Ahed At-Tamimi, Sebuah Janji Untuk Berjuang
Annisa Eka Nurfitria,LC_____Apa yang terlintas dalam benak kalian ketika mendengar kata perang ? Tentu hal pertama yang muncul di benak adalah kengerian, brutal, sadis dan darah. Namun pernahkah kalian berpikir apa yang sebenarnya anak-anak di zona perang rasakan ? Sebagai orang dewasa, kita saja tak mampu membayangkannya. Bagaimana dengan mereka yang kesehariannya mau tidak mau harus menyaksikannya.
Saya sendiri pernah pergi ke Irak, tepatnya ke kota Sammara, salah satu kota konflik di tahun 2015. Masa-masa itu cukup mencekam, tentara ada dimana-mana memegang senapan laras panjang, peziarah pun masih sedikit. Mungkin hanya orang nekat saja yang berani ke sana. Kota itu porak-poranda, beberapa hari sebelumnya bahkan sempat terjadi bom bunuh diri. Kota itu juga nampak seperti kota tak berpenghuni, terlihat lubang-lubang bekas peluru di tembok terpampang jelas. Bagi saya yang dewasa, situasi itu terasa benar-benar sangat mencekam, tak lebih dari 30 menit saya pun segera keluar dari kota itu menuju Baghdad. Yang terlintas saat itu adalah anak-anak, anak-anak daerah konflik. Trauma kah mereka, ketakutan kah ?
Dalam dunia orang dewasa yang penuh ambisi dan egoisme, anak-anak terpaksa ikut terseret dalam pusara konflik mereka. Jika damai diartikan menyerah maka peperangan adalah solusinya, sedang anak-anak adalah korbannya. Mereka adalah korban pertama yang paling menderita dari peperangan yang bahkan belum sempat mereka mengerti apa sebabnya. Sedang orang dewasa semakin membabi buta menembaki tak peduli, dan sebagian lagi terus membual perihal perdamaian yang tak juga sampai pada titik temu. Peperangan yang kita kutuk dimana darah menjadi halal, anak-anak pun harus ikut menanggung penderitaan atas nama ambisi orang-orang dewasa. Tak jarang mereka harus ikut meregang nyawa, terluka bahkan hak-haknya untuk tumbuh berkembang pun tercerabut. Tak hanya itu, setiap harinya mereka pun harus bersiap mental menghadapi kehilangan orang-orang terkasihnya.
Apa yang sesungguhnya mereka takutkan dari anak-anak kecil yang tak menenteng senjata, tak mengantongi bom dan tak melempar rudal ? Dalam beberapa kasus di zona konflik seperti di Palestina, tak jarang tentara Israel dengan tak manusiawinya menyeret anak-anak kecil dari ibu dan ayah mereka, melukai bahkan membunuh. Jadi sebenarnya apa yang mereka takutkan dari anak-anak yang lemah ini ? Bagi anak-anak yang selamat dari amukan perang, hidup justru akan semakin berat. Sebagian mereka tak jarang harus hidup sebatang kara, berhenti bersekolah dan mengemis di jalanan demi bertahan hidup.
4 Juni adalah hari yang dicetuskan PBB sebagai International Day Of Innocent Children Victims of Agression. Hal ini dicanangkan sebagai bentuk pengakuan dunia Internasional terhadap luka fisik, mental dan emosional anak-anak korban agresi. Pengakuan terhadap luka yang diderita anak-anak korban agresi tanpa adanya tindak serius untuk mencegah perang berkecamuk hanyalah tindakan yang tak akan mengubah apapun. Anak-anak di zona konflik hingga hari ini tetap hidup dalam bayang-bayang ketakutan, trauma berkepanjangan, PTSD, meregang nyawa, menjadi gelandangan, kelaparan dan sakit. Bahkan sebagian lainnya malah harus menanggung beban menjadi tentara anak yang dipekerjakan oleh orang-orang dewasa. Inikah dunia yang ingin kita suguhkan pada mereka ? Sedang tiap pagi harinya, ketika membuka mata mereka berharap semua kepedihan ini segera berakhir. Dan tugas kita adalah menyediakan dunia sebagai rumah satu-satunya yang aman di mana mereka bisa bebas dan tenang bermain serta belajar tanpa ada ancaman apapun. Pertanyaannya, mampukah kita ? berbicara tentang anak-anak, maka perlu kiranya kita berkenalnan dengan sosok anak Palestina pemberani bernama Ahed Attamimi.
