Akar Historis Hijabofobia (2)
Annisa Eka Nurfitria-Istilah “hijabofobia” pertama kali digunakan pada tahun 1994 oleh Montreal Gazette untuk memotret fenomena politik hijab di Prancis dalam editorialnya yang berjudul “Hijabophobia in Quebec”. Manal Hamzeh (2011: 484) mendefinisikan hijabofobia sebagai wacana gender yang tersembunyi di dalam Islamofobia sekaligus wacana seksis nan rasis yang terlibat dalam esensialisasi konstruksi perempuan muslim terutama mereka yang terlihat mengenakan hijab. Mengutip Zine (2006), Hamzeh (2011) menekankan bahwa akar dari Islamofobia yang digenderisasi secara historis tumbuh dari representasi orientalis yang menempatkan perempuan muslim sebagai individu terbelakang dan tertindas dalam masyarakat muslim yang misoginis.
Sebetulnya praktik kebencian terhadap hijab telah bermula sejak era sebelum kolonialisme berlangsung. Dunia Islam di abad pertengahan yang dilihat sebagai asing dan eksotik oleh para penjelajah, pemikir, dan seniman Eropa kerap ditampilkan secara kontradiktif antara gambar para perempuan yang menggoda dengan berpakaian terbuka di harem atau istana dengan para perempuan bercadar di tepi jalan. Keduanya meresahkan kekuatan kolonial yang hendak merombak tatanan sosial masyarakat jajahan sehingga mereka memperkenalkan berbagai perubahan sistemik dalam aspek pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Aparat representasi ini adalah ‘lensa’ yang melaluinya masyarakat kolonial melihat masyarakat terjajah sekaligus ‘cermin’ yang tidak hanya membentuk citra ‘pribumi’ tetapi juga bagaimana masyarakat kolonial menempatkan citra ini bertentangan dengan persepsi diri tertentu dari masyarakat kolonial serta melakukan normalisasi gender secara implisit dalam masyarakat tersebut (Al-Saji, 2010:883). Bersama dengan hegemoni ekonomi dan politik, aparat representasi menjadi alat pembentukan dan perluasan kekuasaan bangsa Eropa yang mensyaratkan dominasi teritorial dan kontrol seksual (Mustafa, 2020: 4).
Konstruksi muslim sebagai sesuatu yang asing dan liyan dimulai ketika bangsa Eropa mulai melakukan penjelajahan dunia pada abad ke-15 dengan tiga tujuan ‘suci’: gold, glory, gospel. Penjelajahan tersebut memproduksi sekumpulan literatur yang menggambarkan secara kontras budaya Timur dan Barat terutama soal dikotomi seksualitas perempuan Timur-Barat. Secara spesifik, karya “Seribu Satu Malam” menjadi sumber literatur pokok untuk merepresentasikan dunia Islam di abad pertengahan yang eksotik. Para penjelajah kemudian menguraikan catatan perjalanan mereka dan berusaha membentuk pemahaman definitif terhadap negara-negara koloni dan masyarakatnya (Ahmad, 2001: 47). Publikasi-publikasi ini kemudian dijadikan standar emulasi bagi laki-laki kulit putih untuk menentukan status perempuan kulit putih di abad ke-17 dan 18 (Ahmad, 2001) — yang dipersepsikan sebagai warga kelas dua yang diatur oleh dan untuk melayani selera laki-laki kulit putih.
Edward William Lane (dalam Ahmad, 2001) merupakan salah satu penulis yang secara spesifik menceritakan perjalanannya menjelajahi dunia muslim di Mesir pada abad ke-19. Mesir, bagi Lane, adalah dunia tempat para perempuan sama sekali tidak memiliki kebebasan. Dalam tulisannya, Lane menceritakan bagaimana para perempuan muslim Mesir begitu tertutup, tidak dapat dilihat—kecuali oleh suaminya—karena penampilannya yang rapat, bahkan hanya dapat berkomunikasi jika disertai kehadiran suaminya. Mereka dikurung di dalam rumah-rumah mereka agar tetap terjaga dan aman. Seolah-olah ‘kesucian’ para perempuan muslim Mesir begitu dijunjung hingga pada batas laki-laki dilarang masuk ke makam beberapa perempuan.
Namun, perempuan muslim Mesir juga digambarkan Lane secara kontras dalam potret kebejatan seksualitas serta pergaulan bebas yang tak dapat Barat bayangkan. Institusi poligami dan harem menjadi simbol bagaimana seksualitas para perempuan muslim yang barbar dikontrol oleh laki-laki muslim. Para laki-laki muslim mengatur dan tekun mempelajari sedemikian rupa cara meningkatkan libido para perempuan miliknya. Meski demikian, pada saat yang sama para laki-laki muslim tidak menggunakan cara ilegal di luar aturan agama dalam memanjakan perasaan mereka. Tentu saja gambaran seksualitas ini bertolak belakang dengan kehidupan Barat di abad pertengahan yang “menjunjung tinggi” monogami dan kesetiaan pada satu pasangan.
