Uang yang Saya Pinjamkan kepada Anda, bukan Milik Saya
Uang yang Saya Pinjamkan kepada Anda, bukan Milik Saya
Dalam fikih ada dua macam riba:
1-Riba qardhi (bunga dalam pinjaman); ialah seseorang meminjami sejumlah uang, kemudian dia menerima lebih dari itu yang merupakan keuntungan baginya. Keuntungan ini tak mesti sejenis dengan apa yang dia pinjamkan, tetapi “كل ما يجر نفعا”. Yakni, jenis apapun itu yang membawa keuntungan baginya. Termasuk misalnya seseorang meminjami fulan uang seribu dengan syarat, fulan mengambil air dari sana ke sini, hal ini pun merupakan keuntungan.
2-Riba mu’amali (bunga dalam transaksi); yakni, dalam pertukaran barang yang sama atau beda jenis. Dalam pertukaran antara dua barang sejenis, tidak boleh ada tambahan atau kelebihan. Salah satu masalahnya ialah mengenai pertukaran antar uang. Di masa sekarang uang yang berlaku (kebanyakan) berupa kertas dan lainnya, bukan merupakan emas atau perak seperti zaman dahulu.
Kemudian, di sana para ahli dari Mesir menyebutkan ada dua macam pinjaman:
1-Qardh istihlaki; ialah pinjaman untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer. Seorang dari mereka membaginya tiga macam pinjaman:
Pertama, pinjaman bagi kaum duafa, misalnya ketika anak sakit tentu mereka memerlukan pinjaman untuk biaya pengobatan. Adalah perkara yang sebenarnya menuntut kepedulian dan bantuan dari masyarakat bagi duafa.
Kedua, pinjaman bagi orang-orang yang memiliki harapan (yang pasti). Mereka bukan sama sekali tak punya. Mereka mampu mengatasi urusan hidup, tetapi pada saat itu fulan sedang membutuhkan atau tidak punya. Adalah perkara yang masyarakat bisa menangani masalah dia dengan memberi pinjaman baginya.
Ketiga, pinjaman bagi orang-orang yang mempunyai piutang. Keadaan mereka lebih ringan dari dua golongan di atas. Misalnya, fulan punya tagihan yang dia sendiri tak membutuhkannya, tapi ia meminjam untuk dapat menarik hartanya lebih cepat.
2-Qardh istintaji; peminjaman bukan untuk membelanjakan atau menghabiskannya, tetapi dimanfaatkan untuk penghasilan. Si peminjam sama sekali tidak terpaksa berhutang, karena (sebenarnya) dia tidak memerlukan pinjaman untuk itu, melainkan untuk menambah modal dan penghasilan yang lebih. Atau dikarenakan dia tak punya modal, atau punya tapi tidak mencukupi. Lalu dia meminjam (modal) kepada bank atau fulan dengan perhitungan akan menyerahkan keuntungannya nanti sejumlah yang lebih sedikit dari modal yang akan dia gunakan. Misalnya, meminjam satu juta dari bank. Lalu di akhir tahun ia harus menyerahkan seratus ribu sebagai keuntungan bagi bank. Tetapi dari pinjaman itu faedah minimal yang akan dia peroleh sebesar duaratus ribu, sehingga sisanya seratus ribu untuk dia.
Peminjaman Berbunga: antara Masalah Hak dan Syariat
Hal yang perlu dikaji di sini, pertama, peminjaman berbunga dianalisa dari sisi masalah hak, bukan syariat. Yakni, secara ilmiah apakah peminjaman berbunga itu sebuah kelaliman ataukah tidak? Orang yang mengambil keuntungan atas peminjamannya terkadang tanpa perasaan, atau (prinsipnya) dia berhak menerima upah (sebagai jasa peminjaman). Jika dia orang kaya dan yang dipinjami adalah orang miskin, maka tindakannya itu keras hati, tak berperasaan. Oleh karena itu, terkait dengan bunga (riba), persoalannya: apakah beda peminjaman berbunga dari sisi masalah hak dengan persewaan, ataukah tidak? Jika tak ada bedanya, bagaimana menurut syariat?
Syariat melarang peminjaman berbunga, tapi tidak melarang penagihan uang sewa walau si penyewa tak punya untuk bayar sewa rumah, melainkan syariat menganjurkan si penagih sewa dalam banyak hal agar berbuat kebaikan. Bagaimana bisa demikian?
Menurut Syahid Mutahari, peminjaman berbunga itu dari sisi masalah hak pun tertolak, tidak logis dan berbeda dengan persewaan dan semacamnya! Bahwa, kadang kita mendapati asumsi bahwa “harta (uang) itu tidak menghasilkan keuntungan, dan semua keuntungan adalah hasil kerja, bukan harta.” Jadi, dalam hal ini tak ada bedanya antara riba dan persewaan. Akan tetapi asumsi ini tidaklah benar.
Singkatnya, pangkal masalah ini adalah modal. Dari titik inilah kita berangkat. Ibarat seseorang pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar. Maka ia persiapkan alat yang akan dia gunakan dan membantunya dalam pekerjaan itu. Alat inilah sebagai modal dia. Lantas, apakah modal ini wujud luar (aini) ataukah wujud anggapan (itibari)nya, yang bergerak? Jelas wujud luarnya.
Penerapannya, misal Saya meminjami Anda uang. Maka uang atau modal ini lah yang terkait dalam urusan. Yakni, wujud luarnya. Hasil dari usaha wujud luar (modal) itu bermacam-macam; kadang bertambah dan berkurang. Kadang tak bergerak tetapi bertambah, dan kadang sampai habis.
Setiap orang secara riil memiliki modal, termasuk lisan dia, faedah atau keuntungan darinya terkait dengan dianya. Sekiranya suatu bahaya atau kerugian tertumpu pada modal itu, dia lah yang menghadapinya. Namun, jika ia mengubah uangnya itu pada pinjaman, artinya dia meminjamkannya kepada orang lain. Dalam hal ini pemilik uang sebagai barang nyata itu adalah si peminjam. Sedangkan orang yang meminjami adalah pemilik pinjaman, yakni sebagai pemilik perkara anggapan dalam perjanjian.
Misalnya, bila seseorang ingin bepergian jauh, ia menyetor uangnya ke bank atau fulan, lalu sampai di tempat tujuan ia dapat mengambilnya dari bank cabang atau perwakilan fulan. Dengan demikian ia mengamankan uangnya dari resiko kehilangan. Ia sama halnya meminjamkan uangnya, dan mulai saat itu seandainya uang itu hilang ketika akan mengambilnya, ia mengatakan: “Itu uang Anda yang hilang, bukan punya saya!.
Referensi:
Mas`ale Riba wa Bank/Syahid Mutahari