Telaah Singkat Tahdzib Al-Ahkam Dan Al-Istibshar Syeikh Thusi (Bag. 3)
Kritik Terhadap Tahdzibain (Tahdzib Al-Ahkam dan Al-Istibshar)
1- Menukil riwayat-riwayat dhaif
Beberapa ulama seperti Ibnu Idris[1] dan Allamah Syusytari[2] menyanggah Syeikh Thusi karena telah membawakan berbagai jenis riwayat, baik yang shahih atau yang dhaif.
2- Lemahnya alasan pengkompromian riwayat
Allamah Syusytari meyakini bahwa Syeikh Thusi terlalu berlebihan dalam mengkompromikan riwayat-riwayat yang kontradiktif. Misalnya dalam bab “Mandi Jumat Mencukupi Wudhu” (seseorang yang melakukan mandi Jumat, tidak perlu lagi berwudhu), setelah mengesampingkan riwayat lain dengan alasan bertentangan dengan Alquran dan pendapat masyhur, Syeikh Thusi berkata, “Riwayat ini tidak disebutkan dalam Al-Kafi dan Man La Yahdhuruh Al-Faqih, namun hanya disebutkan dalam Tahdzib.[3]
Hal itu dimaksudkan oleh Syeikh Thusi untuk mentakwilkan riwayat berdasarkan metode yang beliau pilih, yaitu melakukan pentakwilan-pentakwilan yang jauh. Sekiranya beliau mengamalkan riwayat yang dibawa Ihsai,[4] akan jauh lebih baik.[5]
3- Kritikan lain yang disampaikan Allamah Syusytari dalam sebagian pembahasan adalah Syeikh Thusi tidak memperhatikan dalil kuat yang ada, namun hanya menyebutkan sebagian dalil dhaif. Dalam pembahasan mencuci bejana yang terkena benda memabukkan sebanyak 7 kali misalnya, Syeikh Thusi membawakan satu dalil dhaif. Sementara dalam bab “Adz-Dzabaih wa Al-At’imah” (Sembelihan dan Makanan) beliau membawakan sebuah riwayat yang dapat dijadikan dalil kuat untuk topik sebelumnya (mencuci bejana yang terkena benda memabukkan).[6]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan Syeikh Thusi adalah menukil riwayat-riwayat yang zahirnya kontradiktif, lalu memaparkan beberapa metode untuk menyelesaikan ta’arudh yang terjadi. Beliau tidak langsung menyingkirkan riwayat-riwayat tersebut dikarenakan sanad yang dhaif. Beliau juga membawakan riwayat-riwayat shahih pada permulaan setiap bab dan riwayat-riwayat dhaif di akhir bab untuk menghindari bercampurnya riwayat-riwayat tersebut.
4- Terjadinya kesalahan dan distorsi dalam penukilan sanad dan teks riwayat
Muhaddis Bahrani menulis, “Dalam kitab Tahdzib, jarang sekali sebuah hadis dinukil secara benar. Hadis-hadisnya memiliki problem sanad atau teks.”[7]
Jika dua kitab Tahdzibain ini dibandingkan dengan Al-Kafi, Al-Kafi masih tampak lebih kuat dan kokoh dalam penukilan riwayat. Hal ini menunjukkan bahwa Syeikh Kulaini lebih dhabit dan jeli dalam menukil sanad dan teks riwayat. Namun bukan berarti bahwa riwayat-riwayat Tahdzibain tidak muktabar.
Signifikansi Koreksi Tahdzib Al-Ahkam
Untuk menilai kitab Tahdzib Al-Ahkam sebagai salah satu sumber fikih Syiah paling penting, harus dilakukan kajian secara ilmiah dan bijak. Tahdzib bukan sebuah kitab fikih atau kitab fatwa sehingga kritikan yang dilontarkan oleh Ibnu Idris dan Ayatullah Syusytari tepat sasaran. Syeikh Thusi tidak bermaksud menulis sebuah kitab fikih, meskipun kitab tersebut disusun dengan urutan bab-bab fikih.