Di era tersebut, tulisan-tulisan tentang dunia Timur tersebut diterima begitu saja oleh publik Eropa tanpa proses verifikasi. Keterbatasan kemampuan perjalanan menghasilkan masyarakat Eropa yang kekurangan pengetahuan akan dunia Timur sehingga mereka tidak akan menantang dokumentasi perjalanan para penulis. Sikap tersebut juga disebabkan oleh lisensi sastra para penulis sehingga mereka ditahbis “otoritatif” meskipun mereka telah melebih-lebihkan cerita-cerita mereka (Ahmad, 2001: 47-48). Untuk itu, tidak heran jika mitos-mitos dunia Timur yang misterius dengan cerita-cerita intrik seksual dan kebejatan moral terus bertahan sebagai lensa bangsa Eropa melihat para perempuan Timur.
Pandangan terhadap dunia Timur yang tidak beradab kemudian menjadi justifikasi bagi bangsa Eropa untuk menduduki tanah mereka dan menaklukkan penduduknya. Pandangan orientalisme digunakan sebagai alat propaganda kaum kolonial untuk menyukseskan kebijakan-kebijakan mereka dan menghegemoni ide perihal peradaban dan modernitas yang disentralkan ke Barat. Secara spesifik, hijab menjadi tanda material dari perbedaan peradaban yang paling mencolok. Perempuan muslim kerap ditampilkan secara kontradiktif antara perempuan bercadar di tepi jalan dan perempuan dengan tubuh terbuka yang menggoda di harem. Potret-potret ini meresahkan kekuatan kolonial dan mendorong mereka untuk membuka hijab para perempuan muslim dengan tujuan ‘civilising the uncivilized’.
Upaya politisasi hijab dalam skema ‘unveiling’ pun terjadi di berbagai wilayah koloni dengan mayoritas muslim. Konsulat Jenderal Inggris di Mesir, Lord Cromer, secara intrinsik memiliki kontribusi besar terhadap ‘modernisasi’ di Mesir. Perundang-undangan yang ditujukan untuk penduduk pribumi ia rancang guna menyesuaikan Mesir dengan sistem ideologi kolonial (Ahmad, 2001: 78). Cromer berusaha menciptakan dunia dengan budaya paralel antara ‘host country’ dan ‘home country’ di Mesir. Ia menggunakan pandangan Victorian dalam melihat gender dan peran laki-laki dan perempuan di masyarakat untuk mengukur level peradaban masyarakat Mesir. Cromer membandingkan antara perempuan muslim di Mesir yang harus bercadar ketika tampil di publik dan perempuan Eropa yang terbuka untuk dilihat; masyarakat Timur yang poligami dan masyarakat Barat yang monogami.
Secara spesifik, Cromer memproyeksikan Islam yang harus bertanggung jawab atas struktur masyarakat Mesir yang terbelakang, penundukan perempuan, dan penurunan status mereka dalam masyarakat. Ajaran-ajaran Islam yang diambil sejak kecil oleh masyarakat Mesir dianggap menghasilkan pengasingan perempuan dan mengakibatkan dampak yang merusak peradaban. Hijab, bagi Cromer, adalah pakaian yang mengeksklusi perempuan Mesir dari masyarakat dan untuk itu perempuan Mesir harus melepas segala penutupnya agar bisa keluar dari dunia yang menundukkan mereka.
Cromer begitu vokal mencanangkan pentingnya Masyarakat Mesir agar berasimilasi dengan semangat peradaban Barat. Ia menolak menjadikan Al-Azhar sebagai standar pendidikan yang harus ditempuh oleh masyarakat Mesir. Ia pun membuka akses pendidikan bagi perempuan Mesir dan mendorong mereka untuk berpendidikan. Namun, di saat yang sama, Cromer juga membatasi pendidikan perempuan dengan tidak mengizinkan mereka terlibat di ruang profesional seperti kedokteran karena pekerjaan tersebut baginya wajib dikerjakan oleh laki-laki.
Apa yang dilakukan Cromer dan bangsa Eropa lain menginspirasi Qasim Amin, seorang intelektual muslim dan seorang hakim di Mesir, dengan mendukung para perempuan Mesir untuk melepas hijab mereka atas nama emansipasi perempuan. Ketaatan pada kebiasaan berhijab dinilai Amin sebagai praktik subordinasi perempuan dalam bingkai agama. Para perempuan Mesir bahkan dituding Amin sebagai individu inferior yang tak melakukan pekerjaan progresif apapun di dalam rumah maupun di luar rumah mereka, berbanding terbalik dengan perempuan bangsa Eropa yang terdidik dan memiliki banyak peran publik (Ahmad, 2001). Namun, meskipun Qasim Amin dan banyak tokoh lain seperti kelompok Egyptian Feminist Union (EFU) begitu mendukung modernisasi di Mesir, mereka tetap saja dianggap tidak sejajar dengan bangsa Eropa dan hanya disebut sebagai “an europeanised Egyptian” (Ahmad, 2001).
Tokoh dan gagasan feminis di era kolonial seperti Qasim Amin dan EFU ini, kata Leila Ahmad (1992), justru “berfungsi secara moral membenarkan serangan terhadap masyarakat pribumi dan mendukung gagasan superioritas Eropa.” Para elit di negara jajahan akhirnya menginternalisasi apa yang orientalis katakan tentang mereka: terbelakang, merendahkan perempuan, dan harus mengikuti resep Barat untuk memperbaikinya (Bullock, 2002:4). Hijab di era kolonial menjadi simbol kuat kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Oleh karenanya, upaya ‘unveiling’ menjadi usaha para elit politik dan kelompok kelas atas untuk ‘mengejar’ peradaban modern bangsa Barat (Bullock, 2002: 4).