Reposisi Keadilan dalam Sistem Politik Islam
Keadilan termasuk prinsip utama dalam sistem politik Islam. Parameter pembuatan undang-undang, struktur politik dan menerima tanggung jawab sosial harus berdasarkan keadilan.
Analisa kedudukan keadilan dalam sistem politik dapat dibahas dalam bingkai filsafat politik dan ayat serta riwayat.
Dalam pandangan ayat dan riwayat, keadilan termasuk syarat utama dalam sistem tata kelola pemerintahan dari pembuatan undang-undang, pelaksanaannya dan peradilan. Dalam penerimaan tanggung jawab publik dari yang tinggi seperti presiden dan yang rendah semisal karyawan/PNS biasa pun harus mengacu pada keadilan.
Hubungan-hubungan internasional dan bilateral dalam rangka menyampaikan pesan-pesan Islam ke masyarakat dunia juga harus dibangun berlandaskan prinsip keadilan. Dan upaya menyelesaikan konflik dan ketegangan antara negara-negara Islam dan demikian juga relasi dengan rezim-rezim non-Muslim harus ditegakkan berdasarkan keadilan.
Sejak dahulu keadilan memiliki tempat yang istimewa dalam agama-agama sawami dan selalu menjadi tema utama pemikiran para intelektual. Oleh karena itu, banyak usaha dilakukan, baik pada dataran teoritis maupun praktis untuk menegakkan keadilan. Dan sebaik-baik contoh dalam hal ini adalah apa yang dilakukan oleh para nabi dan para reformis dunia.
Tentu saja sepanjang sejarah ada orang-orang munafik yang sama sekali tidak bertujuan untuk menerapkan keadilan namun secara zahir mereka menampakkan seolah-olah sebagai penegak dan pembela keadilan. Keadilan dalam sistem politik Islam memiliki peran yang penting dalam penetapan hukum dan undang-undang, proses pemilihan pejabat atau karyawan dan pengambilan keputusan. Ini menandakan betapa pentingnya keadilan dalam sistem politik Islam.
Ada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang akan dijawab oleh artikel ini, yaitu: Bagaimana posisi keadilan dalam sistem politik Islam, baik menyangkut dimensi internal maupun eksternal? Dari pertanyaan utama ini, ada pertanyaan-perntanyaan sekunder, yaitu: apa makna keadilan?
Apa perbedaan antara keadilan dan persamaan? Apa peran keadilan dalam menentukan pemilihan pejabat publik dan pembentukan keadilan sosial dalam sistem politik Islam?
Dan bagaimana peran keadilan dalam menciptakan perdamain dunia dan kehidupan masyarakat majemuk yang toleran?
Keadilan Dalam Tinjauan Bahasa
Keadilan adalah sumber keseimbangan dan istikamah dalam jiwa manusia dan anonimnya adalah al-jaur (kezaliman). Dan pada hakikatnya, al-jaurbertentangan dengan washatiyyah (kemoderatan) dan i’tidal (keseimbangan) dan bermakna inhiraf (penyimpangan). Kata lain yang sering dipertentangkan dengan ‘adl (keadilan) adalah zulm (kezaliman). Zulm berarti tajawuz ‘ala al-haqq (melampaui batas kebenaran), anonim dari cahaya dan pencerahan dan meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Karena itu, ‘adl yang merupakan anonim dari zulm bermakna pencerahan dan peletakan sesuatu pada tempatnya.
Defenisi Keadilan
Tema keadilan selalu menarik perhatian agama-agama Ilahiah dan menjadi wacana dan diskusi hangat para intelektual dan filosof Yunani kuno. Dan definisi keadilan pertama-tama dinisbahkan kepada Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates dalam pelbagai kesempatan dan pembicaraannya mengemukakan masalah keadilan. Dan Plato dalam buku Jumhuriyyah (Republik) yang memimpikan madinah fadhilah (kota idaman) berupaya untuk mewujudkan keadilan di dalamnya.
