Qawaid al-Manhaj as-Salafy

Muqaddimah
Dalam memahami islam banyak metodologi yang muncul dari kalangan ulamak, yang mana dari metodologi inilah nantinya para pengikutnya mengambil pedoman dalam mengamalkan islam sesuai dengan apa yang mereka dapati daripada guru atau syekh-syekh dimana mereka mendapatkan ilmu tersebut. Diantara manhaj-manhaj tersebut iyalah manhaj salafy. Dalam makalah ini penulis mencuba untuk memaparkan sedikit tentang manhaj salafy tersebut menurut Dr. Musthafa hilmy dalam bukunya “qawaid Al-manhaj As-Salafy”. Walaupun demikian, makalah ini belum dapat dikatakan konprehensif/sempurna, karena di dalamnya mungkin masih banyak kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu kritik dan arahan daripada pensyarah maupun siswazah sangat saya harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.Makna Salaf
Menurut istilah, kata Salaf berarti 3 generasi pertama dan terbaik dari ummat ini sebagaimana dikabarkan Rasulullah dalam hadits riwayat Muttafaq ‘alaih, mereka adalah:
1.Shahabat
2.Tabi’in
3.Tabi’ut-Tabi’in
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Shahabat dan Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka disepanjang masa, mereka ini disebut Salafy, karena dinisbatkan kepada Salaf. Dan Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlaq dan yang lainnya, yang wajib diikuti oleh setiap muslim.
Adakalanya kita mendengar salaf itu dengan sebutan “Ahli As-sunnah wa al-jamaah” sebutan ini disandarkan kepada ahli hadith juga, yang mana mereka selalu berpegang teguh dengan jamaah/persatuan, dan menyeru agar membenci perbedaan dan perpecahan.
kita tidak cukup mengetahui madrasah salafy hanya dengan sejarah saja, karena beberapa daripada shekh-shekhnya mengambil pemahaman salaf dalam marhalah dan sejarah yang berbeza, mereka merumuzkan manhaj dan kaedah, mengokohkan rukun-rukunnya untuk memudahkan mengamalkan dan memahamkan orang awam daripada hujatan-hujatan firaq (golongan) atau mazhab lain yang sangat taassub (fanatism) dan banyak menambah-nambah (bidah). Namun, kita boleh membuat batasan-batasan umum dalam manhaj salafy.
Manhaj Salaf:
Kaedah yang pertama sekali adalah ittiba’ kepada As-Salafus Soleh dalam memahami, menafsirkan, mengimani serta menetapkan sifat-sifat Ilahiyah (ketuhanan) tanpa takyif (bertanya bagaimana hakikatnya) dan tanpa takwil (membuat perubahan makna dan lafaznya), juga dalam menetapkan persoalan-persoalan aqidah lainnya, dan menjadikan generasi pertama sebagai panutan dalam berfikir maupun beramal.
Jadi pertama kali Al-Quran dan Hadis, selanjutnya mengikuti jejak dan mengambil suri teladan kepada para sahabat Nabi, sebab di tengah-tengah merekalah wahyu turun. Dengan demikian, mereka (para sahabat) adalah orang yang paling memahami tafsir Al-Quran, dan lebih memahami takwil (tafsir) Al-Quran dibandingkan dengan generasi-generasi berikutnya. Mereka bersatu dalam hal usul agama, tidak berselisih mengenainya, dan tidak terlahir dari mereka hawa nafsu, riya dan bid’ah.
Dari sanalah lahir pengikut manhaj salaf. Mereka adalah ahlul hadist, para penghafal hadist, para perawi serta para alim hadist yang ittiba’ pada atsar. (Itulah jalannya kaum muslimin) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin. Kami biarkan ia berleluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [An-Nisaa’: 115]
Jadi mereka berbeda dengan ahli kalam sebab mereka (pengikut manhaj salaf) selalu mendahului syarak, Kitab dan Sunnah. Selanjutnya mereka tenggelam dalam memahami serta merenungi nas-nas Al-Quran dan Sunnah tersebut.
