Allamah Majlisi: Ahli Hadis Agung Ahlul Bait
Siapa yang tidak kenal dengan nama ini. Pemiliknya adalah sosok yang hingga kini kian populer. Ia seorang ulama besar abad ke-10 hijriah, mendekasikan hidupnya untuk meneliti hadis Nabi SAW dan Ahlul Bait a.s. bernama lengkap Allamah Muhammad Baqir Majlisi, lahir pada tahun 1037 H dan wafat pada 27 Ramadhan 1110 H. Ayahnya adalah Maula Muhammad Taqi Majlisi, murid istimewa Syaikh Baha’i dan termasuk pakar di berbagai bidang ilmu-ilmu Islam pada zamannya. Karya-karyanya banyak dan antara lain kitab Ihyâ’ Al-Ahâdîts fî Syarh Tahdzîb Al-Hadîts. Ibunya adalah puteri Shadrudin Muhammad Asyuri yang terdidik dalam lingkungan keluarga ilmu dan keutamaan.(Aqha Buzurge Tehrani, Al-Dzarî‘ah, jld. 1, hal. 151;, Muhammad Ali Mudaris Tabrizi,Raihânah Al-Adab, jld. 5, hal. 195).
Allamah lahir, tumbuh dan besar di tengah keluarga yang terkenal dan terkemuka di kalangan Syi’ah sejak pertengahan abad kelima hijriyah, dan banyak ulama ternama yang disumbangkan oleh keluarga ini khususnya pada abad kesepuluh dan kesebelas. Mulla Maqsud, kakek Allamah yang termasuk ulama yang bertakwa dan mubalig mazhab Syi’ah dijuluki dengan ‘Majlisi’ karena tutur katanya yang indah, puisi-puisinya yang menakjubkan, dan tingkah lakunya yang bijaksana. Sejak itu, keluarga dan keturunan dia dikenal dengan julukan ‘Majlisi’ (Sayid Muslihudin Mahdawi, Zendeginomeh-e Allomeh Majlesi,jld. 1, hal. 53; Karnameh-e Allameh Majlesi, hal. 145).
Pendidikan dan Guru
Allamah Majlisi mulai belajar pada ayahnya di usia empat tahun. Potensi dan kepintarannya luar biasa sehingga pada usianya yang keempat belas tahun dia sudah mendapatkan ijasah untuk meriwayatkan hadis dari filsuf muslim yang ternama, Mulla Sadra. Setelah itu, dia belajar dari Allamah Hasan Syusytari, Amir Muhammad Mukmin Astarabadi, Mirza Jaza’iri, Syaikh Hur Amili, Mulla Muhsin Astarabadi, Mulla Muhsin Faidh Kasyani, dan Mulla Shaleh Mazandarani. Jumlah guru besar dia tidak kurang dari dua puluh satu orang (Zendeginameh-e Allameh Majlesi, jld. 1, hal. 55). Dalam waktu yang sangat singkat menguasai berbagai ilmu seperti nahwu, saraf, ma’ani, bayan, bahasa arab, matematika, sejarah, filsafat, hadis, rijal, dirayah, usul fikih, fikih, dan kalam (teologi Islam).
Allamah Majlisi ulama yang sangat besar tapi menundukkan diri di hadapan orang lain, banyak tokoh ternama pendidikan dan ulama pada waktu itu yang mengikuti pelajarannya untuk memberitahukan kebesaran dia kepada pelajar-pelajar muda. Sebagai contoh, Syaikh Muhammad Fadhil adalah ulama besar yang mempunyai majelis ilmu dan pendidikan tersendiri, tapi dia duduk dan mengikuti pelajaran Allamah Majlisi untuk mengajarkan sifat pendudukan diri atau tawadhu’ kepada para penuntut ilmu. Sebaliknya, Allamah juga menyatakan di hadapan murid-muridnya bahwa manfaat yang didapatkannya dari kehadiran Syaikh Muhammad tidak lebih sedikit daripada manfaat yang didapatkan oleh Syaikh darinya, bahkan dia menyatakan bahwa manfaat yang didapatkannya dari Syaikh lebih banyak (ibid., hal. 66).
