang itu dari siksaan fisik di masa tua; atau untuk mengurangi populasi ummat manusia (bayangkan, betapa sesaknya bumi ini jika manusia sejak zaman Nabi Adam masih hidup!); dan juga dalam rangka penyegaran peradaban (bayangkan, jika kita harus berinteraksi secara intens dengan mereka yang masih menulis di atas perkamen papyrus!).
Jika kemungkinan ketiga ini yang terjadi, tak ada lagi yang bisa dilakukan oleh orang yang terkena imbas bencana kecuali bersabar. Tuhan sudah memberikan solusi teologis bagi orang yang terkena imbas bencana, yaitu berupa pahala dan bergugurannya dosa-dosa.
Alam tak pernah salah. Semuanya kembali kepada manusia, baik secara lahir ataupun batin. Sayangnya, kebanyakan dari kita sering keliru membaca fenomena teologis. Lebih buruk lagi, fenomena bencana seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang oportunis untuk kepentingan syahwat mereka. Ada yang melakukan pencitraan demi pemilu; dan ada juga yang melakukan intrik untuk menurunkan citra orang lain, demi menggusur elektabilitas orang itu. Inilah perilaku dosa yang direspons dengan dosa yang lain.
Maka, para pemangku kebijakan mestinya pandai-pandai membaca fenomena bencana ini, dan jangan sembarangan membawa-bawa agama saat memberikan penjelasan. Sayangnya, inilah yang saat ini terjadi. Silakan cari di internet. Anda akan dengan mudahnya menemukan kata-kata seorang pejabat tinggi pemda yang mengatakan bahwa bencana tak lain merupakan takdir dan cobaan dari Tuhan yang hanya bisa direspons dengan doa semoga air cepat surut; semoga musim hujan yang menurunkan air dari langit segera tergantikan dengan musim lain yang menampilkan pemandangan langit nan cerah dan biru.
Ironis, bukan?