Pengikut manhaj salaf menjadikan akal tunduk kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah s.a.w. Dari sini maka akal yang sehat tidak mungkin bertentangan nash yang sahih. Apabila terjadi pertentangan, maka nas yang sahih harus didahulukan atas akal, sebab nas-nas Al-Quran bersifat ma’shum (terjaga) dari kesalahan, dan nas-nas sunnah bersifat ma’shum (terjaga) dari hawa nafsu. Oleh kerana itu, sikap mendahulukan Al-Quran dan Sunnah atas akal bagi kaum salaf merupakan pemelihara dari perselisihan serta kekacauan dalam aqidah dan agama.
Sesuatu yang masuk akal menurut manhaj salaf adalah sesuatu yang sesuai dengan Al-kitab dan Sunnah, sedangkan sesuatu yang tidak masuk akal adalah suatu yang menyalahi Al-Quran dan Sunnah. Petunjuk ialah sesuatu yang selaras dengan manhaj sahabat, dan tidak ada jalan lain untuk mengenali petunjuk sahabat melainkan dengan atsar-atsar ini.
Prinsip-prinsip aqidah bagi pengikut manhaj salaf nampak jelas pada keimanannya terhadap sifat-sifat dan nama-nama Allah Ta’ala tanpa penambahan (bidah).
B. Menolak Takwil Kalami.
Dalam manhaj salaf tidak menerima takwil yang menyalahi zhahir nas dan tanpa membuat penyerupaan dengan sifat-sifat makhluk, tetapi membiarkannya sesuai dengan apa yang dinayatakan dalam Kitabullah dan Sunnah NabiNya s.a.w. Sedangkan kaifiyat (hakikat bagaimana) mereka kembalikan kepada Zat yang telah memfirmankannya sendiri.
Melalui konteks ini kita mesti memahami cara salaf dalam menjadikan akal tunduk kapada nas, baik nas berupa ayat Al-Quran maupun berupa sunnah Rasul s.a.w. itu, bukan sebaliknya. Berbeda dengan manhaj ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah, Maturidiyah, dan Asy’ariyah yang lebih mendahulukan akal daripada nas. Sedangkan nas mereka takwilkan sehingga sesuai dengan akal, yangmana bagi mereka akal lebih tinggi darajadnya daripada nash.
Tentu sahaja hal tersebut bererti memaksa nas agar sesuai dengan kehendak akal. Padahal sepatutnya hukum-hukum akal lah yang wajib diserahkan keputusannya kepada nas-nas Quran dan Sunnah. Maka apa sahaja yang ditetapkan oleh al-Quran dan sunnah seharusnya kita akur terhadapnya. Sedangkan apa saja yang tidak selari dan tidak searah dengan keduanya, seharusnya ditolak.
Sesungguhnya takwil menurut kaum ahlu kalam dan falsafah pada umumnya mengandungi tuntutan untuk menjadikan akal sebagai sumber syarak yang mendahului al-Quran dan Sunnah. Oleh itu jika ada pertentangan antara nas-nas dengan akal, maka mereka akan mendahului akal. Dan menakwil dengan segera nas tersebut sehingga sesuai dengan kehendak akal. Akan tetapi manhaj salaf sebaliknya.
Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah pernah menyebut bahawa kaum salaf menyerahkan hukum kepada ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi. Mereka merasa cukup dengan nas-nas tersebut. Mereka jadikan pemahaman-pemahaman akalnya patuh pada nas-nas itu kerana akal menurut kitabullah dan sunnah s.a.w adalah sesuatu yang boleh ada jika ada pemiliknya. ‘Akal’ bukanlah zat yang boleh berdiri sendiri seperti anggapan kaum falsafah.
Akal tidak mampu meliputi kenyataan-kenyataan yang dijelaskan oleh kitabullah maupun sunnah Nabi s.a.w. Bahkan akalpun tidak berupaya untuk meliputi segenap hakikat alam yang sebenar yang telah ditemui berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah akal itu sendiri. Maka bagaimana mungkin akal akan dapat menjangkau kenyataan alam ghaib?.
Oleh sebab itulah, wajiblah diserahkan nas-nas Al-Quran dan As-sunnah. Wajib mengimani segala apa yang dinyatakan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, baik yang berkaitan dengan alam ghaib ataupun tidak. Lebih khusus lagi pada ayat-ayat yang berkaitan sifat-sifat ketuhanan, maka kita wajib mengimaninya tanpa takwil (mengubah makna atau lafaznya) dan tanpa ta’thil (menolak hakikatnya atau menafikannya).
