Akhir dari Israel
Annisa Eka Nurfitria, M.Sos- Mungkin karena iklim yang memanas, mungkin juga karena sejarahnya yang kompleks, pembicaraan tentang Israel seringkali berlebihan. Bagi pendukung setia, Israel dianggap sebagai penerang bagi bangsa-bangsa, sedangkan bagi penentang paling gigih, negara itu adalah negara apartheid dan pusat kejahatan global. Oleh karena itu, wajar jika kita tidak mengabaikan sepenuhnya peringatan saat ini tentang “ancaman eksistensial” terhadap negara tersebut.
- Awal dari kehancuran; demontrasi besar-besaran di Israel
Pada Minggu (31/3/2024), terjadi demonstrasi massal di Yerusalem, Israel, yang melibatkan sekitar 10 ribu peserta. Demonstrasi tersebut merupakan wujud protes terhadap kebijakan pemerintahan Benjamin Netanyahu. Menurut laporan yang dikutip dari Reuters, para peserta demonstrasi menyerukan agar pemerintah bertanggung jawab atas kematian 600 tentara dalam serangan yang dilancarkan Israel ke Palestina, yang merupakan jumlah korban tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Selama aksi demonstrasi, para pengunjuk rasa dengan semangat mengibarkan bendera Israel berwarna biru dan putih, sambil berseru “Pemilu sekarang!” Mereka menuntut agar Netanyahu mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri.
Menyikapi gelombang demonstrasi tersebut, Netanyahu menyelenggarakan konferensi pers di Yerusalem. Dalam kesempatan itu, ia menyatakan komitmennya untuk menemukan solusi atas masalah yang dihadapi, namun menegaskan bahwa menggelar pemilu di tengah situasi perang akan mengakibatkan negara mengalami kelumpuhan selama berbulan-bulan. Netanyahu meyakini bahwa Israel saat ini berada di ambang kemenangan dalam konflik yang sedang berlangsung.
Dan pada tanggal 28 April 2024, ribuan warga Israel turun ke jalan-jalan Tel Aviv dalam protes, menyerukan pembebasan sandera yang ditahan di Gaza dan mendesak untuk pemilihan umum dini. Media Israel melaporkan bahwa para demonstran berkumpul di Kaplan Square, menuntut pertukaran sandera dengan faksi-faksi Palestina di Gaza dan memperjuangkan pemilihan umum lebih awal.
Keluarga dari para sandera yang ditahan di Gaza juga ikut serta dalam demonstrasi tersebut, memberikan pidato di hadapan massa.
Aksi protes semakin meningkat setelah munculnya video dari Brigade Qassam yang menampilkan dua sandera Israel masih hidup. Keluarga sandera menyatakan bahwa Israel harus memilih antara menyerang Rafah atau bernegosiasi dengan Hamas. Mereka menekan pemerintah untuk segera membebaskan sandera di Gaza, bahkan jika itu berarti mengakhiri konflik.
Allah SWT berfirman dalam Quran Surat Hasyr Ayat 14,
لَا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعًا إِلَّا فِي قُرًى مُحَصَّنَةٍ أَوْ مِنْ وَرَاءِ جُدُرٍ ۚ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ ۚ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
“ Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.”
- Penarikan duta besar dari Israel dan pengakuan terhadap Kedaulatan Palestina
Negara-negara dari berbagai belahan dunia menarik duta besar mereka dari Israel sebagai bentuk protes. Setidaknya delapan negara telah melakukan langkah ini, termasuk Bolivia, Kolombia, Chile, Bahrain, Afrika Selatan, Yordania, Turki, dan Honduras. Mereka mengutuk serangan Israel di Jalur Gaza dan menyatakan kekecewaan atas pelanggaran hukum internasional serta tindakan yang mengakibatkan korban sipil Palestina.
Langkah-langkah ini menunjukkan kecaman yang kuat terhadap serangan Israel di Jalur Gaza dan dukungan yang solid terhadap Palestina. Penarikan duta besar adalah salah satu cara yang dapat dilakukan negara-negara tersebut untuk mengekspresikan protes mereka secara diplomatis terhadap tindakan yang dianggap melanggar hukum internasional dan mengakibatkan penderitaan bagi warga sipil Palestina. Semoga langkah-langkah ini dapat menjadi bagian dari tekanan internasional untuk mencari solusi damai dan keadilan bagi konflik di Timur Tengah.
Sampai saat ini, terdapat 140 negara yang telah mengakui Negara Palestina. Pengakuan terbaru datang dari Barbados pada tanggal 20 April 2024, dan dari Jamaika pada tanggal 24 April 2024.
Negara-negara mengakui Palestina sebagai bentuk solidaritas dalam perjuangan mereka untuk menjadi negara berdaulat dan merdeka sebagaimana resolusi PBB pada tanggal 9 November 2023. Majelis Umum PBB melakukan voting yang menegaskan kedaulatan permanen Palestina atas sumber daya alam mereka. Hasil voting menunjukkan bahwa 151 negara setuju, sementara 6 negara menolak dan 11 negara abstain.Negara-negara yang menolak kedaulatan Palestina atas sumber daya alam mereka termasuk Israel, Amerika Serikat, Kanada, serta tiga negara pulau kecil seperti Palau, Nauru, dan Mikronesia. Resolusi ini secara tegas mengonfirmasi kedaulatan permanen rakyat Palestina di Wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, dan kedaulatan penduduk Arab di Dataran Tinggi Golan yang diduduki, atas sumber daya alam yang terkandung di wilayah tersebut.
- Tekanan Internasional; Gerakan protes civitas akademik di kampus-kampus Amerika
Sejak 18 April, hampir 900 orang telah ditangkap di berbagai kampus di Amerika Serikat dalam aksi protes yang mendukung Palestina. Mulai dari pembubaran paksa protes di Universitas Columbia di New York hingga demonstrasi di universitas lainnya, mahasiswa telah mendirikan perkemahan dan menuntut berakhirnya serangan Israel di Gaza. Protes ini juga memasukkan desakan kepada universitas untuk memutuskan hubungan dengan perusahaan yang menjual senjata ke Israel.
Reaksi dari pihak berwenang tidak terhindarkan, dengan sekitar 275 orang ditangkap hanya pada hari Sabtu di berbagai universitas seperti Universitas Northeastern di Boston, Universitas Negeri Arizona di Phoenix, Universitas Indiana di Bloomington, dan Universitas Washington di St Louis. Bahkan, kandidat presiden AS Jill Stein, berusia 73 tahun, ikut ditangkap saat mengunjungi mahasiswa pro-Palestina di Universitas Washington di St Louis.
Beberapa anggota fakultas di universitas lain juga menyatakan dukungan mereka kepada mahasiswa, termasuk universitas di California, Georgia, dan Texas, dengan mengadopsi mosi tidak percaya terhadap pimpinan mereka.
Protes ini adalah tanggapan atas serangan Israel di Gaza yang telah menimbulkan kecaman internasional. Meskipun protes ini dianggap sebagai tindakan antisemit oleh pihak Israel dan pendukungnya, para penyelenggara protes, termasuk beberapa yang beragama Yahudi, menegaskan bahwa ini adalah gerakan damai yang bertujuan untuk membela hak-hak Palestina dan mengecam perang.