Thubūt
Istilah thubūt terkait nafs al-amr dalam pandangan ‘Allāmah Ṭabāṭabāī akan sering digunakan. Terkadang, thubūt diartikan sebagai salah satu dari pengertian dan penafsiran nafs al-amr. Namun, terkadang juga istilah thubūt dipakai dalam konteks penyifatan dari nafs al-amr, seperti dalam istilah al- thubūt al-nafs al-amriy.
Sebenarnya, dalam kamus-kamus bahasa arab, kata thubūt diderivasikan dari kata thabata yang berarti sesuatu yang tetap, kokoh, permanen dan teguhnya sesuatu. Dari bentuk dasar tersebut, kata thabata dapat ditarik dalam bentuk intransitif menjadi athbata dan thabbata yang berarti menetapkan, membuktikan, atau meneguhkan. Istilah ‘menetapkan’ dapat berupa suatu keputusan, tindakan, dan juga perkataan, seperti dalam al-Quran dikatakan “Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan yuthbit (menetapkan).” Dari uraian ini, maka istilah thubūt mengandung pengertian sesuatu yang tetap, kokoh, dan permanen.
Dalam diskursus teologi, istilah thubūt digunakan oleh kelompok Mu’tazilah untuk menjelaskan tentang penciptaan tuhan. Jadi, sebelum mahluk diciptakan, mahluk berada dalam situasi ketiadaan. Namun, ketiadaan tersebut tidak membuatnya mustahil untuk mewujud menjadi nyata. Keadaan sebelum ada atau antara ada dan tidak ada ini lalu mereka sebut sebagai thubūt.
Perdebatan tersebut dibawa dalam diskusi filsafat dalam tema keidentikan sesuatu dengan ada (al-syaiiyah tusawiq al-wujud). Selain itu, istilah tersebut juga dalam filsafat dipakai dalam kaidah derivasi (kaidah far’iyyah) yaitu “thubūt syay’ li syay’ far’ li thubūt al-mutsbat lahu”. Jadi, kaidah tersebut menjelaskan bahwa untuk menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain, sesuatu yang lain tersebut harus ada atau mewujud terlebih dahulu. Kaidah ini kemudian dibahas dan dijadikan kritikan bagi yang memegang teguh aliran kefundamentalan eksistensi. Dalam proposisi, ‘kayu itu ada’, berdasarkan kaidah tersebut, maka kayu tersebut harus diasumsikan ada terlebih dahulu. Jika subjek kayu diasumsikan ada terlebih dahulu, maka harus disandarkan pada ‘ada yang lain’ dan begitu seterusnya sampai tak berhingga. Argumen ini juga dipakai oleh Suhrawardi untuk mengkritik fundamentalitas eksistensi berdasarkan pengandaian keberadaan sesuatu dan ketakberhinggaan (infinite regress).
Mulla Sadra kemudian menjawab kritikan tersebut sekaligus menghilangkan ketakberhinggaan dengan berpandangan bahwa Ada itu sama dengan kenyataan (thubūt). Jadi, jika ada sebagai kenyataan, maka tidak perlu menyandarkan pada bentuk ada yang lain atau membuat derivasi pada ada yang lain. Dalam hal ini, ‘Allāmah Ṭabāṭabāī menjelaskan terkait dengan argumentasi ketidakberhinggaan bahwa eksistensi itu ada dengan sendirinya, bukan karena yang lain, maka dari itu hal ini tidak membahwa pada ketidakberhinggaan.
Seperti yang telah disebutkan, dalam pembahasan nafs al-amr, istilah thubūt digunakan oleh ‘Allāmah Ṭabāṭabāī sebagai makna dari nafs al-amr. Dengan kata lain, istilah thubūt merupakan salah satu bentuk penafsiran dari nafs al-amr yang digagas oleh ‘Allāmah . Dalam konteks ini, thubūt adalah domain faktualitas dan tempat bagi korespondenya proposisi. Proposisi-proposisi yang benar adalah yang berkorespon dengan nafs al-amr yang berarti thubūt. Maka, thubūt, dalam hal ini, itu sama dengan kenyataan atau eksistensi. Dalam Mu’jam Falsafiy, Jamil Salbiya menyebutkan bahwa thubūti itu bersinonim dengan wujudi atau yang menunjuk pada eksistensi eksternal.[6] Hal ini mengimplikasikan secara jelas bahwa thubūt itu bermakna wujud.
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal mengenai makna thubūt sebagai berikut:
- Istilah thubūt secara teknis memuat dimensi ontologis yang kuat yang berkaitan erat dengan realitas atau sesuatu yang riil. Walaupun begitu, istilah thubūt juga mengandung unsur epistemologis dengan perubahan bentuknya menjadi ithbat atau demonstrasi.
- Thubūt itu identik dengan eksistensi. Kedua-duanya berkontradiksi dengan ketiadaan.
- Karena identik dengan Ada, nyata dan kenyataan adalah konsep aksiomatis (badihi), sudah jelas dengan sendirinya dan tidak perlu definisi maupun deskripsi.
Makna aksiomatis thubūt ini juga digunakan dalam banyak konstruksi terminologis lain dalam filsafat Islam seperti: maqam al-tsubut: konteks kenyataan atau ontologis sebagai bandingan dari maqam al-itsbat: konteks pembuktian atau epistemologis. Istilah lainnya adalah al-wasithah fi al- thubūt: perantara dalam subsistensi atau ontologis sebagai bandingan dari al-wasithah fi al-‘urudh: perantara dalam predikasi. Semua thubūt dalam kontruksi-konstruksi terminologis ini bermakna identik dengan eksistensi. Oleh karena itu, sebagaimana pada kesimpulan kedua di atas, tidak tepat bila thubūt dipadankan dengan demonstration yang, tampaknya, justru lebih berbanding sama dengan ithbāt ‘pembuktian’ atau ‘penetapan’ dan bernuansa epistemologis.
*Untuk kelengkapan referensi makalah, silakan hubungi redaksi.