C. Sentiasa Mengambil Dalil dari al-Quran
Al-Quran adalah hakim yang menjadi petunjuk dalam mengambil dalil manakala manusia berkeinginan untuk meneliti keadaan langit dan bumi. Dan selalu membuka tabir yang tersembunyi dalam diri makhluk Allah s.w.t. dan sangat dengan ilmu dan ulamak.
Disepanjang sejarah pemikiran dalam kaum muslimin diabad pertama kita selalu mendapati bahwa mereka selalu memadakan pengembalian segala permasalahan pada al-Qur’an, al Sunnah. Mereka selalu mendalami dalam membaca dan menghafazkan al-Quran dan Sunnah, memadakan penafsiran apa yang ada di dalam alquran dan sunnah kemudian mengambil istinbath hukum daripada ayat-ayat dalam satu masalah.
Manhaj salaf tidaklah menerjamahkan ayat-ayat yang mutasyabih seperti apa yang dilakukan oleh ahli kalam, ahli tashauf dan ahli-ahli falsafah. Mereka tidak manafsirkan ayat-ayat alquran dengan permisalan kepada makhluk dalam sifat-sifat Allah. Dan juga tidak banyak mempertanyakan masalah-masalah yang gaib dengan sedetil mungkin. Mereka selalu berusaha untuk menjaga keaslian dan kemurnian kandungan alquran dan sunnah untuk menjadi pedoman dan pegangan dalam setiap kehidupan muslim,
Sangat banyak kita dapati pertentangan antara salaf dan mutakallimin mengenai masalah ketuhanan, aqidah. Dari sekian banyak pertentangan itu kita dapati para ahli salaf sentiasa merujuk kembali kepada nash-nash alquran, jika mereka tidak mendapati dalam nash alquran mereka rujuk kepada hadits, jika dalam hadits juga tidak mereka temui maka mereka melihat pada atsar assahabah. Karena mereka masih lebih saheh perkataannya daripada ulama-ulama khalaf ( yang belakangan ini ) sebab mereka masih mendengar dan belajar daripada kurun yang terbaik yang telah dijamin oleh Rasulullah s.a.w.
Sebagaimana kita ketahui bahawa imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang yang berpegang teguh pada salaf. Permasalahan yang dialami beliau pada waktu itu sangat pelik, kondisi masyarakat telah terkontaminasi dengan pemikiran filsafat dan logika yang disebarkan oleh kaum Mu’tazilah. Retorika inilah yang mengantarkan kepada pemahaman bahawa al-Qur’an itu adalah mahluk. Ulama dipaksa untuk mengakui dan mengikutinya. Bagi mereka yang tidak mau mengakuinya, mereka diintimidasi/ditindas dan disiksa untuk menurutinya. Yang akhirnya banyak para ulama saat itu yang menuruti kehendak penguasa dengan menyatakan bahawa al-Qur’an itu adalah mahluk.
Lain halnya dengan Imam Ahmad, ulama yang satu ini lebih rela disiksa penguasa untuk mempertahankan keyakinan pendapatnya, yang menyakini bahwa al-Qur’an itu adalah kalamullah (firman Allah), dan ia berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu mahluk ia telah kafir, dan barang siapa yang mengatakan bahwa Qur’an itu bukan mahluk ia telah melakukan bid’ah. Sesungguhnya Qur’an itu adalah firman Allah Swt”.
Siksaan yang ia alami tidaklah ringan dan sebentar, siksaan yang berat dan begitu lamanya mengakibatkan kondisi fisiknya melemah, namun hal itu tidaklah menyulutkan beliau untuk terus berdakwah dan menyebarkan sunnah-sunnah rasulnya.
Diakhir kehidupannya ia mengabdikan ilmunya, yang selalu ia ajarkan di rumah dan masjid jami’ Baghdad. Sebelum menghadap Ilâhî, Ia sempat mewariskan pusaka yang sangat berharga bagi kaum muslimin, yaitu berupa himpunan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Sehingga selain kefaqihan, kewara’an dan kejuhudannya, ia juga terkenal dengan keluasan ilmunya dalam bidang hadits, dan ia terkenal dengan sebutan “imamnya iman hadits”.
