Allamah Hilli: Ayatullah Pertama (1)
Kehidupan Allamah Hilli dihiasi oleh nilai-nilai kejujuran, ketulusan, cinta dan rasa tanggungjawab. Dialah pejuang kebangkitan yang membela fikih dan ajaran Ahlul Bait as. Maka, patut kiranya mempelajari kehidupan bintang yang gemilang ini dan menyoroti ruhnya yang menjulang, imannya yang dalam, khazanah ilmu dan keutamaan spiritual serta takwanya.
Malam 29 bulan ramadan tahun 648 H, di kota ini lahir seorang anak bernama Hasan dan kelak dikenal dengan panggilan Ayatullah Allamah Hilli. Ibunya seorang putri yang baik hati dan suci; anak dari Hasan bin Yahya bin Hasan Hilli dan saudara perempuan Muhaqiq Hilli. Ayahnya bernama Syekh Yusuf Sadidudin; salah satu ulama dan pakar fikih pada waktu itu.
Jika dilihat dari sisi ayah, silsilah Allamah Hilli bersambung ke Alu Mutahhar (Keluarga Mutahhar) yang merupakan keluarga yang berjiwa bersih, besar, alim, mulia dan bertakwa. Banyak sekali karya-karya peninggalan mereka yang berharga dan sampai sekarang pun masih sering digunakan oleh para peneliti. Alu Mutahhar ini berasal dari Bani Asad yang merupakan klan Arab terbesar di kota Hullah dan yang pernah memerintah di sana untuk beberapa waktu.
Pendidikan
Rumah Syekh Sadidudin yang mulia dan penuh takwa dianugerahi seorang anak kebanggaan. Hasan, putra Syekh yang baru menginjak usianya yang dini diarahkan oleh ayahnya agar pergi ke rumah belajar dan mempelajari cara membaca al-Qur’an. Dengan bekal potensi yang besar dan usaha yang keras, putra Syekh tidak membutuhkan waktu lama untuk belajar membaca al-Qur’an, dalam waktu yang singkat sekali dia sudah mampu membaca al-Qur’an secara baik dan benar. Walau demikian, putra Syekh ini tidak merasa puas dengan pelajaran di rumah belajar tersebut. Itulah sebabnya dia mencari guru privat hingga menemukan seorang guru bernama Muharram. Kepadanya dia belajar menulis dan dalam waktu yang singkat pula dia berhasil menguasainya.
Setelah Hasan putra Syekh Yusuf menguasai cara membaca dan menulis al-Qur’an, secara bertahap kesiapan dia untuk mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang lain semakin kuat. Ia lalui jenjang-jenjang pertama pendidikan mencakup persiapan dan dasar-dasar pengetahuan bersama ayahnya yang juga seorang ulama dan fakih, besar sekali prestasi dan keutamaan yang dia raih sementara dia masih anak-anak sehingga dia dijuluki dengan Jamaluddin yang berarti hiasan dan keindahan agama.
Badai Bencana
Belum sepuluh tahun dari usia Jamaludin Hasan, gempuran dahsyat bangsa Mongol membuat rasa takut mencekam hampir seluruh kawasan-kawasan Islam. Iran terbakar hangus oleh api peperangan bangsa Mongol dan dampaknya kapan saja bisa mengancam daerah-daerah di sekitarnya. Pada saat itu, penduduk negeri Irak betul-betul panik, karena kapan saja ada kemungkinan balatentara Mongol bergerak dari Iran menuju Irak dan menaklukkan satu persatu kota di Irak.
Pada saat itu juga kekuasaan Dinasti Abbasiyah sedang menjalani detik-detik terakhir sebelum tumbang. Karena ketakutan, penduduk setempat segera mengosongkan kota-kota mereka dan berlindung di sahara.Orang-orang Syi’ah dan penduduk kota-kota suci seperti Karbala, Najaf dan Kadzimain, berkumpul di pemakaman imam-imam suci; mereka berlindung di haram Ahlul Bait a.s. dan mendapatkan keamanan di sana.
