Ulama bukan Sekedar Pakar Agama

Ulama, Pewaris Para Nabi
Oleh: Husein Muhammad Alkaf
Sejak beberapa pekan terakhir ini, lembaga MUI (Majelis Ulama Indonesia) menjadi sorotan banyak kalangan. Lembaga ini mengeluarkan fatwa bahwa Gubernur (non-aktif) DKI, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, telah menista Al-Quran dan ulama. Fatwa ini lantas memunculkan kelompok yang belakangan sangat populer, yaitu Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.
GNPF membuat MUI laksana pahlawan yang gagah dan bernyali dalam membela agama Islam dan kepentingan umat Islam. Sebelum GNPF ini muncul, peranan MUI dianggap lemah dan tidak greget di mata umat Islam di Indonesia, termasuk oleh kalangan yang ikut dalam GNPF MUI sendiri.
Menguatnya popularitas MUI di mata sebagian besar kaum Muslimin Indonesia ini ternyata disertai juga dengan munculnya sikap antipati dari beberapa pihak. Sampai pada tataran yang ekstrem, ada yang berpandangan bahwa lembaga ini sebaiknya dinonaktifkan (baca: dibubarkan) saja. Alasannya, posisi MUI dalam sistem sosial politik di Indonesia tidaklah begitu jelas.
MUI bukan lembaga negara, juga bukan ormas apalagi organisasi politik. Karena itu, sistem rekruitmen keanggotaan di MUI tidaklah jelas. Jangan heran jika tidak semua pengurus MUI adalah ulama. Marwah Daud Ibrahim yang belakangan ini namanya sangat terkenal dalam kasus Dimas Kanjeng, sebelumnya adalah pengurus MUI Pusat. Tidak main-main, jabatannya adalah Ketua Komisi MUI bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga. Padahal, beliau tidak pernah dikenal sebagai ulama, melainkan cendekiawan Muslim.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap keberadaan lembaga MUI, penulis lebih tertarik untuk berbicara tentang ulama sebagai bagian yang sangat penting dalam tubuh umat Islam. Fungsi ulama sebagaimana dijelaskan dalam teks-teks Islam adalah sebagai pewaris Nabi; fungsi yang menentukan arah dan nasib umat Islam. Karena posisi dan fungsinya yang sangat penting itulah maka ulama tidak sekedar orang yang ahli dalam ilmu-ilmu agama. Mereka berfungsi sebagai penjaga agama Islam dari segala penyimpangan yang dilakukan Umat Islam, dan juga berfungsi sebagai pembimbing mereka.
Perbedaan Ulama dengan Pakar Agama
Ada dua sudut pandang yang berbeda dalam mengkaji dan mempelajari agama Islam. Pertama, sudut pandang yang bersifat searah. Artinya ajaran Islam dalam sudut pandang ini sebagai obyek kajian dan penelitian saja. Pelakunya tidak mau atau tidak merasa menjadi sasaran atau obyek dari ajaran Islam itu sendiri. Ketika dia mempelajari Islam, yang dia lakukan semata-mata karena dorongan fitrahnya yang ingin mengetahui apa itu Islam. Sudut pandang seperti ini biasa disebut dengan kajian epistemologis.
Sudut pandang yang kedua bersifat timbal balik, yaitu menjadikan ajaran Islam sebagai obyek kajian dan penelitian, dan juga sebagai subyek yang mempengaruhi pengkaji dan penelitinya. Pelakunya terlibat secara intelektual dan mental. Dia mempelajari juga terawasi oleh ilmu yang dipelajarinya. Dia mencoba menggabungkan antara mengetahui dan mengamalkan, atau antara ilmu dan amal. Sudut pandang ini biasa disebut kajian aksiologis.
Sudut pandang yang pertama menciptakan Islamolog atau pakar dalam ilmu-ilmu keislaman. Untuk menjadi seorang Islamolog, seseorang cukup mengkaji dan meneliti ajaran-ajaran Islam melalui buku-buku, baik secara otodidak atau belajar di lembaga-lembaga pendidikan formal. Biasanya, para Islamolog muncul dari perguruan dan sekolah tinggi. Lebih dari itu, seorang yang pakar dalam ilmu-ilmu keslaman tidaklah harus seorang Muslim. Para orientalis adalah Islamolog yang luas ilmunya tentang Islam.
