Pembunuhan Jenderal Soleimani, Prespektif Hukum Internasional (Part 3)
Tahun 2020, setidaknya 102 negara telah memperoleh inventaris drone militer aktif, dan sekitar 40 negara memilikinya, atau sedang dalam proses pengadaan drone bersenjata. Sebanyak 35 negara diyakini memiliki kelas atau versi terbesar dan paling mematikan. Sejak 2015, drone bersenjata juga telah digunakan terhadap target domestik di wilayah nasional, di dalam dan di luar konflik bersenjata non-internasional.
Sedikitnya 20 aktor bersenjata non-negara dilaporkan telah memperoleh sistem drone bersenjata dan tidak bersenjata,16 Kelompok bersenjata telah menggunakan sistem dan drone yang tersedia secara komersial yang dijual oleh negara dan mengembangkan drone mereka sendiri.
Ekspor teknologi drone komersial telah berkontribusi pada proliferasi drone dan efektifitas pengurangan biaya. Kedepan, diperkirakan akan lebih banyak negara mengembangkan atau memperoleh drone bersenjata, dan dalam 10 tahun ke depan, lebih dari 40% drone akan dipersenjatai. Diperkirakan sekitar 90% di antaranya dilaporkan termasuk dalam kategori drone terbesar dan paling mematikan.
Perkembangan teknologi militer mutahir secara umum berdampak pada tantangan untuk meningkatkan perlindungan HAM berkenaan dengan hak untuk hidup. “Depersonalisasi” penggunaan kekuatan telah atau sedang diperkenalkan melalui dua generasi sistem tak berawak: drone bersenjata dan senjata otonom penuh. Baik dalam konflik bersenjata maupun dalam penegakan hukum akan berpotensi berjalan timpang.
Kasus penggunaaan MQ-9 Reaper drone oleh US untuk membunuh jenderal Sulaimani telah menaikan promo penjualan pasar cerah industri drone militer US. Pada saat yang sama, menjadi skandal pelecehan perjanjian Hak Asasi Manusia.
Salah satu perjanjian “International Human Rights Law” (IHRL) adalah“The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Pasal 6 ICCPR menyatakan, “Setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun boleh dicabut nyawanya secara sewenang-wenang.” Namun, pasal lain mengizinkan negara untuk melanggar kewajibannya berdasarkan IHRL dalam keadaan darurat (Pasal 4).
Penggunaan serangan mematikan oleh negara adalah sah ketika itu adalah satu-satunya cara untuk melindungi kehidupan orang lain tetapi harus diperlukan dan proporsional. Selanjutnya, pemaksaan harus dihindari apabila masih memungkinkan untuk dilakukan mediasi internasional. Oleh karena itu, Agnes Callamard (Prancis), pelapor Khusus PBB untuk Extra-Judicial menyatakan bahwa AS harus membuktikan bahwa Soleimani merupakan ancaman dan pembunuhan itu untuk melindungi nyawa orang lain. Selain itu, harus dipastikan bahwa tidak ada pilihan selain serangan mematikan terhadap Jenderal.
Sementara Dianne Otto, ketua Francine V McNiff dalam Hukum Hak Asasi Manusia dan peneliti hukum internasional berpendapat, istilah “pembunuhan yang ditargetkan’”yang digunakan oleh AS belum banyak dibahas dalam hukum internasional. Namun, hukum hak asasi manusia dapat diterapkan pada kasus pembunuhan yang ditargetkan karena hak untuk hidup menawarkan standar perlindungan yang tinggi, meskipun tidak mutlak. Hal ini karena pembunuhan yang ditargetkan adalah tindakan yang tujuan utamanya adalah kematian, artinya melanggar hukum hak asasi manusia. Selain itu, Otto menyatakan bahwa kekerasan masih dimungkinkan ketika ada ancaman langsung tetapi tetap harus memenuhi prinsip proporsionalitas dan kebutuhan.
Jenderal Qasem Soleimani terbunuh oleh rudal Hellfire yang ditembakkan dari drone MQ-9 Reaper AS. Eksekusi ini menunjukkan bahwa AS sudah berniat untuk melakukan pembunuhan tersebut secara terencana atau dengan target tertentu (targeted killings). Dalam Hukum Pidana, niat tingkat pertama ini disebut sebagai “dolus directus”. Suatu kesengajaan yang tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya itu sendiri.
Oleh karena itu, masuk kategori murni pembunuhan yang ditargetkan karena niat itu digunakan sebagai acuan dalam menentukan pembunuhan, terlepas dari semua alasan dan motif yang dibenarkan AS. Sehingga dibawah Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, pembunuhan yang ditargetkan adalah tindakan sewenang-wenang dan ilegal atau melanggar hukum. Seperti yang ditegaskan Otto, pembunuhan dengan “dolus directus” tingkat pertama tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, pembunuhan yang ditargetkan adalah sewenang-wenang dan ilegal menurut hukum hak asasi manusia.
Para pengamat HAM menyatakan bahwa hampir semua konvensi tentang hak asasi manusia mengatur tentang perlindungan hak-hak individu atau sipil, termasuk hak politik setiap manusia. Konvensi IHRL hadir dalam hubungan antara penguasa dan individu (warga negara). Dalam hal ini, posisi individu lemah, sedangkan peran penguasa cukup besar. Dalam banyak kesempatan, kekuasaan yang melekat pada penguasa digunakan secara sewenang-wenang untuk menindas yang lemah.
Qasem Soleimani adalah pejabat negara dan berurusan dengan pejabat negara lain. Oleh karena itu, pembunuhan Soleimani bersama sembilan orang lainnya melanggar Pasal 6, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang menyatakan bahwa semua manusia berhak untuk hidup.
Kematian beberapa orang, bersama dengan Soleimani, disebut sebagai “collateral damage or the innocent third parties”, kerusakan tambahan atau pihak ketiga yang tidak bersalah terbunuh dalam pembunuhan yang ditargetkan. Tidak dapat dihindari bahwa Soleimani bersama sembilan orang lainnya terbunuh ketika AS menyerang, yang berarti kematian mereka adalah kerusakan tambahan yang disengaja. Otto menyatakan bahwa “intentional collateral damage” melanggar IHRL. “Collateral damage” hanya dapat diterima selama pertempuran bersenjata. Tidak demikian halnya ketika AS membunuh Soleimani.
Otto menegaskan penggunaan senjata untuk membela diri harus mengikuti prinsip proporsionalitas. Artinya, tujuan utama penggunaan senjata bukanlah membunuh, meskipun sangat mungkin menyebabkan kematian. Lebih lanjut, Otto menyebutkan empat situasi di mana kekerasan dapat digunakan. Mencegah kejahatan berat dan menyelamatkan nyawa, menangkap pelaku kejahatan, mencegah tahanan melarikan diri, atau memadamkan kerusuhan atau pemberontakan. Penggunaan senjata dalam empat situasi ini kemungkinan akan mengakibatkan kematian. Namun, dalam kasus kematian pihak ketiga yang tidak bersalah (Collateral damage”) dalam kasus pembunuhan Soleimani bersama sembilan orang lainnya tidak dapat diterima.(MM)