Penduduk kota Hullah juga berusaha menyelamatkan diri dengan pergi ke padang sahara dan kawasan semak belukar. Sebagian dari mereka ada juga yang berlindung di Karbala dan Najaf, tapi ada juga segelintir orang yang memilih tetap tinggal di dalam kota, di antaranya tiga ulama yang bernama Syekh Yusuf Sadidudin, Sayid Mujaladudin bin Thawus, dan Fih bin Iz. Para alim ini berkumpul di satu tempat untuk membicarakan solusi apa kiranya yang dapat menyelamatkan kota-kota suci Karbala, Najaf dan Kufah serta kota Hullah. Setelah pertukaran pendapat yang cukup panjang, akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan bahwa solusi yang terbaik untuk saat itu adalah mengirim surat kepada Hulaku Khan raja Mongol dan meminta jaminan keamanan dari dia untuk kota-kota suci Irak.
Pada tahun 657 H., Baghdad berhasil ditaklukkan oleh Hulaku Khan dan Mu’tashim khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiyah juga digulingkan. Pada waktu itu juga pusat terbesar pendidikan Islam dan mazhab Syi’ah di ibukota Irak dihancurkan. Rasa takut terhadap kebengisan balatentara mongol mencekam seluruh kota-kota di Irak.
Jika dilihat dari sisi kebengisan, kekejaman dan kebiadaban tentara mongol, sepertinya tidak mungkin ada satu kota pun di negeri Irak yang akan aman, akan tetapi karena jerih payah dan tekad bulat ulama’ syi’ah di kota Hillah –khususnya Yusuf Sadidudin; bapak Jamaludin Hasan- dan tentunya berkat pertolongan Allah swt. maka keamanan kembali menyelimuti kota Hillah dan kota-kota suci di Irak lainnya, dan kota Hillah sendiri menjadi pusat perlindungan bagi para ulama pada saat itu.
Sejak saat itu sampai penghujung abad kedelapan, kota Hillah menempati posisi penting sebagai salah satu pusat pendidikan terbesar mazhab Syi’ah yang menyedot banyak murid dan guru dari berbagai penjuru, begitulah singkat perjalanan bagaimana negeri Jamaludin Hasan menjadi lahan yang sangat baik, aman, dan terkendali bagi dia dan juga bagi pelajar-pelajar yang lain.
Menimba Ilmu
Jamaludin menjalani hidupnya di kota Hillah dan telah menimba banyak ilmu, etika dan kejiwaan yang menjulang dari para ulama fikih, teolog dan filsuf terkemuka. Dia telah menghiasi dirinya dengan ilmu dan kesucian diri serta mempersenjatainya dengan berbagai teknik dan disiplin ilmu sehingga ia berhasil mendapatkan sertifikat ijtihad dan periwayatan hadis dari mereka.
Berikut ini kami akan menyebutkan beberapa gurunya: Syekh Yusuf Sadidudin (bapaknya sendiri), Muhaqiq Hilli (602-676 H), Khowjeh Nasirudin Thusi (597-672 H), Sayid Radhiyudin Ali bin Thawus (589-664 H), Sayid Ahmad bin Thawus (wafat pada tahun 673 H), Yahya bin Sa’id Hilli (wafat pada tahun 690 H), Mufidudin Muhammad bin Jaham Hilli, Ali bin Siliyan Bahrani, Ibnu Maitsam Bahrani (626-679 H), Jamaludin Husein bin Iyazi Nahwi (wafat pada tahun 681 H), Muhammad bin Muhammad Kassyi (615-695 H), Najmudin Ali bin Umar Katibi (wafat pada tahun 675 H), Burhanudin Nasafi, Syekh Faruqi Wasithi, dan Syekh Taqiyudin Abdullah bin Ja’far Kufi.
Bintang Ulama
Jamaludin Hasan adalah bintang keluarga Mutahhar dan kota ilmu Hillah. Dengan bakat karuniawi dan keinginan besar, ia berhasil menguasai berbagai disiplin ilmu dalam jangka waktu yang singkat; seperti ilmu fikih, hadis, teologi, filsafat, usul fikih, logika, matematika dan geometri. Ia juga memperoleh pengalaman yang memadai.
