Apa Nafs al-Amr itu?
Nafs al-amr secara bahasa berarti sesuatu pada dirinya. Al-Amr di sini yaitu perihal dan sesuatu, dan nafs di sini adalah diri dan esensi. Maka, nafs al-amr (perihal/sesuatu itu sediri) secara literal berarti hadd dzât al-syay’ (batasan esensi sesuatu), al-sya’y fî nafsi dzâtihi (sesuatu pada dirinya sendiri), al-sya’y fî nafsihi (sesuatu pada dirinya), dzât al-sya’y fî nafsihi (esensi sesuatu pada dirinya).
Muhammad Legenhausen dan ‘Azim Sarvdalir dalam Philosophical Instruction menerjemahkan nafs al-amr ke dalam bahasa Inggris menjadi the case in itself, sementara ‘Ali Quli Qara’i dalam The elements of Islamic Metaphysics menerjemahkanya menjadi domain of factuality. The case in itself itu setara dengan sesuatu pada dirinya dari sisi terjemahan kata, sedangkan domain of factuality tampak terjemahan dari sisi makna. Tentu, pengalihbahasaan suatu istilah dari satu bahasa ke bahasa yang lain tersebut harus dapat merekleksikan makna secara mandalam, namun tidak keluar dari konteks kata yang digunakan. Dalam hal ini, terjemahan-terjemahan tersebut berusaha merefleksikan istilah nafs al-amr yang digunakan dalam konteks kebenaran proposisi pada dirinya.
Diskursus nafs al-‘amr dalam epistemologi itu dibahas dan didiskusikan dalam konteks kebenaran proposisi dari sisi kesesuaianya dengan realitas. Dengan kata lain, jika suatu proposisi berkorespon dengan realitas, berarti proposisi tersebut sesuai dengan nafs al-amr dan proposisi tersebut benar. Manusia bisa memiliki jenis-jenis proposisi yang berbeda dalam sisi ekstensinya (misdaq). Hal itu disebabkan manusia mengabstraksikan dan menarik konsep-konsep yang berbeda dari sisi rujukannya di realitas eksternal. Terkadang, suatu konsep menunjuk suatu entitas yang dapat dipersepsi melalui indera, seperti buku, gedung, meja, kendaraan dan lainnya. Namun, terkadang, suatu konsep juga menggambarkan entitas-entitas konseptual yang eksistensinya hanya ada dalam pikiran saja, seperti ‘universal’, ‘diferensia’, ‘genus’ dan konsep-konsep logika yang lain. Selain itu, manusia juga bahkan memiliki konsep ‘ketiadaan’ yang tidak menunjuk pada realitas manapun. Proposisi itu terbentuk dari konsep-konsep tersebut, sehingga jika kita membaginya, ada tiga jenis proposisi sebagai berikut:
- Proposisi eksternal (khārijiyah): proposisi yang subjek dan predikatnya memiliki eksistensi luar, seperti dalam proposisi, “bola itu menggelinding” atau “Doni memiliki anjing”. Subjek Doni dan bola memiliki realitas eksternal, begitu juga predikat menggelinding dan anjing.
- Proposisi mental (dhihniyah): proposisi yang predikatnya merujuk pada sesuatu yang bersifat mental, namun subjeknya dapat berupa sesuatu yang merujuk baik mental maupun eksternal. Seperti dalam proposisi “manusia itu spesies” atau “definisi itu harus mencakup genus dan diferensia”.
- Proposisi hakiki (hakīkiyah): proposisi yang tidak merujuk realitas mental dan eksternal seperti proposisi, “tidak adanya sebab adalah sebab bagi tidak adanya akibat”. proposisi ini juga merupakan proposisi yang terbentuk dalam ilmu-ilmu yang subjek dan predikatnya lebih umum dari entitas mental dan eksternal.
Dalam hal ini, Nafs al-amr itu yang menjadi wadah bagi kebenaran proposisi-proposisi diatas sehingga proposisi tersebut memiliki sisi ontologis untuk diasumsikan korespondensinya. Akan tetapi, terdapat perdebatan terkait apa itu hakikat nafs al-amr. Para filsuf merumuskan pandangan-pandanganya tentang nafs al-amr secara berbeda. Maka, ketika dikatakan proposisi tertentu berkorespon dengan nafs al-amr, pengertian nafs al-amr di sini berbeda-beda.
