212 Ribu Janda Baru: Fenomena Sosial yang Memprihatinkan
Keluarga adalah bangunan sosial yang sangat penting dan memberikan sumbangan signifikan dalam kemajuan suatu masyarakat. Karena itu, krisis suatu bangsa sejatinya dimulai dari krisis keluarga. Dan pelbagai problema dan permasalahan sosial sebenarnya dipicu oleh masalah keluarga. Maka membangun tatanan keluarga yang ideal dan bahagia adalah cita-cita dan keinginan kita bersama.
Salah satu persoalan yang mengancam pondasi keutuhan rumah tangga dan bahkah bisa menghancurkannya adalah perceraian. Ya, meskipun korban pertama perceraian adalah suami atau istri namun korban sesungguhnya adalah anak-anak yang kehilangan kasih sayang orangtua. Mereka tidak menyaksikan lagi kebersamaan kedua orangtuanya; suasana ceria, makan ngak makan ngumpul. Anak-anak tidak pernah paham kenapa orangtua mereka berpisah dan mereka—setelah dewasa—lebih tidak paham lagi setelah tahu bahwa perceraian orangtuanya dikarenakan hal yang tidak jelas atau urusan remeh temeh alias semelekete. Ternyata, sebagian orangtua tampak belum dewasa karena perceraian yang mereka lakukan bukan dipicu oleh urusan yang prinsipil dan besar tapi masalah yang “unyil” alias kecil dan mungil.
Bila kita perhatikan angka percaraian pada skala nasional maka kita cukup merasa prihatin. Betapa tidak, dalam kurun tahun 2016, angka perceraian di Indonesia tercatat 212.400 pasangan bercerai di seluruh Indonesia. Ironisnya, mayoritas pihak perempuan yang menginginkan perceraian tersebut.
Sebagaimana dikutip dari website Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA), hingga Oktober 2016 tercatat 315 ribu permohonan cerai diterima Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.
Perceraian paling banyak dikehendaki pihak istri dengan angka 224.239 permohonan gugat cerai, dan sisanya diajukan pihak suami dengan jalur cerai talak. Dari jumlah itu, 212.400 pasangan telah resmi diceraikan. Adapun sisanya masih diproses, ditolak, gugur atau tidak diterima.
Khusus untuk Oktober 2016, sebanyak 10.801 pasangan resmi bercerai. Dari jumlah itu, 7.819 perceraian dimintakan istri sedang sisanya dimintakan pihak lelaki. Bagaimana dengan Jakarta? Sepanjang 2016 telah lahir 5.490 janda baru dengan rincian 3.980 perceraian diinginkan pihak istri. [1]
Bila kita cermati data yang ada di Badan Pengadilan Agama, ternyata tiga provinsi ini menjadi penyumbang kasus perceraian terbanyak di Indonesia, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Pengadilan Tinggi Agama Semarang, menempati posisi pertama yang telah mengabulkan lebih dari 525 ribu kasus perceraian. Posisi kedua ditempati Pengadilan Tinggi Surabaya yang telah menangani 509 ribu kasus perceraian. Sedangkan posisi ketiga Pengadilan Tinggi Bandung yang mengabulkan sekitar 437 ribu perceraian.[2]
Dari tingginya angka perceraian tersebut, tentu kita bertanya-tanya,apa sebab utama terjadinya perpisahan atau perceraian? Menurut hemat kami, sebab utama terjadinya perceraian adalah karena salah satu atau kedua pasangan tidak memahami cara/sikap hidup dan cara memilih, sehingga mereka alih-alih mendapatkan manfaat dari pernikahan tapi justru memperoleh “tamparan” dan ketidaknyamanan yang berakhir pada kemarahan (kekeruhan suasana) dan ujung-ujungnya terjadi perceraian serta perpisahan yang menyakitkan. Karena itu, pasangan yang hendak menikah harus memahami dulu sikap hidup yang baik itu seperti apa; cara bergaul yang baik itu seperti apa; cara bicara dan mengambil keputusan yang baik itu seperti apa. Menurut sebuah penelitian, ¾ waktu manusia dihabiskan untuk pergaulan sosial. Ironisnya,mayoritas kita tidak tahu cara bergaul yang baik.