Berikut ini adalah nama-nama sebagian dari murid Allamah Majlisi yang besar dan telah mendapatkan ijasah untuk meriwayatkan hadis darinya: Maula Ibrahim Jailani, Maula Muhammad Ibrahim Buwanati, Mirza Ibrahim Husaini Nisyaburi, Abu Barakat bin Muhammad Isma’il Khadim Masyhadi, Maula Abu Baqa’, Abu Asyraf Isfahani, Maula Muhammad baqir Jazzi, Mulla Muhammad Baqir Lahiji, Syaikh Bahaudin Kasyi, Maula Muhammad Taqi Razi, Mirza Muhammad Taqi Almasi, Maula Habibullah Nasrabadi, Mulla Husain Tafresyi, Muhammad Ridha Ardabili, Muhammat Thahir Isfahani, Abdul Husain Mazandarani, Sayid Azizullah Jaza’iri, Mulla Muhammad Kadzim Syusytari, Syaikh Bahaudin Muhammad Jaili, Maula Mahmud Thabasi, Muhammad Yusuf Qazwaini dan lain-lain (Zendeginameh-e Allameh Majlesi, jld. 2, hal. 4).
Menyambut Cahaya
Allamah Majlisi memilih jalan gurunya dalam penyebaran ilmu Ahli Bait as., dia tangguhkan ilmu-ilmu rasional dan bergegas menyambut cahaya hadis dengan bekal penghambaan yang mutlak, langkah pertama yang diambilnya adalah membuka kuliah tentang empat kitab inti hadis Ahlul Bait as. yang lebih populer dengan sebutan Kutub Al-Arba’ah. Dia menulis buku komentar atas kitab Ushûl Al-Kâfî dan Al-Tahdzîb, dia sengaja tidak menulis komentar atas kitab Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh karena menurut dia komentar yang ditulis oleh ayahnya untuk buku itu sudah cukup, adapun kitab Al-Istibshôr juga tidak dia komentari secara tertulis karena sudah dipasrahkannya kepada salah satu dari muridnya (Hur Amili, Al-Amal Al-Âmil, jld. 2, hal. 248).
Di tengah kegigihannya menjaga dan mengajarkan Kutub Al-Arba’ah, Shahîfah Sajjâdiyah Imam Ali Zainul Abidin as., Al-Irsyâd karya Syaikh Mufid, dan Al-Qowâ’id karya Allamah Hilli, Allamah mulai memikirkan ribuan kitab berharga lainnya yang seringkali menjadi korban perampokan dan kekerasan sehingga naskah-naskahnya punah secara total atau langka dan tersembunyi di peti-peti rumah. Ditambah lagi dengan fanatisme buta yang tidak jarang merusak literatur Syi’ah, begitu pula kemungkinan Pemerintah Safawi pada zaman itu untuk runtuh karena digulingkan oleh kekuasaan-kekuasaan barat dan timur Ahli Sunnah yang tentunya akan diiringi oleh penetrasi politik kelompok Sufi dalam pusat pemerintahan. Kelomok Sufi ini sangat berbahaya juga karena mereka sering mendistorsi hadis Ahli Bait as.
Oleh karena itu, dia mengerahkan segala daya dan upayanya untuk mengumpulkan karya-karya Syi’ah, sehingga dia berhasil menemukan dua ratus Ashl (buku referensi hadis Ahli Bait as.) dari jumlah keseluruhannya yang empat ratus. Dengan itu dia berhasil membuat perpustakaan buku-buku Syi’ah yang sangat berharga. Bahkan, suatu saat dia diberitahu bahwa di salah satu perpustakaan Yaman ada naskah kitab Madînah Al-‘Ilm –karya terbesar Syaikh Shaduq yang hilang, seketika itu pula dia menyampaikan persoalan ini kepada raja, sehingga raja mengirimkan berapa orang delegasi ke raja Yaman dengan membawa hadiah-hadiah yang sangat berharga untuk memohon kitab itu, tapi entah karena alasan apa kitab itu pada akhirnya tidak sampai kepada Allamah. Di sela-sela aktifitas intelektual dan kulturalnya, dia menghidupkan kembali kitab-kitab kuno yang pernah ditulis oleh ulama terdahulu, dia motivasi para pelajar untuk menyalin kitab-kitab itu dan menyelamatkannya dari keterasingan, kemudian di setiap hasil salinan itu dia memberi catatan bahwa sebelumnya buku ini terasingkan dan tidak ada seorang pun yang membacanya.
