Say No to Tatbir!
Pada hari Asyura atau tanggal sepuluh Muharam, kaum Syiah memperingati haul cucu Nabi saw yang syahid di Karbala. Mereka berdukacita dan menangis dalam mengenang pengorbanan Abu Abdillah sa beserta keluarga dan para sahabatnya. Berbagai macam ekspresi atau ungkapan dalam mereka berduka dan berbela sungkawa, salah satunya menepuk dada dengan lantunan syair-syair ma`tam dan pekikan “ya Husain..”.
Ada ekspresi lain yang tak biasa dilakukan oleh orang-orang Syiah pada umumnya, yaitu tatbir. Artinya, mengetukkan benda tajam di kepala hingga darah mengucur darinya. Aksi ekstrim ini, khususnya pada hari Asyura menjadi amalan ritual mereka dalam maksud meneladani Imam Husein dan para pembelanya yang terluka dan syahid di Karbala. Yang ingin mereka tunjukkan ialah bahwa mereka siap memberikan darah dan kepala di jalan al-Husain.
Fenomena hari Asyura yang didominasi warna hitam di sekeliling peringatan; hampir semua yang hadir mengenakan baju hitam, baik laki maupun perempuan, yang dewasa maupun anak-anak, hal ini mengungkapkan suasana berkabung. Tetapi di satu sudut yang berlainan, hanya para pelaku tatbir yang berekspresi sendiri seakan terpisah dari orang-orang pada umumnya.
Dalam satu kumpulan, dengan busana putih panjang seperti kain kafan, mereka lukai kepala mereka dengan pisau tajam, hingga darah mewarnai wajah dan baju mereka. Praktek berbahaya ini kemudian dikembangkan menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan atas nadzar mereka. Maksudnya, terkadang mereka dalam suatu urusan bernadzar akan melakukan tatbir pada hari Asyura dengan melukai diri mereka, bahkan terhadap anak-anak mereka yang tak tahu apa-apa!
Sekilas Sejarah Tatbir
Terlintas di benak penulis, haruskah peserta peringatan Asyura terluka oleh tatbir yang dikatakan sunnah atau dibolehkan?
Kadang sampai terjadi di sepanjang sejarah tatbir, sebagaimana yang dilaporkan oleh sosiolog asal Irak, Ibrahim Haidari dalam bukunya “Tragedi Karbala”, bahwa akibat benturan tatbir yang keras di kepala, banyak darah yang keluar darinya hingga pelakunya jatuh pingsan, bahkan sampai ada yang mati!
Tak adakah amal lain atau bid’ahkah suatu amal sebagai ganti mengeluarkan darah, seperti melakukan donor darah dan lainnya, yang jelas memberi manfaat bagi kemanusiaan?
Mengenai perjalanan praktek tatbir sampai masuk ke negeri Arab dan Persia, hingga dianggap sebagai amalan ritual Syiah pada hari Asyura khususnya, Ibrahim Haidari mengatakan: “Di Irak, tidak ada praktek tatbir pada pra abad 19 hingga kemudian muncul dan menyebar di akhir abad itu.. Oleh karena itu, tatbir bukanlah adat bangsa Arab Irak.”
Kesimpulan ini dikuatkan oleh sebuah laporan dari pihak Inggris tentang peringatan Asyura 1919 M, bahwa di Najaf terdapat seratus orang Syiah Turki yang melakukan tatbir.
Saksi Mata
Sayed Muhammad Bahrul Ulum, seorang saksi yang melihat langsung para pelaku tatbir ini, menceritakan bahwa sekitar 50-60 tahun sejumlah orang Turki di Najaf melukai diri dalam mengenang musibah yang menimpa Imam Husein as. Kemudian menyebar setelah dilarang oleh perdana menteri masa itu, Yasin Hasyimi, pada tahun 1935 M.
Haji Hamid Radhi (wafat 1953 M) seorang tokoh masyarakat Karbala, yang saat itu berusia mendekati 110 tahun, menceritakan kenangannya tentang peringatan duka atas Imam Husein as, bahwa di masa Pemudanya tidak ada upacara tatbir di Najaf dan Karbala.
