Adab Keluarga Fatimah Zahra Sebagai Parameter (Bag. 3)
Dalam hubungan rumah tangga acap kali kita mendengar keributan suami istri yang terdengar dari jendela rumah tetangga. Berbagai masalah yang diungkapkan, tidak hanya hilangnya rasa percaya, perselingkuhan, dan ekonomi saja. Namun, sering kali hal sepele dapat memicu percekcokan dalam keluarga. Rasa kecewa terhadap suami atau pun istri banyak dibangun dengan kejadian kecil yang dibesar-besarkan. Keharmonisan dalam keluarga akan berkurang ketika satu sama lain tidak dapat meredam situasi tersebut.
Dari beberapa berita yang dilansir oleh media massa pada akhir tahun 2016 tingkat perceraian di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia [1]. Kenaikan angka perceraian mencapai 16-20 persen berdasarkan data yang didapat sejak tahun 2009 hingga 2016. Ironisnya lagi, pada tahun 2015 tingkat perceraian di tanah air melambung hingga 40 perceraian setiap jam!
Menurut data Pustlitbang Kementerian Agama, penggugat cerai lebih banyak dari pihak perempuan, yaitu sebanyak 70 persen dari kasus perceraian yang ada. Lalu, apa alasan utama pasangan Indonesia bercerai? Menurut data Litbang 2016, setidaknya ada empat alasan utama pasangan di Indonesia bercerai, antara lain hubungan sudah tidak harmonis, tidak ada tanggung jawab, khususnya terhadap anak, kehadiran pihak ketiga dan persoalan ekonomi. Dari data sebanyak itu menandakan, para istri di Indonesia berani mengambil sikap jika tak bisa lagi menemukan titik temu untuk memperbaiki rumah tangga[2].
Merawat Suami dengan Kasih Sayang
Bagi perempuan keberhasilan dan penghargaan terbesar dengan urusan berbagai macam hal dalam kehidupan adalah mendapatkan kebahagiaan suami dan mencegah dari berbagai macam perbuatan penyebab suaminya gelisah.
Imam Ali as berkata; jihad seorang istri adalah merawat suaminya dengan penuh kasih sayang. Bagi seorang istri salihah untuk mendapatkan kapasitas jihad ini perlu ditempuh dengan usaha yang gigih sehingga dapat menjamin rumah sebagai tempat yang nyaman bagi suami dan anak-anaknya.
Sayyidah Fatimah Zahra sa dalam merawat suami adalah paling baiknya contoh bagi perempuan muslimat. Baginya, sikap cinta dan damainya dijunjung pada tingkatan tertinggi untuk melayani suaminya, seluruh kasih dan cintanya untuk sang suami. Bukan hanya karena tidak pernah menyakiti suaminya melainkan malah membantunya dengan penuh kasih sayang.
Imam Ali as pernah mengatakan; saya bersumpah kepada Allah SWT hingga sampai pada akhir hayatnya, saya tidak pernah membuatnya sedih dan tidak pernah melakukan satupun perbuatan yang menyebabkan istriku kecewa. Ia pun tidak pernah membuat saya sedih dan tidak ada satupun perbuatannya yang menyebabkan saya kecewa [3].
Imam Ali as menambahkan; setiap saya melihat wajah Fatimah Zahra sa saat itu pula kesedihan dan kekecewaanku lenyap [4].
Setelah kejadian pahit Saqifah, Para petinggi Saqifah datang untuk meminta saran mengenai opini publik untuk mencari solusi datang ke tempat tinggal Imam Ali as dengan membujuk untuk masuk ke dalam rumahnya. Namun, Fatimah menolak saran mereka sehingga terjadi kerusuhan, membuatnya bungkam dan kekecewaan yang berkelanjutan atas kejadian tersebut.
Pada suatu hari Imam Ali as berada di dalam rumah dan berkata; Fatimah sayang, Khalifah Abu Bakar dan Umar berada dibelakang pintu rumah dan menunggu ijin masuk dan untuk meminta pendapat.
Fatimah Zahra sa menjawab; Ali sayang, rumah ini rumah kamu dan aku sebagai istri kamu, kalau kamu menginginkan mereka masuk kamu lah yang harus memberikan ijin [5].
Bentuk apresiasi dan penghormatan diletakkan diatas yang paling tinggi kepada suaminya dengan tidak melepaskan jati dirinya di hadapan orang lain sebagai perempuan dan seorang istri yang setia. Apapun tindakan semua dikembalikan kepada tanggug jawab masing-masing sebagaimana telah ditentukan dalam rumah tangganya. Hal seperti ini jarang kita temukan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat kekinian.
Saling Pengertian Hidup Bersama
Sejak pertama kali suatu hubungan yang dibina oleh keluarga terkadang diawali dengan ketidakpahaman satu sama lain. Biasanya ini terjadi karena diantara mereka tidak ada koneksi sebelumnya, berhubung dijodohkan tanpa mengetahui jati diri kedua pasangan. Tanpa basa basi orangtua meminta anak perempuannya menikah dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Tidak dinafikan, pada zaman dulu cara seperti ini masih layak dalam membangun pernikahan rumah tangga. Karena keduanya masih lugu dan tidak mempunyai ekspektasi tinggi dalam menjalin suatu hubungan, dengan alasan ingin memberikan orangtua yang terbaik, dan pihak perempuan lebih banyak memilih untuk menelannya mentah-mentah. Namun, berbeda dengan kondisi saat ini yang perlu adanya pemahaman terlebih dahulu sebelum menjalin hubungan untuk mengenal karakter calon pasangan supaya saling pengertian ketika menghadapi masalah.
Imam Ali as berkata; aku bersumpah kepada Allah SWT selama saya hidup bersama dengan Fatimah hingga sampai Allah mengambilnya dariku, aku tidak pernah membuatnya kecewa dan tidak pernah memaksa atau membuatnya enggan untuk melakukan satupun pekerjaan. Begitu pula dengannya, Fatimah tidak pernah membuatku kecewa dan tidak pernah mematuhiku. Rasa letih dan sedihku lenyap seketika disaat aku melihat wajahnya [6].
Oleh: H. A. Shahab
Sumber:
[1] http://www.kompasiana.com/pakcah/di-indonesia-40-perceraian-setiap-jam_54f357c07455137a2b6c7115
[2] https://www.merdeka.com/khas/indonesia-darurat-perceraian-tren-perceraian-meningkat-1.html
[3] Husainy Sharevady, Sayid Muhammad, ulghuha-i raftar-i Hazrat Zahra sa, Tarbiate Farzand, hal. 14
[4] Husainy, Sayid Ali, karamat-va maqomat irfani Hazrat-e Zahra as, hal 44
[5] Dashti, Muhammad, farhanghe sukhanan Hazrat-e Fatimah sa, hal 13
[6] Bihar, jilid 43, hal 134, kashful ghamah, jilid 1, hal 492, baitul ahzan, hal 37