Ensiklopiedia Hadis: Bihâr Al-Anwâr
Terlintas ide baru dibenak Allamah Majlisi untuk mengumpulkan mutiara-mutiara Ahli Bait as. yang sangat berharga setelah menemukannya dari berbagai penjuru dunia Islam, dia membukukannya menjadi satu enseklopedia yang diberinya nama Bihâr Al-Anwâr atau Samudera Cahaya. Dengan demikian, semua orang syi’ah dapat dengan mudah mengakses sabda dan sunnah Ahli Bait as. dalam rangka menggapai jalan yang lurus menuju Tuhan, dan sampai kapan pun aliran atau mazhab apa saja yang ingin mengetahui sikap Ahli Bait as. dalam topik tertentu bisa diarahkan oleh komunitas Syi’ah ke karya spektakuler tersebut. Itulah pentingnya kenapa dia menulis dan menyusun kitab Bihâr Al-Anwâr.
Dalam pengantar buku itu Allamah mengatakan, ‘Pertama-tama saya menelaah buku-buku yang populer, setelah itu saya meneliti kitab-kitab lain yang kuno dan sempat terasingkan karena alasan tertentu. Di mana saja ada naskah hadis, saya pasti pergi ke sana dan membeli atau memanfaatkannya dengan harga apa pun yang ditawarkan pemiliknya. Saya kelilingi Timur dan Barat untuk menemukan naskah-naskah yang berharga. Dalam hal ini, saya juga mengerahkan saudara-saudara sealiran saya untuk pergi ke kota dan pelosok-pelosok desa, sehingga alhamdulillah mereka berhasil mengumpulkan referensi-referensi yang sangat berharga pula … setelah proses ferifikasi dan revisi, saya melihat susunan referensi itu cacat dan klasifikasi hadisnya tidak efektif bagi para peneliti, itulah sebabnya saya membuat susunan baru yang sekiranya menarik dan efektif dari segala sisi … tapi saya masih khawatir jangan-jangan setelah kepergian saya nanti referensi revisi yang saya terbitkan ini terasingkan juga atau dibakar oleh para penjajah yang zalim. Oleh karena itu, saya segera minta pertolongan kepada Allah swt. untuk menulis kitab Bihâr Al-Anwâr. Di dalam kitab ini ada sekitar 30.000 hadis yang terbagi pada 48 judul kitab yang ilmiah, di dalam ini juga anda akan megenal pasal-pasal yang mungkin untuk pertama kalinya kalian kenal dan betul-betul baru.”
Tapi sayang, waktu yang terbatas dan kesibukannya yang sangat padat membuat Allamah tidak sempat lagi untuk melakukan ferifikasi dan koreksi terhadap hadis-hadis itu. Makanya di pengantar kitab dia mengatakan, ‘Seandainya ajal memberi saya kesempatan dan anugerah Allah Swt. masih meliputi diri saya, ingin sekali saya menuliskan komentar yang lengkap tentang maksud para ulama dari karya-karya mereka dan memuatnya di dalam kitab Bihâr Al-Anwâr, karena dengan demikian para pelajar dan ulama generasi yang akan datang juga dapat memanfaatkannya secara lebih efektif dan efisien.’ (Karnameh-e Allameh Majlesi, hal. 51). Allamah Majlisi mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam ferifikasi dan koreksi atas hadis atau riwayat, hal itu bisa kita saksikan di dalam kitab Mir’âh Al-‘Uqûl.