Darah dan luka, itulah kira-kira yang setiap saat didengungkan media ketika berbicara Palestina. Sebuah tanah nun jauh di sana yang menyimpan berkah sekaligus nestapa. Palestina, suara dentuman bom dan tentu saja peluru. Negeri damai tempat pepohonan zaitun tumbuh ranum kini hanya tinggal puing-puing. Tembok-tembok berlubang peluru adalah saksi betapa dahsyatnya ambisi putra-putra Adam.
Seakan tak ada solusi, dunia menutup mata. Tak peduli, di belahan dunia lain ada anak-anak yang tak pernah bisa bermain. Namun “ Saat segalanya menjadi gelap, semoga cahaya masih bisa ditemukan”, adalah salah satu ungkapan tokoh fiktif Albus Dumbledore di serial Harry Potter kiranya bisa menjadi ungkapan yang mewakili saya ketika melihat betapa heroiknya perlawanan Ahed Attamimi. Bocah kelahiran 31 Januari 2001 ini memukau dunia, di tahun 2014 namanya viral karena keberaniannya mengacungkan kepalan tinju ke wajah tentara Israel yang menyelinap ke belakang rumahnya dan menembakkan peluru karet ke wajah abang sepupunya hingga koma 72 jam. Video itu akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia, membuat bulu kuduk siapapun yang melihatnya berdiri, Ahed berhasil menjadi ikon resistensia yang menebarkan virus-virus heroisme ke sel-sel darah peradaban yang sempat membeku.
Ahed adalah jantung yang mengalirkan darah segar kepada “mayat-mayat” dunia internasional yang hampir membusuk. Ahed Attamimi bocah berambut pirang dari desa Nabi Saleh di Tepi Barat tak hanya sekali dua kali berhadap-hadapan dengan tentara Israel, selain mengacungkan tinju perlawanan, Ahed bahkan pernah menggigit tangan tentara Israel, berdemonstrasi dan lain sebagainya. Hal itu ia lakukan tanpa ragu demi melindungi keluarga dan tanah airnya Palestina. Ahed tak gentar di hadapan popor senapan, dengan mata yang memincing ia tatap wajah-wajah tentara bengis yang menumpahkan darah saudara-saudara Palestinanya. Mudanya usia tak membuat Ahed mundur sejengkal pun dalam mempertahankan harga diri bangsanya. Baginya mati melawan lebih terhormat ketimbang seumur hidup harus diinjak-injak.
Meski namanya melegenda hingga diundang para tokoh dunia, hidup Ahed tetap tak aman-aman saja. Di usianya yang ke tujuh belas ia bersama ibunya pernah diadili pemerintah Israel dengan tuduhan menyerang tentara. Ibunya bahkan dituduh dengan tuduhan menyebarkan hasutan di media sosial. Bocah yang beranjak remaja itu pun akhirnya mendekam di balik jeruji besi Israel selama delapan bulan, meski pada mulanya Ahed didakwa dengan hukuman yang lebih berat dari itu. Meski Ahed bukanlah Malala yang dihujani nobel, dan aktivis HAM Internasional cenderung diam menanggapi perlawanan heroiknya, tapi nama Ahed tetap abadi dalam sanubari orang-orang yang menentang penindasan. Pasca bebasnya Ahed dari penjara, ia tetap tak jera, katanya perlawanan harus terus dilanjutkan dari rumahnya. Lantai penjara yang dingin justru makin menguatkan tekad Ahed, jeruji besi mendidiknya semakin tangguh. Penindasan bertahun-tahun yang dialami bangsanya, membuat Ahed semakin terketuk hatinya untuk selalu bergerak melawan kesewenang-wenangan. Mimpinya pun luar biasa, ingin menjadi pengacara yang membela saudara sebangsanya. Ahed adalah janji, janji berjuang hingga titik darah penghabisan.
Terimakasih Ahed, engkau adalah guru bagi kami yang masih bungkam meski diinjak kesewenang-wenangan.
“ We should extend our struggles to one another in order to end all of the world’s injustices” (Ahed Attamimi)