Ulama : Person dan Institusi
Ulama : Person dan Institusi
Kasus penistaan agama terus bergulir dan menimbulkan kasus-kasus lainnya. Terakhir ini, masalah yang sangat sensitif di tengah kaum Muslimin tak luput dari efek kasus itu. Kedudukan ulama mulai menjadi bahan pembicaraan kalangan luas. Hemat kami, ada dua hal yang menarik untuk kami angkat dalam tulisan ini sehubungan dengan ulama dan kedudukannya yang central di tengah umat Islam.
1. Ulama sebagai person. Dalam Kamus Besar Bahasa Idonesia (KBBI) disebutkan bahwa ulama adalah orang yang pandai dalam pengetahuan agama Islam; atau orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Definisi ini membatasi makna ulama pada sisi intelektual dan keilmuan saja. Sementara itu, banyak kita dapatkan dalam Qur’an dan Hadis penjelasan tentang ulama dari sisi spiritual dan akhlak. Terlepas dari definisi KBBI dan teks-teks Islam, ulama adalah manusia biasa. Dia bisa melakukan kebaikan dan juga kesalahan. Dia bisa terjebak dalam jebakan setan dan bisa terjerumus dalam kubangan godaan dunia. Tidak ada sebuah jaminan dari Tuhan bahwa dia tidak akan melakukan kesalahan, baik pikiran maupun tindakan. Yang akan menjaganya dari kesalahan adalah integritas dirinya sendiri. Untuk itu, ulama harus selalu hati-hati dan waspada (wara’) dalam menjalani kehidupan dirinya. Jika tidak, maka dia tidak berbeda dengan manusia lainnya. Maka dari itu, tidak heran kalau kita dapatkan dalam teks-teks Hadis tentang dua macam ulama; ulama rabbani dan ulama suu’ ( ulama jahat), dan dalam sejarah umat Islam yang paling dini pun terdapat dua macam ulama ini ada. Kita tidak perlu heboh dan bingung dengan sebuah fakta; ulama yang perbuatannya bertentangan dengan ucapannya, atau tindak tanduknya tidak sejalan dengan nilai-nilai agama Islam yang mulia.
Ulama bukan nabi. Seorang nabi, meskipun manusia juga, adalah manusia pilihan Tuhan. Tuhan yang menjaganya sehingga dia tidak akan melakukan kesalahan; baik pikiran maupun tindakan. Selain nabi, kalangan Syiah juga meyakini bahwa para imam Ahlul Bait as. yang berjumlah dua belas orang adalah manusia-manusia yang dijamin kesuciannya oleh Tuhan.
2. Ulama sebagai institusi. Yang dimaksud dengan institusi di sini bukan lembaga formal atau informal, tapi sebuah kedudukan atau fungsi yang integral dalam tubuh umat Islam, atau satu bagian yang koheren dalam ajaran Islam. Dalam tubuh umat Islam kedudukan dan fungsi ulama sangat penting sekali. Mereka adalah pewaris para nabi, yang bertugas menjaga ajaran Islam dari segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan, dan juga mengayomi umat dari perpecahan dan permusuhan. Mereka adalah pembimbing dan panutan umat Islam. Dengan demikian, mereka merupakan jaminan atas kemurnian ajaran Islam dan keutuhan umat Islam. Keutuhan dan kehancuran umat tergantung pada kepribadian mereka. Last but not least, menjadi ulama adalah sebuah kehormatan yang tinggi sekaligus sebagai tanggung jawab yang berat.
Dengan memerhatikan dua hal tersebut, apa yang harus dibela? Apakah person ulama atau institusi ulama ? Sebagai person, maka ulama sebagaimana manusia lainnya, harus dihormati dan dijaga kehormatannya. Imam Ali as. berkata, “ Manusia ada dua macam; saudaramu seagama atau sesama makhluk “( Nahj al Balaghah, al Rasaail 53). Apalagi dia seorang Muslim, maka agama Islam mewajibkan kita menjaga kehormatannya. Dalam sebuah Hadis, “ Setiap orang Muslim atas orang Muslim lainnya diharamkan darahnya, hartanya dan kehormatannya “ (HR. Muslim). Sudah barang tentu, ulama mempunyai hak untuk dihormati lebih dari manusia lainnya selama dia benar-benar menjalankan fungsinya sebagai ulama; penjaga ajaran Islam dan panutan umat Islam. Jika dia tidak mampu menjalankan fungsinya, maka dia tidak lebih daripada manusia lainnya, atau bahkan dia menjadi orang yang lebih rendah dari manusia biasa. Banyak teks-teks agama yang mengecam ulama suu’. Karena itu, penghormatan kepadanya tergantung bagaimana dia menempatkan dirinya.
Namun, ulama sebagai sebuah institusi yang central dalam Islam, maka mereka harus dijaga dan dibela dengan segenap kekuatan yang ada, serta tidak boleh dibiarkan jika ada upaya yang ingin menjatuhkan dan menghina mereka. Mereka tidak hanya sebagai simbol agama yang terhormat, tetapi merupakan ruh atau kekuatan Islam itu sendiri. Menghina dan menjatuhkan mereka sama dengan menghina dan menjatuhkan marwah Islam. Kedudukan mereka, dalam Islam, lebih terhormat dari dari negara dan para pemimpin bangsa. Menghormati dan membela mereka, dalam hal ini, sebuah harga mati.
Dalam kasus yang tengah hangat dibicarakan akhir-akhir ini, kita harus pandai memilah antara dua hal tersebut; ulama sebagai person dan ulama sebagai institusi. Apa yang harus kita bela ? Jika seorang ulama itu benar-benar mencerminkan dirinya sebagai pewaris para nabi dalam kepribadiannya, maka dia harus dibela. Jika tidak, maka dia hanya diperlakukan sebagai manusia pada umumnya. Kalau dia melakukan kesalahan, maka harus diluruskan dan ditegor, dan tidak perlu dibela karena kesalahannya. Karena membiarkan dia dalam kesalahan akan menyebabkan kehilangan kemuliaan dan kewibawaan Islam.
Kemudian kesalahan seorang ulama sebagai person tidak dengan sendirinya menyalahkan ulama sebagai institusi. Institusi ulama harus tetap dihormati dan dijaga serta dibebaskan dari person ulama yang melakukan kesalahan. Seorang ulama bisa menjadi terpidana karena kesalahannya, tapi institusi ulama tidak boleh dipidanakan. Seorang boleh membenci person ulama karena perbuatannya, tapi tidak boleh membenci institusinya. Di sini lah umat Islam harus bisa memilah ulama sebagai person dan ulama sebagai institusi. (Husein Alkaff)