Berita keutamaannya begitu cepat sekali tersebar di berbagai kota. Namanya selalu disebut dengan penuh penghormatan di forum-forum ilmu serta lingkungan budaya. Ia biasa disebut dengan pangillan Allamah.Allamah Hilli bagaikan matahari di langitfikih hingga semua orang diuntungkan oleh cahayanya. Dia mendirikan pusat pendidikan di kota Hillah dan banyak sekali pecinta ilmu Ahlul Bait as. yang datang ke sana dari berbagai penjuru untuk mendapatkan kepuasan dari lautan ilmu yang disampaikan olehnya.Salah seorang ulama mengatakan Tidak ada orang yang dapat menandingi Allamah Hilli, baik sebelum maupun setelah dia. Pelajar yang duduk di bangku pelajaran dia sekitar lima ratus mujtahid.
Nama-nama berikut ini adalah nama ulama terkemuka yang belajar kepada Allamah hilli dan mendapatkan ijasah resmi ijtihad dan periwayatan hadis Putra jenius dia sendiri yang bernama Muhammad bin Hasan bin Yusuf Hilli yang dikenal dengan sebutan Fakhrul Muhaqqiqin (628-771 H), Sayid Amidudin Abdul Mutthalib dan Sayid Dhiyaudin Abdullah Huseini A’raji Hilli (keponakan-keponakan Allamah Hilli), Tajudin Sayid Muhammad bin Qasim Hasani yang dikenal dengan sebutan Ibnu Ma’iyah (wafat pada tahun 776 H), Radhiyudin Abul Hasan Ali bin Ahmad Hilli (wafat pada tahun 757 H), Qutbudin Razi (Wafat pada tahun 776 H), Sayid Najmudin Mihna bin Sinan Madani, Tajudin Mahmud bin Maula, Taqiyudin Ibrahim bin Husein Amuli, dan Muhammad Ali Jurjani.
Marja’ Taklid
Tahun 676 hijriah adalah tahun wafatnya Muhaqiq Hilli yang merupakan pemimpin dan marja’ bagi orang-orang Syi’ah pada waktu itu, saat itu juga murid-muridnya dan ulama lain kota Hillah mencari seorang mujtahid yang memenuhi keriteria pemimpin dan marja’ untuk kemudian mereka umumkan kepada masyarakat. Ketika itu mereka tidak menemukan orang selain Allamah Hilli yang merupakan murid istimewa Muhaqiq Hilli dan diakui oleh seluruh ulama, padahal pada waktu itu ia masih berusia 28 tahun. Kenyataan ini menunjukkan kejeniusan sekaligus kepribadian dia yang mulia sehingga dalam usia yang masih relatif muda dia telah menguasai semua ilmu yang diperlukan dan karena itu pula dia dibebani tanggungjawab untuk memimpin dan menjadi marja’ taklid.
Perpindahan posisi marja’ taklid dari Muhaqiq Hilli ke Allamah Hilli merupakan amanat besar Ilahi. Itulah sebabnya ia dikenal dengan julukan mulia Ayatullah, dan pada zaman itu tidak ada seorang pun yang dipanggil dengan julukan itu kecuali dirinya. Setiap kali ada orang yang menyebut Ayatullah berarti maksudnya adalah Allamah Hilli.
Era Perkembangan
Era Allamah Hilli harus dinyatakan sebagai era perkembangan Syi’ah dan ilmu-ilmu Ahlul Bait a.s. di samping perkembangan peradaban dan pengetahuan di berbagai penjuru dunia Islam. Allamah Hilli tanpa mengenal lelah terus berusaha keras untuk menyebarluaskan fikih dan ilmu-ilmu Islam lainnya yang berpondasikan kepada ajaran Ahli Bait a.s. Ia telah membawa perubahan serta metode yang baru di dalam disiplin ilmu fikih. Ia pula mujtahid pertama yang memasukkan matematika sebagai salah satu ilmu di dalam fikih dan melakukan penyempurnaan di bidang argumentasi hukum.
Pada waktu itu, kekuasaan Irak dan khususnya ibukota Baghdad dipegang oleh dinasti Juwaini. Meskipun mereka diangkat oleh raja-raja Mongol, akan tetapi selama lebih dari tiga puluh tahun masa kekuasaan mutlak mereka tidak pernah menolak untuk melakukan penyebaran agama Islam, penghormatan terhadap ulama, penyebaran ilmu, dan pemulihan tempat-tempat yang rusak akibat ulah balatentara Mongol. Singkat kata, andai saja dinasti Juwaini tidak ada, besar kemungkinan peradaban Islam di Irak dan sekitarnya tidak akan ada yang tersisa.