Karya Allamah Majlisi
Allamah sering menulis buku sesuai dengan tuntutan budaya masyarakat zaman itu, contohnya ketika dia melihat masyarakatnya sedang membutuhkan ilmu astronomi maka dia menulis buku Ikhtiyârôt, ketika dia melihat banyak orang yang cenderung menjauh dari Allah Swt. maka dia menulis kitab ‘Ain Al-Hayâh. Karya-karya yang berbahasa persi juga sangat berguna dalam menyelesaikan problem agamis dan duniawi masyarakat saat itu, sehingga praktis telah membimbing mereka ke jalan yang benar. Banyak juga kitab-kitab yang bisa digunakan baik oleh orang arab maupun persi, orang bodoh maupun alim, laki maupun perempuan, bahkan anak-anak kecil juga bisa mengambil manfaat yang berharga darinya (Yadnameh-e Allameh Majlesi, hal. 25; Tarjumeh-e Roudhat Al-Jinân, jld. 2, hal. 86;, Syaikh Abbas Qomi, Fawâ’id Al-Radhawiyah,hal. 413).
Karya-karya Allamah Majlisi selain Bihâr Al-Anwâr adalah:
1- Mir’âh Al-‘Uqûl fî Syarh Akhbâr Al-Rasûl yang mengomentari kitab Ushûl Al-Kâfî;
2- Malâdz Al-Akhbâr fî Syarh Al-Tahdzîb;
3- Syarh Arba’în;
4- Al-Wajîzah fî Al-Rijâl;
5- Al-Faw’id Al-Tharîqah fî Syarh Al-Shahîfah Al-Sajjâdiyah;
6- Risâlah Al-Awzân;
7- Al-Masâ’il Al-Hindiyah;
8- Risâlah fî Al-Syukûk; dan masih banyak lagi karya Allamah Majlisi yang berbahasa Persia, jumlahnya mencapai 22 buku.
Bekal Pena
Allamah Majlisi selalu berbekal pena dalam perjalananya, contohnya dia menulis jilid ke-22 kitab Bihâr Al-Anwâr di kota Najaf sepulangnya dari ibadah haji, dia menulis terjemahan pidato Imam Ali Ridha as. dan artikel tentang Bulan Rajab di perjalanannya pulang dari Khurasan.
Seringkali para pelajar dan penuntut ilmu memanfaatkan kesempatan dari perjalanan Allamah, mereka ikut bepergian bersamanya untuk dapat menimba ilmu darinya dalam suasana yang akrab. Mir Muhammad Khatun Abadi mengatakan, ‘Dari sejak kecil aku hobi belajar ilmu-ilmu rasional, aku habiskan waktuku untuk itu, sampai kemudian ketika di perjalanan pulang dari ibadah haji aku bertemu dengan Allamah Maula Muhammad Baqir Majlisi dan berhubungan dekat dengannya, maka sejak itu aku tercerahkan oleh cahaya ilmunya dan termotivasi untuk menekuni ilmu-ilmu tekstual Islam seperti fikih, hadis dan sebagainya. Kemudian aku terus menuntut ilmu dari Allamah selama empat puluh tahun.’ (Zendeginameh-e Allameh Majlesi, jld. 1, hal. 160; Ibid., hal. 161; Al-Kunâ wa Al-Alqab, jld. 3, hal. 123).
Ketika Allamah kunjung ke kota Masyhad Muqadas untuk berziarah ke makam suci Imam Ali Ridha as., para ulama dan pelajar memintanya untuk mengajarkan ilmu kepada mereka, maka dia membuka majelis-majelis ilmu untuk menerangkan empat puluh hadis penting selama kehadirannya di sana. Setelah itu, keterangan Allamah atas empat puluh hadis tersebut ditulis menjadi buku, dan ketika salah satu ulama Ahli Sunnah membacanya dia berkomentar, ‘Sebelumnya aku mengira tingkat keilmuan Allamah Majlisi tidak lebih dari penerjemahan buku dari bahasa arab ke bahasa persi, tapi setelah aku membaca karyanya yang berjudul Asmâ’ wa Al-‘Âlam dan kitab Syarh Arba’în aku sadar bahwa dia adalah seorang ulama yang tidak bisa dibayangkan lagi keberadaan ulama lain yang tingkat keilmuannya lebih tinggi dari dia.’ (Zendeginameh-e Allameh Majlesi, jld. 1, hal. 161). (AFH)