Upacara semacam ini pertamakali yang mengadakan adalah sebagian peziarah bangsa Turki dari kelompok Qizilbash. Mereka ini melakukan tatbir, melukai kepala mereka dengan pedang bila pergi berziarah ke makam Imam Husein. (an-Najaf al-Asyraf ‘Adatuha wa Taliduha, hal 220-223)
Secara historis, menurut ustadz Yusuf Gharawi bahwa tatbir yang muncul di masa Shafawiyah memerintah, tidak pernah ada sebelum itu. Pada masa Usmaniyah, sekelompok relawan melakukan ma`tam dengan teratur -tanpa tatbir. Hal ini berlanjut hingga masa Shafawiyah, mereka melakukannya secara berulang-ulang.
Peran Penjajah Inggris
Sampai pada abad ketujuhbelas masehi, tiga imperatur besar di Timur: India, Iran dan Usmani, masuk Islam. Kejayaan mereka di dalam memerintah dunia Timur masa itu, membuat bangsa Eropa, Inggris salah satunya berfikir untuk melemahkan kekuatan muslimin.
Di antara yang dilakukannya ialah memanfaatkan keluguan orang-orang Syiah, terutama yang bodoh, dari para pecinta Imam Husein as, untuk mengadakan pengetukan pedang di dahi mereka, dan mereka diajari tatbir ini. Disayangkan, sebagian orang Syiah India tanpa legalisasi dari ulama dan para marji’ Syiah, tidak menolak amalan bid’ah ini.
Kemudian tatbir mereka dalam peringatan Asyura hari duka atas kesyahidan Imam Husein, masuk ke Iran dan Irak. Diberitakan, bahwa Yasin Hasyimi perdana menteri Irak di masa penjajahan Inggris, saat datang ke London, Inggris berkata kepadanya: “Kami datang untuk membantu penduduk Irak, supaya mereka keluar dari keliaran dan kedunguan..”
Perkataan ini membuat Yasin Hasyim geram dan hendak cabut dari pertemuan itu. Tetapi Inggris meminta waktu sebentar kepadanya untuk melihat film dokumenter Irak, tentang perkumpulan-perkumpulan yang berjalan di jalan-jalan Najaf, Karbala dan Kazhimain, dalam upacara ritual yang menyeramkan. Mereka melakukan tatbir! Seakan Inggris ingin mengatakan: “Apakah masyarakat pintar berbuat semacam ini! Melukai diri mereka sendiri?”.
Pesan Imam Husein kepada Sayidah Zainab
Kesimpulannya bahwa relawan Shafawiyah pada hari Asyura, keluar di jalan dengan pedang di tangan, pikir mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu sebagai bentuk ungkapan satu rasa dalam luka, kepedihan dan penderitaan, dengan Imam Husein.
Kata mereka, “Beliau dan bani Hasyim tertusuk anak panah, maka kami pun mengadakan hal ini pada diri kami.” Maksudnya, ingin mereka tunjukkan bahwa mereka siap berkorban di jalan Imam Husein, sekalipun kepala mereka dipenggal.
Namun kita ingin bertanya, apakah melakukan tatbir direstui oleh Imam Husein dan Ahlulbait Nabi saw dan menjadi ajaran syariat Imamiyah? Apakah ulama Syiah yang menjadi rujukan kaum Syiah, melakukannya? Adakah riwayat sahih yang mengukuhkannya?
Yang pasti adanya ialah pesan Imam Husein as kepada adiknya, Sayidah Zainab putri Imam Ali as, saat di Karbala, Ibnu Thawus dalam bukunya “al-Malhuf” meriwayatkan: “Duhai adikku, berdukalah dengan ketentuan Allah! Sesungguhnya seluruh penghuni langit dan bumi akan binasa, semua manusia akan mati tanpa tersisa…”
Kemudian beliau berkata, “Engkau Zainab (dan Ummu Kultsum, Fatimah dan Rabab).. perhatikan! Bila aku terbunuh, janganlah kalian merobek-robek kain, dan janganlah kalian mencakar wajah karenaku.. Janganlah kalian melontarkan kata-kata yang tercela.”