Dari sisi lain, sebagaimana satu ilmu dengan ilmu lain memiliki perbedaan, metode argumentasi dan evaluasi dalam setiap ilmu juga berbeda-beda. Saat kita menggunakan hadis dalam pembahasan tafsir Alquran, sejarah, dan permasalahan-permasalahan teologi atau akidah, kita tidak boleh mentelaah sanad hadis dari kacamata fikih yang bila muwatstsaq, kita terima dan bila dhaif kita singkirkan. Alasannya, karena metode ini khusus untuk fikih dan kurang bernilai dalam ilmu-ilmu lain. Kitab-kitab filsafat, teologi, dan irfan misalnya, menggunakan hadis-hadis yang sanadnya dhaif sebagai argumentasi dalam berbagai pembahasan. Hadis-hadis yang digunakan itu tidak hanya dhaif dari kacamata fikih, bahkan tidak memiliki sanad dan tidak terdapat dalam sumber hadis mana pun. Meski demikian, ilmu-ilmu tersebut tidak dianggap cacat atau bermasalah.
Karena Syeikh Thusi ingin mencapai sebuah target teologi, beliau tidak boleh mengkritik dan mengkaji hadis-hadis dengan metode fikih. Sadar akan hal tersebut, beliau menukil segala hal yang kontradiktif dalam fikih dalam porsinya masing-masing. Orang-orang yang mengkritik Syeikh Thusi, otomatis keliru karena melihat seluruh ilmu hanya dengan kacamata fikih.
Beberapa kritikan di atas, meskipun terlalu dilebih-lebihkan, namun pada saat yang sama juga mengindikasikan kekurangan riwayat-riwayat kitab Tahdzib.
Kritikan tersebut tidak mengarah langsung kepada Syeikh Thusi, akan tetapi mayoritasnya berasal dari perbedaan naskah kitab Tahdzib. Manuskrip-manuskrip kitab Al-Kafi dan Man La Yahdhuruh Al-Faqih biasanya tidak memiliki perbedaan mencolok antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berbeda dengan naskah-naskah kitab Tahdzib.
Demikian pula perbedaan naskah yang memunculkan kritik terhadap teks atau sanad hadis, tidak melahirkan perbedaan atau kekurangan yang mencolok. Sayed Muhsin Amin berkata, “Saat aku membandingkan hadis-hadis Tahdzib dengan Al-Kafi, aku menemukan beberapa perbedaan, namun hal itu tidak sampai merusak makna dan maksud asli hadis-hadisnya.[8]
Dengan demikian, jelas bahwa perbedaan naskah menimbulkan permasalahan sanad dan teks dalam sebagian riwayat Tahdzib. Namun, karena kitab Tahdzib adalah sebuah sumber ijtihad dan istinbath hukum-hukum syar’i, sudah selayaknya dilakukan koreksi teknis yang mendetail dan cermat. Hal itu telah banyak dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini, seperti koreksi Sayed Hasan Khurasani yang melakukannya dengan sangat detail dan cermat. Hasil dari koreksi tersebut berkali-kali dicetak di Najaf dan Tehran dalam 10 jilid kitab.
Koreksi lain yang sangat bernilai dan bermanfaat, dilakukan oleh Ali Akbar Ghifari. Perbedaan naskah yang tidak mempengaruhi pemahaman makna hadis, disebutkannya di catatan kaki.
(Bersambung)
==========
[1] Lihat: Hilli, Ibnu Idris Muhammad bin Mansur bin Ahmad, As-Sarair Al-Hawi Li Tahrir Al-Fatawa, jilid 3, halaman 289.
[2] Lihat: Allamah Syusytari, An-Naj’ah, jilid 1, halaman 325 dan jilid 2, halaman 29.
[3] Thusi, Tahdzib, jilid 1, halaman 141.
[4] “Ambillah apa yang masyhur di kalangan ashab dan tinggalkanlah yang syadz dan nadir.” (Ihsai, Ghawali Al-Liali, jilid 4, halaman 133)
[5] Allamah Syusytari, An-Naj’ah, jilid 1, halaman 292; Ibid, jilid 2, halaman 201.
[6] Ibid, jilid 1, halaman 4, jilid 3, halaman 298.
[7] Muhaddis Bahraini, Al-Lu’lu’ Al-Bahrain, halaman 297.
[8] Sayed Muhsin Amin, A’yan Asy-Syiah, jilid 9, halaman 164.