Membedah dan Mendedah Keabsahan Kesaksian Mistik Dalam Pandangan Alquran dan Sunnah (2)
Hamba-hamba yang mukhlas dalam ibadah mereka tidak berpaling pada konsepsi atau sebagaimana konsepsi. Tetapi bertawajuh kepada Tuhan itu sendiri. Tak ada hijab antara mereka dan Allah. Jika tidak demikian, tentulah tidak benar pensifatan mereka tentang Allah. Karena hijab, tiada lain adalah makhluk itu sendiri. Sebagaimana sabda Imam Shadiq as: “Tiada hijab antara Allah dan makhluk-Nya, kecuali makhluk-Nya (yang merupakan hijab).”
Jadi mereka tidak melihat makhluk, dan satu-satunya yang mereka maksud (tujuan mereka) hanyalah Allah.
Dalam sebuah hadis dinukil dari Imam Baqir as: “Seorang hamba takkan menyembah Allah dengan sebenar-benar ibadah, sebelum ia terputus dari seluruh makhluk kepada-Nya.”
فحينئذ يقول: هذا خالص لى فيقبله بكرمه» .
Mengenai tafsir ayat di atas, Allamah Thabathaba`i mengatakan: “Kesucian Allah dari pensifatan manusia dikarenakan manusia biasa (yang non mulkhlas) mensifati Allah dengan konsepsi-konsepsi terbatas yang dia miliki. Sementara Allah tidaklah terbatas, dan tak satupun yang terbatas dari sifat-sifat Allah. Tak ada kata yang mampu memuat ukuran segenap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Jadi apapun yang disifati oleh manusia tentang Tuhan, Dia di atas dan lebih agung dari sifat itu. Allah di luar semua dibayangkan manusia tentang-Nya.
Namun apa yang disifati oleh kaum mukhlashin tentang Allah adalah benar. Dalilnya, bahwa Allah swt memiliki hamba-hamba yang telah Dia sucikan bagi-Nya. Yakni, selain Allah tak seorangpun yang mempuyai peranan dalam kedudukan mereka ini. Allah mengenalkan diri-Nya kepada mereka, dan menjadikan mereka lalai dari selain-Nya. Kesimpulannya, mereka hanya mengenal Allah dan melupakan selain-Nya. Jika mereka mengetahui sesuatu selain Allah, mereka mengetahuinya dengan perantara-Nya. Kaum demikian ini, mensifati Allah dengan sifat-sifat yang layak bagi kebesaran-Nya. Kendati pensifatan mereka itu secara lisan –dan kata-kata beserta makna-maknanya adalah terbatas, manusia tak mampu menerapkan pensifatan mereka itu dan lemah dalam memaknakannya. Lisan manusia lemah mengungkapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah lewat kata-kata. Rasulullah pemuka kaum mukhlashin saw, bersabda: “Tuhanku, aku tak mampu mensifati dan memuji Engkau. Engkau adalah sebagaimana yang Engkau puji diri-Mu.”
Beliau mengungkapkan pujian bagi Allah dan menyempurnakan ketidak sempurnaan pujiannya itu dengan apa yang dikehendaki Allah dalam memuji diri-Nya.
2-قل انما انا بشر مثلكم يوحى الى انما الهكم اله واحد فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا و لايشرك بعبادة ربه احدا» .
Banyak ayat yang mengungkapkan liqa` (perjumpaan) dengan Allah. Kata “liqâ`” disebutkan dalam Alquran dengan berbagai macam seperti
«لقاءالله» ، «لقاء ربهم» ، «لقاء ربكم» ، «لقاء ربه» ، «لقاءنا» ، «لقائه»
Apa yang dimaksud dengan liqa` (perjumpaan) dengan Allah? Para mufassir berbeda pendapat. Sebagian mengatakan: “Maksudnya ialah kebangkitan pada hari kiamat”, sebagian lain mengatakan: “Maksudnya adalah sampai pada akhir kehidupan dan pertemuan dengan malaikat maut serta perhitungan dan balasan.” Ada yang mengatakan: “Maksudnya ialah pertemuan dengan balasan Allah, yakni pahala atau siksaan-Nya.” Yang lain mengatakan: “Maknanya, ialah pertemuaan dengan hukum Allah pada hari kiamat.”
Semua penafsiran tersebut tak sesuai dengan zhahir ayat (makna yang tampak pada ayat) dan maknanya ditakdirkan (disesuaikan). Ini dikarenakan bahwa dalam pandangan mereka tidak mengetahui makna hakiki bagi liqa` Allah. Karena Allah adalah maujud immaterial, dan maujud immaterial tidak terjangkau oleh penglihatan. Dia sama sekali tak dapat dilihat dan dijumpai.
Perjumpaan dengan Allah swt tidak dalam jangkauan penglihatan. Ada macam penyaksian dengan penglihatan hati, bukan mata kasat. Penyaksian itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ali as, “Aku tidak menyembah tuhan yang tak kulihat.”
Makna liqa` adalah perjumpaan, dan maksud liqa` Allah berdasarkan makna lahir bagi lafaz adalah sampainya hamba di posisi yang tanpa hijab antara dia dan Allah.
Mengenai hal itu Almarhum Mirza Jawad Maliki Tabrizi mengatakan: “Ayat-ayat liqa` Allah menunjukkan bahwa sebagian hamba Allah yang suci mencapai perjumpaan dengan Allah dan mendapatkan kemuliaan berjumpa dengan Zat Yang Maha suci. Sebagian teolog dan ulama besar memiliki madzâq (penyucian murni mensucikan Allah, puncak makrifat ini penyucian murni….
طايفهاى از متكلمين و علماى اعلام كه مذاق اول (تنزيه صرف خداوند، و اينكه نهايت معرفت، فهميدن آن است كه بايد خدا را تنزيه صرف نمود) . را دارند
Jawaban mereka tentang ayat-ayat liqa`, bahwa yang dimaksud liqa Allah ialah menemui kematian dan pahala Allah. Tetapi jawaban ini ditolak oleh kelompok kedua {ialah mereka yang berpandangan bahwa mengenal Allah adalah mungkin (tidak mustahil)}, bahwa sekiranya yang dimaksud liqa` Allah adalah menemui kematian dan sampai pada pahala Allah, berarti penggunaan lafaz pada makna tidak hakiki. Tetapi pada makna lain yang bukan makna hakikinya, yaitu makna majazi. Adalah jelas perjumpaan dengan Allah bukan menemui kematian dan pahala bagi amal perbuatan. Bahkan penggunaan semacam ini merupakan penggunaan lafaz pada makna majazi yang jauh. Jika dasarnya bukan makna hakiki yang dimaksud, tetapi makna majazi, aturannya mendahulukan makna majazi yang dekat, bukan makna majazi yang jauh. Dalam hal ini makna majazi yang dekat ialah satu level di antara pertemuan antara makhluk dan Sang Khalik, yang tidak dikatakan oleh uruf merupakan perjumpaan hakiki.