Alquran dan Tasawuf (Bagian Pertama)
A. Pendahuluan
Sejarah budaya dan peradaban selalu menunjukkan adanya kecenderungan spiritual dan tasawuf (mistik) pada manusia. Pelbagai kebutuhan manusia—setelah diamati—ternyata lebih tinggi daripada sekadar tuntutan ruang dan waktu. Tentu saja hal ini mendukung orientasi spiritual yang ada pada manusia tersebut.
Di sisi lain, para pemimpin spiritual dunia yang paling terkemuka adalah para nabi dan para sahabat mereka, sehingga mayoritas mereka yang terlibat dalam urusan spiritual dunia terbentuk dari para pengikut orang-orang ini. Namun selalu saja di samping agama-agama asli dan para nabi yang benar, terdapat fenomena orang-orang yang mengaku-ngaku dan para pembohong.
Masalah ini memiliki pelbagai penyebab dan sepanjang sejarah ia menunjukkan identitasnya dengan bermacam bentuk, bahkan sebagian penyimpangan agama dan spiritual begitu serius dan dalam sampai-sampai kelompok atau aliran spiritual yang menyimpang mengklaim dirinya sebagai realitas tasawuf.
Manusia modern yang telah cukup lama jauh dari nilai spiritual dan hanya berurusan dengan dunia materialis dan tidak menganggap penting nilai selainnya, kini sangat berkeinginan dan cenderung tergesa-gesa untuk terjun ke dunia spiritual, bak masyarakat yang telah lama mengalami kekeringan lalu mendapatkan air yang melimpah, sehingga mereka mengambil setiap tradisi kuno tasawuf dan spiritual—apa pun nama dan ajarannya—dan berusaha memuaskan dahaga mereka dengannya.
Alquran sebagai kitab yang mengklaim memuat ajaran yang komprehensif dan menyebut dirinya sebagai kitab hidayah, pelita dan rahmat bagi manusia secara umum dan kaum muslim secara khusus mestinya menerangi jalan para ‘urâfâ, sehingga mereka tidak tersesat dan kehabisan bekal dalam perjalanan spiritual yang melelahkan dan panjang. Alquran yang menjelaskan bahwa hasrat spiritual manusia dan keinginan untuk mencapai kesempurnaan dan kedekatan dengan Allah Swt adalah sesuatu yang sesuai dengan fitrah maka karena itu, Alquran seharusnya melapangkan dan memudahkan jalan spiritual dan juga memberikan bekal yang cukup bagi siapapun yang bertekad untuk melalui jalan ini. Alquran bila memang memuat sumber spiritual yang kaya dan dalam tentu dapat menjadi rujukan utama para pengembara spiritual dan para penempuh suluk.
Yang menjadi persoalan adalah bahwa penulis tidak mengklaim bahwa seluruh ‘urâfâ sejak semula mereka merujuk kepada Alquran lalu dengan keterikatan kepada Alquran dan tanpa bersikap apriori, mereka hanya ingin mengetahui apa yang dikatakan oleh Alquran dan dengan pikiran yang jernih, mereka memilih pandangan Alquran dan mereka melakukan istinbâth secara benar terhadap ayat-ayatnya. Bila memang demikian halnya, niscaya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang kita saksikan banyak dialami oleh kaum sufi dan kesalahan mereka tidak akan berlangsung lama. Misalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian kaum sufi dituduh mengabaikan syariat, tidak berpikir dan bertindak logis dan lari dari tanggung jawab sosial serta cenderung memikirkan diri sendiri. Keadaan kaum sufi dalam hal ini tak ubahnya keadaan para ahli tafsir, di mana mereka sebelumnya telah condong kepada pendapat tertentu lalu untuk mengukuhkan pendapatnya tersebut, mereka merujuk kepada Alquran .
Menurut hemat penulis, salah satu penyebab penyimpangan dalam pemahaman dan praktik tasawuf, apapun bentuknya, adalah kurangnya pengetahuan dan tafsiran yang benar tentang tasawuf Islam yang benar sebagaimana yang diinginkan oleh Alquran . Sehingga karena itu, kita harus memahami dasar-dasar dan gagasan-gagasan tasawuf dalam Alquran supaya kita mendapatkan gambaran yang utuh dan benar tentang tasawuf yang dipromosikan oleh kitab yang agung ini. Sayangnya, tidak banyak orang yang memandang Alquran sebagai sumber orisinil dan penting dalam bidang tasawuf.
Jadi, banyak persoalan tasawuf yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan dan polemik ilmiah. Tema-tema krusial yang belum terpecahkan dengan baik di antaranya adalah masalah orisinalitas tasawuf, yakni apakah tasawuf itu produk asli Islam, ataukah ia terlahir dari keyakinan dan ideologi selainnya? Dan bagaimana hubungan antara Islam dan tasawuf? Bagaimana praktek tasawuf yang ideal sesuai dengan bimbingan Alquran ? Apakah ada gagasan-gagasan tasawuf dalam Alquran ? Dan masih banyak persoalan lain yang terkait dengan pembahasan tasawuf yang perlu kiranya diteliti secara mendalam.
B. Pembahasan
Meskipun Alquran bukan kitab kedokteran, filsafat, arsitektur, fikih, ilmu eksperimental, ekonomi dan politik, namun seluruh kebutuhan ilmiah dan pengetahuan dan pelbagai kebutuhan spiritual manusia serta keperluan manusia menuju kesempurnaan di pelbagai dimensi pasti dipenuhinya.
Di dalam Alquran disebutkan tentang nafsu yang menyuruh kepada keburukan (nafs al-ammârah), jiwa yang menyesali dirinya sendiri (nafs al- lammâwah), dan jiwa yang tenang (nafs al-muthma’innah). Juga disinggung pengetahuan yang diilhamkan (ilm al-ladunni) dan bentuk-bentuk bimbingan yang dihasilkan dari perjuangan spiritual.
Alquran juga menyebutkan penyucian jiwa dan diartikan sebagai salah satu hal yang mengarah kepada penghambaan dan pembebasan. Juga di dalam Alquran disebut beberapa kali tentang cinta kepada Allah sebagai keinginan yang kuat di atas segala cinta dan daya tarik manusia. Alquran juga berbicara tentang semua partikel dari makhluk yang mengagungkan dan memuji Allah, dan hal ini mengisyaratkan bahwa jika seseorang ingin menyempurnakan pemahamannya, dia akan mampu merasakan pujian dan kebesaran Allah. Alquran juga mengangkat masalah tiupan Ilahi sehubungan dengan sifat dan keadaan jasmani manusia.”…[1]
Ayat-ayat di atas cukup kiranya mengilhami sebuah spiritualitas dan tasawuf komprehensif mengenai Tuhan, alam, dan manusia, terutama dalam hubungannya dengan Tuhan.”…[2]
[1] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy,J. 2, hal. 92.
[2] Lihat: Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy,J. 2, hal. 92.