Menurut Plato, keadilan termasuk tanggung jawab sosial. Yakni, setiap individu harus berdasarkan keadilan dalam setiap profesi dan aktifitas sosial yang dilakukannya. Aristoteles juga membahas keadilan dalam buku politik dan etika. Dan ia mendefenisikan keadilan sebagai kepatuhan terhadap hukum/undang-undang. Para ilmuwan dan cendekiawan yang datang kemudian yang secara langsung atau tidak terpengaruh oleh kawanan filosof Yunani tersebut menyampaikan pelbagai pendapatnya terkait dengan keadilan.
Para filosof menilai keadilan sebagai hadd wasth (batas penengah) antara ifrath(melampaui batas) dan tafrith (pengabain dari yang semestinya). Ulama-ulama akhlak memiliki defenisi yang berdekatan dengan kandungan apa yang disampaikan oleh para filosof. Mulla Ahmad Narraqi dalam kitab akhlak yang ditulisnya, “Mi’raj as-Sa’adah” mendefenisikan keadilan sebagai pengembalian suatu masalah dari batas ifrath dan tafrith menuju had wasath dan ‘itidal.
Narraqi menambahkan: Keadilan itu boleh jadi dalam akhlak atau dalam perbuatan-perbuatan atau dalam pemberian-pemberian atau distribusi harta atau dalam muamalah antara masyarakat atau dalam kekuasaan dan politik mereka. Sedangkan menurut Khajah Nasruddin Thusi, keadilan adalah had wasath dan kondisi i’tidal yang tentu berbeda dalam setiap kasus.
Sementara itu, menurut fukaha, keadilan merupakan malakah nafsaniyyah(karakter/sifat jiwa yang inheren) yang memerintahkan pada suatu kewajiban dan mencegah dari keharaman. Dan hal ini mampu mendatangkan ketakwaan. Mayoritas fukaha mendefenisikan keadilan sebagai keberadaan malakah(kemelekatan suatu sifat) yang dengannya seseorang terjaga dari dosa dan terdorong untuk mengamalkan kewajiban.
Dalam bidang hukum, keadilan dibahas dalam koridor prinsip sosial dan tidak dikaji dalam makna akhlak yang merupakan keutamaan bagi jiwa atau tidak dilihat juga keadilan dari perspektif perbuatan Allah yang harus didahulukan daripada sosial. Sebagian meyakini bahwa sebaik-baik defenisi keadilan ialah memberikan hak pada setiap yang berhak.
Sebagian besar ahli hukum/pengacara Muslim menerima defenisi ini. Berdasarkan defenisi ini, kebenaran menjadi prinsip keadilan. Dan pada hakikatnya, tidak ada kesamaran dalam keadilan, makna dan parameternya. Dan semua kesamaran itu terdapat pada sumber kemunculan hak dan kadarnya.
Defenisi lain yang diutarakan ialah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya
Yang banyak disinggung oleh para filosof hukum dan etika. Sebagian menilai bahwa defenisi ini menyisakan kesamaran. Sebab, dalam defenisi sebelumnya hak dijadikan parameter kebenaran, tapi dalam defenisi ini tidak dicantumkan barometernya.
Ayatullah Jawadi Amuli menolak kritik ini. Menurut beliau, defenisi ini tidak samar, dan keadilan memang bermakna meletakkan sesuatu pada tempatnya. Suatu defenisi dipersoalkan ketika keumuman dan universalitasnya dapat dikritisi. Sehingga karena itu, defenisi ini tidak dapat dikritisi, meskipun mishdaq-nya (contoh konkretnya) tidak jelas. Kandungan defenisi yang sama juga terdapat dalam Nahj al-Balaghah, keadilan adalah meletakkan pelbagai persoalan pada tempatnya.
Bersambung…
Oleh: Husain Archini