Data dari WeAreSocial, pada Januari 2015, menunjukan bahwa 72 juta orang di Indonesia sudah memiliki akun aktif di sosial media. Sebanyak 62 juta di antaranya mengakses melalui ponsel. Dan, kira-kira berapa waktu yang kita habiskan untuk melihat Facebook, Twitter, dan jejaring sosial lain? Rata-rata hampir tiga jam sehari! Lebih tinggi dari statistik pengguna di India, China, Jepang, dan Singapura.Sayangnya,tingginya aktifitas pergaulan sosial tersebut tidak diikuti dengan etika pergaulan sosial, sehingga tidak jarang pergaulan di sosial media justru berakibat pada kekecewaan dan kerugian.
Di samping memahami sikap hidup yang baik, salah satu cara untuk mengurangi dan menihilkan perceraian adalah “pintar memilih jodoh”. Biasanya perceraian itu terjadi karena salah satu pasangan merasa bahwa mitra hidupnya tidak sesuai dengan harapannya; tidak “nyambung”; tidak “klop”; kurang “top markotop”. Alhasil, kurang “asem”. Dan akhirnya,”kurang ajar”.
Dan penyebab lain terjadinya perceraian adalah karena kegagalan memahami perbedaan antara pria dan wanita. Pria dan wanita berbeda dari sisi perasaan (emosi), cinta, keinginan (obsesi), reaksi dan pelbagai kebutuhan. Dan sebagian besar percekcokan itu terjadi karena masing-masing tidak memahami pelbagai perbedaan ini. Sebagai contoh, pria biasanya berpikir universal, sedangkan wanita cenderung berpikir parsial. Sesuai laporan, Daily Mail, 3 Desember 2013, hasil penelitian berhasil menemukan otak wanita terprogram untuk melakukan multitasking atau banyak pekerjaan. Sementara, otak pria lebih baik menjalankan tugas tunggal, seperti membaca peta. Pria mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam mencerna informasi dan menggunakannya untuk melaksanakan tugasnya. Selain itu, pria juga memiliki aktivitas yang intens pada bagian-bagian otak tertentu, terutama pada bagian cerebellum, yang mampu mengontrol kemampuan motoriknya. Jadi, pria lebih baik dalam melakukan aktivitas seperti berlari, berenang, dan parkir mobil.
Sedangkan wanita mempunyai hubungan yang lebih baik pada bagian sisi kiri dan kanan otak. Dengan kata lain, wanita lebih baik dalam mengingat wajah dan mengerjakan banyak tugas.[3]
Dan faktor perceraian yang lain adalah gaya hidup yang glamor alias gemerlap dan mewah serta “wah”. Nabi saw mengajarkan untuk kita bersikap kanaah dan kanaah adalah pangkal kekayaan. Kadang-kadang suami “ditendang” hanya gara-gara kantongnya kurang kencang alias mengidap penyakit “kanker” (kantong kering). Terkadang istri pertama disakiti, diabaikan dan kurang dapat perhatikan karena kehadiran WIL (wanita idaman lain) yang dianggap lebih “cantik” dan lebih “ok” serta lebih “berduit”.
Berkaca pada pernikahan Sayidina Ali–karramallah wajhah–dan Siti Fatimah, kehidupan rumah tangga keduanya dimulai dengan kesederhanaan. Yang demikian itu karena pola pikir keduanya dibangun pada sebuah fakta bahwa kehidupan dunia adalah kesempatan dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Oleh karena itu, Siti Fatimah mendermakan gaun pengantinnya di malam pernikahannya pada seorang fakir dan membebaskan budak dengan uang yang dikumpulkan dari perayaan pernikahan. Dengan cara demikian, mereka telah mendatangkan keberkahan pada rumah tangga mereka. Dan sebagai seorang istri yang salehah, Siti Fatimah tidak pernah meminta apapun yang di luar kemampuan Sayidina Ali.
Syekh Muh. Ghazali
Pemerhati Sosial-Keagamaan
[1] https://news.detik.com/berita/d-3347534/hingga-oktober-tahun-ini-ada-212-ribu-janda-baru-di-indonesia
[2] http://lifestyle.liputan6.com/read/2654865/3-provinsi-ini-sumbang-angka-perceraian-tertinggi-di-indonesia
[3] http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/463567-ilmuwan-ungkap-perbedaan-cara-kerja-otak-pria-dan-wanita