Syariat, Thariqat dan Hakikat (2)

syariat thariqat hakikat
Dalil perkataan ‘urafa dapat dijelaskan secara filosofis seperti ini, bahwa bagaimana dalam pembahasan sebab dan akibat, sebab bukan hanya menjadi penyebab terjadinya akibat, tetapi menjadi sumber kelestariannya juga, dan sesaat saja ketika sebab dihilangkan, maka akibat pun akan hilang. Hubungan antara syariat, thariqat, dan hakikat adalah seperti ini: yakni syariat dalam bagian sebab thariqat, dan thariqat dalam hitungan sebab hakikat. Maka, sebagaimana sebab-sebab ini memiliki andil dalam munculnya maqam-maqam setelahnya dalam kelestariannya pun ia turut andil.
Mukadimah pertama sampainya manusia pada maqam insan kamil (manusia sempurna) adalah kesucian jiwa yang tidak mungkin diperoleh tanpa menjaga adab-adab syariat secara teliti. Oleh karena itu, dengan menjaga hukum-hukum Ilahi, perintah-perintah, dan larangan-larangan syariat dan memperoleh kesucian jiwa, maka secara perlahan salik akan mampu meletakkan kakinya pada maqam-maqam thariqat lalu secara perlahan ia akan mencapai hakikat. Namun bila setelah ia sampai pada hakikat, ia meninggalkan syariat, maka karena setiap dosa dan kemaksiatan itu menciptakan semacam kekotoran batin, maka secara perlahan kesucian jiwa yang merupakan penyebab munculnya keadaan-keadaan malakuti itu akan hilang, dan secara tiba-tiba dia akan terjatuh atau secara perlahan ia akan tersingkir dari maqam-maqam spiritual. Oleh karena itu, dalam pernyataan-pernyataan ‘urafa, untuk menjaga aspek syariat dan komitmen terhadap adab-adab Islam mereka seringkali menegaskan tentang pentingnya hal ini. Kami ingin mengisyaratkan beberapa hal darinya:
Dzunnun Mishri wafat tahun 245 mengatakan, “Salah satu tanda orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih Allah yaitu Rasul-Nya dalam akhlak dan perilaku serta perintah dan Sunnahnya.” Perkataan Dzunnun tersebut mengingatkan seseorang terhadap ayat Alquran yang berbunyi:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Ali Imran : 31).
Dinukil sebuah pernyataan dari Bayazid Basthami wafat tahun 261 H, “Bila engkau melihat seorang lelaki yang memiliki karamah, di mana dia berjalan di udara dan memiliki karamah-karamah yang mengagumkan, Anda jangan tertipu olehnya sehingga Anda melihat bagaimana ia berpegangan dengan perintah dan larangan Ilahi serta menjaga hukum-hukum dan melaksanakan syariat.”
Khoja Abdullah Anshari wafat tahun 481 H menganggap agama itu seperti manusia, dan syariat, thariqat, dan hakikat agama itu seperti badan, hati, dan jiwa manusia, dan beliau mengatakan, “Hendaklah syariat itu Anda anggap sebagai badan, dan thariqat itu sebagai hati serta thariqat itu sebagai jiwa.”
Maka, menjadi jelas bahwa agama – menurut pandangan ‘Urafa Muslim – itu terdiri dari tiga jenjang: syariat, thariqat, dan hakikat. Harus diperhatikan poin penting ini yaitu bahwa menurut keyakinan ‘urafa, ‘irfan Islam menjamin dua bagian thariqat dan hakikat agama. ‘Arif senantiasa memperhatikan hakikat agama dan pengamalan syariat baik dalam ‘irfan ‘amali maupun dalam ‘irfan teoritis. Oleh karena itu, ‘arif Islam– ari ayat-ayat dan riwayat yang cukup banyak dalam pembahasan thariqat dan hakikat–mengambil manfaat darinya dan terilhami olehnya secara luas. Sebagai contoh, dalam ‘irfan teoritis, pembahasan asma Allah dan pengaturan sistem keberadaan berdasarkan kekhususan-kekhususan ‘irfan Islam yang terinspirasi oleh agama Islam.
Dengan demikian, semakin tinggi kedudukan ‘arif maka ikatan dan komitmennya terhadap ibadah bukan semakin memudar dan luntur namun justru semakin menguat dan mengkristal. Dan karamah dan apapun maqam spiritual yang dirasakannya tidak membenarkannya untuk “pisah ranjang” dengan Sang Mahacinta, apalagi sampai pada tahap mentalak ibadah. Sebab, saripati dan hakikat ‘irfan adalah ibadah. Dan maqam apapun yang dicapai oleh ‘arif karena pengaruh keberkahan dan keikhlasan ibadahnya, sehingga tidak mungkin alias mustahil ia akan mampu melanjutkan petulangan spiritualnya dan menyinkap asrar (rahasia-rahasia) dan makhazin malakutiyyah (perbendaharan alam malakut) tanpa menggunakakan kendaraan ibadah.
Klaim kewalian tanpa perhatian terhadap ibadah, apalagi jelas-jelas meninggalkan ibadah seperti shalat dan puasa adalah klaim kebodohan dan kegilaan. Sebab, prasyarat untuk menjadi wali adalah kedekatan dengan Wajibul Wujud dan kedekatan ini mustahil diperoleh tanpa pintu masuk yang bernama ibadah. Maka siapapun yang menampilkan dirinya sebagai wali dan sok-sok wali, perlu kita cermati bagaimana ibadahnya. Bagaimana kepeduliannya terhadap waktu shalat? Bagaimana pengetahuannya terhadap hukum-hukum dasar fikih ibadah? Bila kita dapati orang yang katanya wali itu mengabaikan ibadah dan pengetahuannya dangkal tentang dasar-dasar ibadah yang paling sederhana maka kewaliannya dan karamahnya patut dipertanyakan dan dicurigai.
Nabi saw disebut dalam Al-Quran sebagai uswah (suri teladan) hasanah (yang baik):
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang berharap kepada Allah, hari akhir dan bagi orang yang banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Dan salah satu aspek keteladanan Nabi saw adalah bagaimana perhatian beliau terhadap ibadah. Siti Aisyah menceritakan bahwa kami sekeluarga sedang asyik ngobrol dan bercanda. Dan ketika datang waktu shalat, Nabi saw langsung bergegas meninggalkan kami dan beliau tampak gelisah dan seolah-olah tidak mengenal kami sebelumnya (karena pikirannya hanya tertuju pada shalat). Ya, inilah Rasulullah saw sang ‘arif sejati. Beliau berada dalam puncak kedekatan dengan Allah Swt dan maqam kerasulan yang dimilikinya itu karena ibadahnya. Oleh karena itu, kita sebelum bersaksi bahwa beliau sebagai rasul-Nya, terlebih dahulu kita bersaksi bahwa beliau adalah hamba-Nya yang ahli ibadah, wa syhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.
Muhammad ‘Arif