Maka sangat jelaslah bag kita apa yang telah disebutkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. bahwa beliau telah bersabda: “Maka sesungguhnya sesiapa di antara kamu hidup selepasku dia akan melihat benyak peselisihan, maka hendaklah kamu pegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ al-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah geraham ia (sekuat hati) dengan gigi geraham…” Sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis sahih li ghairih [silsilah al-Ahadis As-Sahihah no: 203 dan 1492]:
Pokok-pokok pemikiran dalam manhaj salaf
Kriteria Manhaj Salafi yang Benar yaitu suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut :
1. Berpegang pada nash-nash yang ma’shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh tertentu, apalagi tokoh tersebut tidak memahami ilmu-ilmu nash alquran dan hadits secara sempurna.
2. Mengembalikan masalah-masalah “mutasyabihat” (yang kurang jelas) kepada masalah “muhkamat” (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath’i.
3. Memahami kasus-kasus furu’ (kecil) dan juz’i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.
4. Menyerukan “Ijtihad” dan pembaruan. Memerangi “Taqlid” buta dan kebekuan.
5. Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
6. Dalam masalah fiqh, berorientasi pada “kemudahan” bukan “mempersulit”.
7. Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
8. Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
9. Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.
10. Menekankan sikap “ittiba’” (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat “ikhtira’” (kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.
Inilah inti “manhaj salafi” yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah dibinanya generasi Islam terbaik, dari segi teori dan praktek. Sehingga mereka mendapat pujian langsung dari Allah di dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah berhasil mentransfer Al-Qur’an kepada generasi sesudah mereka. Menghafal Sunnah. Mempelopori berbagai kemenangan (futuh). Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan). Mendirikan “
Permasalahan dalam Manhaj Salaf
Sedangkan pihak yang kontra-salaf menuduh faham ini “terbelakang”, senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham Salaf, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain. Salaf identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat dan pertengahan.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merusak citra salaf yang hakiki dan penyeru-penyerunya yang asli. Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan “salaf” dengan menamakan pengikut salaf “salafiyah” dan membelanya mati-matian pada masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan”pembaruan Islam” pada masa mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.
Mereka telah menumpas faham “taqlid” buta, “fanatisme madzhab” fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kegarangan mereka dalam membasmi “ashobiyah madzhabiyah” ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah “Raf’i – malaam ‘anil – A’immatil A’lam” karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar serangan mereka terhadap “tasawuf” karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab “Al-Hulul Wal-Ittihad” (penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan “tasawuf” untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari “Majmu’ Fatawa” karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah “Madarijus Salikin syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”, dalam tiga jilid.
Mengikut Manhaj Salaf bukan sekedar ucapan mereka. Yang perlu saya tekankan di sini, mengikut manhaj salaf, tidaklah berarti sekedar ucapan-ucapan mereka dalam masalah-masalah kecil tertentu. Adalah suatu hal yang mungkin terjadi, anda mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz’i (kecil), namun pada hakikatnya kita terkadang meninggalkan manhaj mereka yang universal, integral dan seimbang. Sebagaimana juga mungkin, kita memegang teguh manhaj mereka yang kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun kita menyalahi sebagian pendapat dan ijtihad mereka.
Inilah sikap saya pribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qoyyim. Saya sangat menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya. Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus mengambil semua pendapat mereka. Jika saya melakukan hal itu berarti saya telah terperangkap dalam “taqlid” yang baru. Dan berarti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj “nalar” dan “mengikuti dalil”. Melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya. Apa artinya kita protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu Hanifah atau Imam Malik, jika kita sendiri taqlid kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim dengan takliq buta.
Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata: “Aku melewati hari-hari dalam hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia”.
Di dalam sel penjara dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan: “Apa yang hendak dilakukan musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid”.
Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka. Namun, orang seringkali melupakan, sisi “dakwah” dan “jihad” dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah makna “Salafiah” yang sesungguhnya.
Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan “salafiah”, dan paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi “salafiah”, ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah “Al-Manar’ yang selama kurun waktu tiga puluh tahun lebih membawa “bendera” salafiah ini, menulis Tafsir “Al-Manar” dan dimuat dalam majalah yang sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Rasyid Ridha adalah seorang “pembaharu” (mujaddid) Islam pada masanya. Barangsiapa membaca “tafsir”nya, seperti : “Al-Wahyu Al-Muhammadi”, “Yusrul-Islam”, “Nida’ Lil-Jins Al-Lathief”, “Al-Khilafah”, “Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid” dan sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan “Manar” (menara) yang memberi petunjuk dalam perjalanan Islam di masa moden. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran “salafiah”nya.
Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah “emas” yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaidah :
”Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat.”
Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai “pengikut Salaf”.
Pemikiran Ibnu Taymiyyah tak hanya merambah bidang syar’I, tapi juga mengupas masalah politik dan pemerintahan. Pemikiran beliau dalam bidang politik dapat dikaji dari bukunya Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah fi naqdh Kalam as-Syi’ah wal Qadariyah (Jalan Sunnah Nabi dalam pemyangkalan terhadap keyakinan kalangan Syi’ah dan Qadariyah), As-Siyasah as-Syar’iyah (Sistem Politik Syari’ah), Kitab al-Ikhriyaratul ‘Ilmiyah (Kitab aturan-aturan yuridis yang berdiri sendiri) dan Al-Hisbah fil Islam (Pengamat terhadap kesusilaan masyarakat dalam Islam)
Sebagai penganut aliran salaf, beliau hanya percaya pada syari’at dan aqidah serta dalil-dalilnya yang ditunjukkan oleh nash-nash. Karena nash tersebut merupakan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala. Aliran ini tak percaya pada metode logika rasional yang asing bagi Islam, karena metode semacam ini tidak terdapat pada masa sahabat maupun tabi’in. Baik dalam masalah Ushuludin, fiqih, Akhlaq dan lain-lain, selalu ia kembalikan pada Qur’an dan Hadits yang mutawatir. Bila hal itu tidak dijumpai maka ia bersandar pada pendapat para sahabat, meskipun ia seringkali memberikan dalil-dalilnya berdasarkan perkataan tabi’in dan atsar-atsar yang mereka riwayatkan.
Menurut Ibnu Taymiyyah, akal pikiran amatlah terbatas. Apalagi dalam menafsirkan Al-Qur’an maupun hadits. Ia meletakkan akal fikiran dibelakang nash-nash agama yang tak boleh berdiri sendiri. Akal tak berhak menafsirkan, menguraikan dan mentakwilkan qur’an, kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan oleh hadits. Akal fikiran hanyalah saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil Al-Qur’an.
Bagi beliau tidak ada pertentangan antara cara memakai dalil naqli yang shahih dengan cara aqli yang sharih. Akal tidak berhak mengemukakan dalil sebelum didatangkan dalil naqli. Bila ada pertentangan antara aqal dan pendengaran (sam’i) maka harus didahulukan dalil qath’i, baik ia merupakan dalil qath’i maupun sam’i.
Penutup
Semoga kita sebagai penuntut ilmu agama tidak terjerumus pada pemikiran falsafah yang salah dan semoga kita selalu dilindungi dandi jaga oleh Allah daripada pemikiran-pemikiran yang salah ataupun tidak sesuai dengan ajaran agama kita.
Bahan Bacaan:
1. Dr. Musthafa Helmi, “Qawa’id al-Manhaj as-Salafi”, cet. Dar ad-Da’wah, Iskandariyah.tahun:1984
2. Dr. Ali Sami an-Nasysyar, “Aqaid as-Salaf” cet. Dar al-Ma’arif, Iskandariyah.
3. Ibn Taimiyyah, “Naqdhu al-Mantiq”. Vcd
4. Ibn Taimiyyah, “Majmu’ Fatawa” Vcd
5. Imam Ahmad bin Muhamad bin Hanbal. “Al-Musnad” Vcd
6. Syeikh Khalid bin ‘Abdurrahman “Usul Manhaj As-Salafi” terjemahannya ‘Pokok-pokok manhaj salafi’ diterjemah oleh Ust. Ahmad Faiz Asifudin, Lc.