Tengku Chiek Pantee Kulu; Pahlawan Perang Sabil Nanggroe Aceh Darussalam
Tidak sepopuler teman-teman seperjuangannya, seperti Teuku Umar Johan Pahlawan, Tengku Chiek Ditiro, Panglima Polem, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Laksamana Malahayati dan rentetan nama-nama besar lainnya dari bumi tanah rencong, namun pengaruhnya sangat kental dalam sejarah perjuangan aceh mengusir “kaphe Peunjajah” dari gapura asia tenggara itu.
Gapura Asia Tenggara, sejarah telah mengukir lenggak para pejuang tanah rencong dalam mengusir Portugis dari semenanjung Malaysia, bahkan di masa keemasannya Aceh pernah merentangkan sayapnya hingga mencapai perbatasan Tiongkok. Lantas, darimana pemuda-pemuda Aceh masa lalu itu mendapatkan suntikan motivasi dan semangat pantang menyerah itu?
Bagi sebagian masyarakat Aceh mungkin nama “Teungku Chiek Pantee Kulu” sudah tidak asing lagi bagi mereka, penulis sendiri sering meluangkan waktu untuk berziarah ke makam beliau yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari Indrapuri (27 km dari pusat kota banda aceh), sebuah kota kecil di Kabupaten Aceh Besar. Mungkin itulah sekelumit dari sekian kenangan yang pantas dihargai oleh para anak bangsa pencinta tanah ibu pertiwi tercinta ini.
Kita langsung saja ke biografi Tgk.Chiek Pante Kulu (singkatan Tgk dalam bahasa Aceh dibaca TEUNGKU atau mungkin bisa lebih disederhanakan menjadi TENGKU, terserah anda). Nama lengkap beliau adalah Teungku Chik Haji Muhammad Pante Kulu. Lahir pada tahun 1251 H (1836 M) di desa Pante Kulu, Titeue, Kab. Aceh Pidie. Itulah sebabnya dia digelari sebagai Teungku Chiek Pantee Kulu. Titeu sendiri nama sebuah kecamatan pemekaran dari Kecamatan Keumala. Secara geografis, titeu berbatasan dengan Kecamatan induknya Keumala di bagian selatan, Kecamatan Lamlo atau disebut juga Kecamatan Sakti di bagian utara dan barat, dan Kecamatan Tiro di bagian timur. Sebagai catatan titeu juga dikenal karena berasnya yang enak dan air yang bersih.
Di usia dini Tgk.Chiek Pantee Kulu pernah mengecap pendidikan dari ulama Tiro sperti Tgk Haji Chik Muhammad Amin Dayah Cut. Dasar literatur Melayu Jawi yang pernah dipelajari Muhammad Pantee Kulu di lingkungannya sangat membantu dalam mempercepat proses pendidikannya di dayah Tiro (dayah adalah sebutan pesantren dalam bahasa aceh).
Konon Teungku Chiek Pantee Kulu pernah mengecap pendidikan di Mekkah. Hal ini bisa dilihat dari dua karya besarnya; Pasukan Gajah dan Sa’id Salmy. Malah disebutkan bahwa hikayat prang sabi dikarang oleh beliau ketika beliau sedang menempuh pelayaran menuju tanah suci di Hijas. Versi lain menyebutkan bahwa hikayat prang sabi tersebut beliau tulis atas permintaan Teungku Tanoh Abee (Teungku Wahab Tanoh Abee: red).
Manuskrip asli Hikayat Perang Sabil
Secara editorial, Hikayat Perang Sabil sendiri terdiri dari 4 bagian antara lain; Bagian pertama Hikayat Ainul Mardhiyah, bagian kedua hikayat Pasukan Gajah, hikayat Sa’id Salmi dan yang terakhir hikayat Muhammad Amin (budak yang sudah menjelma hidup kembali).
Zentgraf dalam bukunya “Aceh” (1983) menulis bahwa; pengaruh hikayat perang sabil Teungku Chiek Pantee Kulu sedemikian besar sehingga banyak pemuda dan bahkan pemudi aceh yang melangkah tanpa ragu kemedan tempur melawan melawan Belanda.