Situasi seperti ini berbeda pada sudut pandang kedua. Perspektif aksiologis dalam mempelajari agama Islam tidak hanya melahirkan para pakar, melainkan orang-orang yang menyatukan ilmu dengan amal, dan menjadikan ajaran Islam termanisfestasi dalam kehidupan dirinya. Mereka inilah yang kemudian disebut dalam terminologi Islam sebagai ‘ulama’.
Ulama adalah orang yang melihat Islam dari sudut pandang yang kedua. Selain pakar dalam ilmu-ilmu keislaman sebagaimana Islamolog, ulama adalah seorang yang menjadikan ilmunya sebagai pengontrol dirinya. Dia menjadikan ajaran Islam tidak hanya sebagai obyek kajian dan penelitian sebagaimana yang dilakukan oleh seorang Islamolog, tapi dia menjadikan dirinya sebagai sasaran dan obyek ajaran Islam. Terjadi interaksi yang intens antara ulama dengan ilmu agama yang dipelajarinya.
Islamolog biasanya lahir dari sekolah atau perguruan tinggi Islam, dan mereka menyandang title kesarjanaan. Ini berbeda dengan ulama. Para ulama biasanya lahir dari pesantren-pesantren, dan mereka tidak menyandang title tersebut.
Dalam kultur dan tradisi Islam Indonesia, ulama biasanya disebut kyai, yang bisa dipastikan memiliki santri. Lazimnya kehidupan dalam pesantren, para kyai dengan santri berinterakasi secara intens. Kyai tidak hanya mengajar para santri, melainkan hidup bersama mereka; solat bersama, makan bersama dan kumpul sepanjang hari di satu lingkungan. Kehidupan ini sesungguhnya satu model dari pendidikan karakter (character building). Pesantren tak ubahnya sebuah laboratorium praktek. Santri dituntut untuk mempraktekan ilmunya, dan kyai merupakan contoh hidup dari gabungan antara ilmu dan amal.
Oleh karena latar belakang pendidikan yang berbasis kepesantrenan, keberhasilan seorang ulama diuji dengan sejauh mana dia mempraktekan ilmu agamanya dalam kehidupannya sehari-hari. Bentuk ujiannya tidak bersifat akademis, melainan melalui interaksinya dengan umat. Jika seorang kyai mampu mengayomi umat lewat ilmu dan sikapnya, dan mereka pun merasakan kehadirannya sebagai pengayom, maka dia benar-benar telah menjadi pewaris Nabi.
Sebagaimana Nabi, seorang ulama sejatinya lebih banyak memberi daripada menerima. Dia memberi ilmu, waktu, serta tenaganya untuk umat. Yang dilakukannya adalah menyampaikan ajaran Islam dengan baik dan benar, membimbing umat dan melayaninya dengan sabar dan santun. Dia menjadi orang yang paling bertanggung jawab dalam mengurusi masalah umat.
Kehadiran ulama dengan karakteristik seperti itu dibutuhkan oleh umat Islam. Mereka akan merasa aman, nyaman, dan damai ketika menatap wajahnya dan duduk di sampingnya, karena energi yang keluar darinya adalah cahaya Islam yang menyinari pikiran dan hati mereka.
Umat akan merasa nyaman karena yang mereka dapatkan dari para ulama bukan kebodohan yang akan melahirkan kebencian dan permusuhan di tengah mereka.
Begitulah sejatinya peran ulama, dan begitulah pula sejatinya watak organisasi MUI sebagai kumpulan para ulama. Melalui ilmu agama yang luas dari para pengurusnya, MUI dapat mengawal kehormatan dan martabat ummat Islam Indonesia, tapi pada saat sama juga tetap berkomitmen kepada kebenaran, ilmu, dan keadilan.
Semoga Allah memanjangkan usia para ulama sejati di negeri ini.