Begitu pula halnya dengan Iran, meskipun penguasa-penguasa Mongol memerintah secara langsung dalam waktu yang cukup lama di sana, akan tetapi lambat laun kebiadaban dan kezaliman mereka berkurang akibat pengaruh budaya Iran dan Islam serta kepiawaian politik menteri-menteri seperti: Khowjeh Nasirudin Thusi; pembela wahyu dan akal serta guru Allamah Hilli.
Kehadiran ulama besar yang peduli terhadap peradaban Islam dan masyarakat di dalam pemerintahan Mongol telah berperan penting dalam menyebarluaskan ilmu dan mencegah rencana jahat Mongol seperti perusakan pusat-pusat budaya dan pembakaran perpustakaan, ulama-ulama besar itu sudi terbakar bagaikan lilin untuk memainkan peran-peran penting tersebut.
Kisah Uljaito, Raja Mongol
Allamah Hilli adalah ulama terkenal yang gaungnya sampai ke berbagai penjuru dunia. Salah satu penguasa yang hidup pada zamannya ialah Sultan Muhammad Uljaito. Dia raja Mongol yang berkuasa di Iran dari tahun 703 sampai 716 H. Pada tahun 706 H., Uljaito mendirikan kota baru di kawasan yang berjarak lima farsakh (25 km) dari Ubuhar. Ubuhar adalah kawasan hijau yang merupakan muara sungai kecil Ubuhar dan Zanjan. Kota itu kemudian diberi nama Sultaniah.
Pembangunan kota itu menghabiskan waktu sepuluh tahun, dan tepatnya pada tahun 713 H. Berdirilah kota baru yang besar dan memiliki bangunan-bangunan megah. Di sana, Sultan Uljaito membangun istana dan mendirikan sekolahan besar yang mirip dengan sekolahan Mustanseriah di Baghdad, dan dia mengundang guru-guru serta ulama Islam dari berbagai kawasan.
Pada suatu hari, karena emosi yang memuncak, Sultan Uljaito menceraikan istrinya dengan tiga ceraian dalam satu pertemuan. Tak lama berselang, Uljaito menyesali tindakannya itu dan menanyakan hukum perceraian itu kepada ulama istana yang bermazhab Ahli Sunnah. Mereka menjawab bahwa wanita itu bukan lagi istri baginda!
Salah satu menteri Uljaito mengatakan di kota Hillah, ada seorang ulama yang berfatwa bahwa perceraian seperti itu adalah batil atau tidak sah. Ulama yang dimaksud oleh menteri ini adalah Allamah Hilli. Mendengar berita itu, Uljaito segera mengundangnya. Dia mengirim utusan ke kota Hillah agar jangan pernah kembali ke istana kecuali bersama dengan Ayatullah Hilli. Meskipun tanggal kepergian Allamah Hilli ke Iran tidak tercatat secara teliti, akan tetapi yang jelas kepergian itu terjadi setelah tahun 705 H.
Setelah memasuki negeri Iran, Allamah Hilli menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Sultan Uljaito. Tanpa terpengaruh oleh kemegahan forum istana, ia menghadapi ulama-ulama Ahli Sunnah dari empat mazhab yang berbeda-beda secara ilmiah dan memberikan jawaban-jawaban yang akurat serta memuaskan atas kritik dan pertanyaan yang mereka ajukan. Pada akhirnya, mereka menyerah dan menerima pandangan Allamah.
Adapun berkenaan dengan perceraian yang dilakukan oleh Sultan, Allamah mengatakan bahwa perceraian itu tidak sah, karena syaratnya tidak terpenuhi. Syaratperceraian adalah dihadiri oleh dua saksi yang adil, dan syarat ini tidak terpenuhi dalam perceraian tersebut. Sultan Uljaito sangat gembira sekali mendengar fatwa itu. Dia sangat mengagumi kemampuan Allamah Hilli di dalam berdiskusi dan berdialog, gaya bicara yang lugas, daya ingat yang kuat, ilmu dan data-data yang lengkap, serta keberanian yang disertai dengan bukti-bukti yang jelas dalam mengutarakan pendapat. Berangkat dari sanalah kemudian Sultan Uljaito cendrung pada fikih Syi’ah. (Bersambung)(AFH)