Menurut Zentgraf, hikayat perang sabil menjadi momok yang sangat ditakuti oleh Balanda, sehingga siapa saja yang diketahui menyimpan-apalagi membaca hikayat perang sabil mereka akan mendapatkan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda, apakah itu berupa pengasingan ke wilayah terpencil atau bentuk hukuman-hukuman yang lain.
Zentgraf membandingkan hikayat perang sabil Teungku Chiek Pantee Kulu dengan karya-karya sastrawan Perancis La Marseillaise dalam masa Revolusi Perancis, dan karya Common Sense dalam masa perang kemerdekaan Amerika. Bedanya, kedua karya sastra itu tidak tidak mampu mempengaruhi massa sebesar pengaruh hikayat perang sabil karya Teungku Chiek Muhammad Pente Kulu.
Ali Hasyimi tokoh intelektual Aceh menilai, hikayat perang sabil karya Chik Pente Kulu dapat disamakan dengan illias dan Odyssea dalam kesusastraan epos karya pujangga Homerus di zaman “Epic Era” Yunani sekitar tahun 700-900 sebelum Masehi.
Tidak mengherankan jika kemudian penyair nasional Taufik Ismail mengabadikan legenda hikayat perang sabil karya Tgk. Chik Pante Kulu ini dalam sebuah syair panjangnya berjudul :
“Teringat Hamba Pada Syuhada Kita Dihari Kemerdekaan,
Musim Haji 1406 H”;
Lihat,
seorang penyair abad sembilan belas, Teuku Cik Pante Kulu
Dalam umur matang 45 tahun sedang menuliskan puisi panjangnya Hikayat Perang Sabil
Terdengarkah olehmu?
Gurasan kalamnya berdesir di atas sebuah kapal layar
Menampakkan namanya digoyang anging Samudera Hindia
Seberkas puisi besar dalam empat bagian yang tidak ada tandingannya sedang dituliskan dalam membangkitkan nyali mempertahankan kemerdekaan
Tampakkah olehmu?
Puisi itu diserahkannya kepada Teuku Cik Ditiro di sebuah desa dekat Sigli
Dan puisi itu berubah menjadi sejuta rencong melawan penjajahan Belanda
Terdengarkah olehmu?
Merdunya Al Furqan dinyanyikan
Kemudian puisi Hikayat Perang Sabil dibacakan
Yang mendidihkan darah, memanggang udara
Menjelang setiap pasukan terlibat pertempuran
Mengibarkan panji fii sabilillah
Puisi itu dibacakan setiap mereka akan pergi bertempur
Allah,
Berilah barokah kelada penyair besar ini
Beri dia Firdaus sebesar langit dan bumi di alam yang dimensi waktunya tak dapat dikira
Dia telah menulis puisi yang berfaedah
Menurut sebagian versi, ketika Tgk. Muhammad Saman Ditiro meminta izin kepada Tgk. Chik Tanoh Abee untuk berperang melawan Belanda, Tgk. Chik Tanoh Abee menanyakan pada Tgk. Chik Ditiro: “Soe yang muprang dan soe yang taprang?” (siapa yang berperang dan siapa yang kita perangi?). Tgk.Chik Ditiro menjawab: “Yang muprang Muhammad Saman, yang taprang kafe Belanda” (yang akan berperang Muhammad Saman, yang diperangi kafir Belanda).
Dalam dukungannya terhadap gerakan Tgk. Chik Ditiro tersebut, Tgk. Tanoh Abee hikayat perang sabil khusus untuk pimpinan-pimpinan perang dalam bahasa Arab. Sedangkan untuk laskar dan para pejuang lainnya, menjadi tanggung jawabTgk. Chik Pante Kulu, yang kemudian beliau karang dalam bentuk hikayat fenomenal prang sabil dalam huruf Jawi berbahasa Aceh.
Namun sepertinya sejarah juga bersedih melihat apresiasi penerus bangsa khususnya para punggawa saat ini, betapa tidak, jasa pahlawan sekaliber Tgk. Muhammad Pantee Kulu ini hanya terhiasi dengan sebidang tanah dan dua butir batu nisan, sepi, kumuh, lusuh, lunglai, seolah merintih pedih meratapi kisahnya, atau mungkin juga menagisi kondisi kita yang kian memprihantinkan…WALLAHU A’LAM. (As Djatu)