Nasir al-Din Thusi berpandangan bahwa realitas nafs al-amr adalah akal non-material sebagai tempatnya bentuk-bentuk universal. Jadi, Proposisi yang kita miliki dalam pikiran kita yang terbentuk oleh konsep-konsep universal akan dikembalikan pada sumbernya dalam akal tersebut. Akal yang satu ini bukanlah salah satu dari fakultas jiwa yang berfungsi untuk berfikir dan mencerap konsep-konsep universal, melainkan suatu entitas ontologis non-material yang independen sebagai sumber dari bentuk-bentuk universal yang manusia dapatkan dalam pikiranya. Selain itu, akal tersebut tidak terbatas oleh ruang dan waktu dan sering disebut sebagai aql al-fa’al. terkadang juga disebut sebagai al-‘aql al-mufāriq. Akal ini juga yang dimaksud dengan salah satu dari substansi yang non-material baik secara esensinya maupun aksinya.
Dengan uraian diatas, maka jika dikatakan suatu proposisi itu benar dan berkorespon dengan nafs al-amr, hal itu berarti proposisi tersebut sesuai dengan bentuk-bentuk universal yang ada dalam akal tersebut. Dengan kata lain, korespondensi proposisi dengan nafs al-amr dari sudut pandang ini adalah kesesuaianya dengan apa yang ada dalam akal fa’al.
Akan tetapi, pandangan Thusi ini mendapatkan beberapa tanggapan sekaligus kritikan. Salah satunya datang dari ‘Allāmah Ṭabāṭabāī terkait kriteria korespondensi. Jika proposisi yang benar adalah proposisi yang sesuai dengan nafs al-amr dan nafs al-amr di sini bermakna akal fa’al, lalu apa kriteria kesesuaianya? Kita masih memmbutuhkan suatu kriteria untuk menunjukan kesesuaian antara suatu proposisi dengan yang terdapat dalam akal fa’al. Maka dari itu, Baginya pendapatnya Thusi masih menyisakan ketidakjelasan kriteria korespondensi antara proposisi dengan aql al-fa’al. ‘Abd al-Jabar al-Rifai memberikan penjelasan tentang hal ini dengan mengasumsikan bahwa jika jawaban terhadap kriteria tersebut adalah korespondensinya dengan akal yang lain, maka ketidakjelasan akan terus berlanjut hingga menggiring pada infinite regress.
Adapun pandangan yang lain mengenai nafs al-amr datang dari Sabzawari. Ia mengartikan nafs al-amr dengan batasan dari esensi sesuatu (dzat al-syai). Esensi sesuatu tersebut mencakup quidditas, eksistensi eksternal dan mental, seperti buku yang satu sisi adalah benda, ada sebagai entitas di realitas eksternal, dan universal dalam eksistensi mental. Dalam hal ini, kata nafs dalam nafs al-amr berarti esensi (dzat) sedangkan amr berarti sesuatu pada dirinya. Oleh karena itu, nafs al-amr itu bermakna hakikat sesuatu pada dirinya. Maka, jika dikatakan bahwa proposisi ‘manusia itu universal’ adalah benar, hal itu karena kesesuaianya dengan hakikat manusia yang secara konseptual adalah universal. Ataupun, jika dikatakan bahwa ‘manusia itu partikular’ adalah salah, hal itu memang disebabkan tidak ada manusia yang partikular pada dirinya.
Terdapat teori yang lain mengenai nafs al-amr menurut pandangan para sufi dalam diskursus irfan yang mengaitkan nafs al-amr dengan ilmu tuhan sebelum penciptaan (ijad). Dikatakan bahwa sebelum tuhan menciptakan segala sesuatu, dia sudah mengetahuinya dalam ilmunya sendiri. Ilmu tuhan ini oleh para ‘urafa disebut dengan a’yan al-thabitah. Ilmu tuhan ini bukanlah keberadaan mental atau sifat dari entitas-entitas eksternal, melainkan suatu keberadaan yang sederhana yang tidak berbeda dari tuhan itu sendiri. Maksudnya, keberadaan ilmu ini tidak independen dari keberadaannya dan bukan sesuatu yang lain daripada dirinya. Jadi nafs al-amr, dalam hal ini merupakan ilmu tuhan yang melingkupi segala sesuatu. Jika dalam filsafat suatu entitas memiliki sisi keberadaan materi, imajinal, dan akal, maka dalam pandangan irfan entitas tersebut juga berada dalam ilmu tuhan.
Pandangan Sabzawari dan para sufi tentang nafs al-amr nampaknya akan sulit diterapkan jika berkaitan dengan proposisi-proposisi yang merujuk pada ketiadaan. Hakikat sesuatu pada dirinya itu hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki keberadaan karena ketiadaan tidak memiliki hakikat dan sesuatu apapun, seperti dalam proposisi ‘tidak adanya sebab adalah sebab bagi ketiadaan akibat’ atau ‘ketiadaan adalah sesuatu yang batil’. ‘Tidak adanya sebab’ berarti tidak memiliki hakikat sebab dan ketiadaan adalah tidak adanya hakikat. Selain itu, ilmu tuhan walaupun meliputi segala sesuatu, namun tidak bisa meliputi ketiadaan. Dengan kata lain, penetapan proposisi yang tidak memiliki ekstensi baik dalam eksistensi eksternal maupun internal tidak dapat dikembalikan kesesuaianya pada ilmu tuhan.
Adapun pandangan terkahir tentang bagaimana melihat nafs al-amr adalah pandangan ‘Allāmah Ṭabāṭabāī. ‘Allāmah Ṭabāṭabāī mengartikan nafs al-amr sebagai subsistensi general (thubūt al-‘ām) atau substistensi mutlak (thubūt al-mutlak) yang melingkupi subsistensi eksistensi, quiditas, dan konsep-konsep i’tibari. Pandangan ini didasarkan pada landasan ontologis fundamentalitas eksistensi sehingga realitas sebagai sesuatu yang menjadi tempat korespondensi proposisi ditafsirkan dalam kerangka eksistensi. Atas dasar ini, kita menetapkan bahwa eksistensi sebagai dasar realitas tersubsistensi dengan dirinya sendiri dan konsep-konsep quiditas serta konsep-konsep i’tibari tersubsistensi dengan eksistensi.
Di atas kita telah membagi proposisi menjadi tiga, yakni proposisi eksternal, proposisi mental, dan proposisi hakiki. Pada proposisi eksternal yang subjek dan predikatnya berupa entitas eksternal, seperti ‘manusia itu tertawa’ wadah korespondensinya adalah realitas eksternal. Kita dapat memastikanya dengan melakukan pengingderaan atau pengamatan apakah proposisi tersebut sesuai dengan kenyataan. Dalam proposisi mental seperti ‘manusia adalah spesies’, maka tempat korespondensinya adalah realitas mental. kita mengetahui bahwa spesies adalah konsep universal yang menaungi satu hakikat yang memiliki genus dan diferensia dan manusia itu menaungi Ahmad, Hadi, dan Dani, sedangkan manusia memiliki genus hewan dan diferensia berakal, maka predikasi spesies pada manusia itu sesuai dengan realitas.
Adapun pada proposisi yang subjek atau predikatnya menunjuk sesuatu yang tiada, subsistensinya secara aksidental (bi al-‘arad) atau ‘mengikuti’ (bi al-tab’). Dalam proposisi, ‘tidak adanya sebab adalah sebab bagi tidak adanya akibat’, subsistensi proposisi ini itu secara aksidental atau mengikuti proposisi ‘setiap akibat memiliki sebab’. Jadi, setiap jenis proposisi mendapat dasar subsistensi dari eksistensi karena realitas yang ditetapkan tidak lain adalah eksistensi.
*Untuk kelengkapan referensi makalah, silakan hubungi redaksi situs.