Asyura: Pertanyaan tanpa Jawaban
عَنْ يَعْلَى بْنِ مُرَّةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( حُسَيْنٌ مِنِّي وَأَنَا مِنْ حُسَيْنٍ أَحَبَّ اللَّهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْنًا حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنْ الْأَسْبَاطِ )
Ya’la bin Murrah—radhiyallahu ‘anu (semoga Allah meridhainya) berkata: Rasulullah saw bersabda: Husain dariku dan aku dari Husain. Semoga Allah mencintai siapapun yang mencintai Husain.Husain adalah cucu dari cucu-cucu[ku].
الحديث المذكور رواه الترمذي (3775) وابن ماجه (144) وأحمد (17111)
والحديث حسنه الترمذي والألباني
Hadis ini diriwayatkan oleh at-Turmudzi(3775), Ibn Majah (144) dan Ahmad (17111). Dan hadis ini diangggap sebagai hadis hasan (baik) oleh at-Turmudzi dan al-Albani.
Setiap tahun haul Sayidina Husain dikenang dan diperingati oleh pelbagai kalangan sebagai bentuk apresiasi terhadap perjuangan syuhada. Persoalannya adalah: apakah ini cuma kebiasaan ritual tahunan yang tidak memberikan dampak reformasi jiwa? Kenapa peristiwa Asyura tidak dilihat dari sudut pandang yang berbeda? Mengapa tidak dipertajam dan difokuskan pelajaran Karbala yang bertalian langsung dengan konteks kekinian dan kedisinian?
Kenapa tidak digali secara optimal manfaat dan pengaruh besar i’tibar (mengambil pelajaran) dari kisah Karbala dan meneladani Sayidina Husain? Apa faedah membaca hikayat Karbala bagi seorang Muslim? Apa hubungan penghayatan terhadap peristiwa Asyura dengan kesuksesan hidup individual seseorang? Apa makna tangisan dan kesedihan ini serta apa benang merahnya dengan kehidupan nyata seseorang?
Mengapa yang ditonjolkan aspek sedih dan hitam kisah Karbala? Mengapa sisi putih dan spirit Sayidina Husain justru kurang dijelaskan, dan bahkan terkesan diabaikan? Bukankah aspek putih yang bertabur pelajaran-pelajaran dan nilai-nilai seratus kali lebih dahsyat daripada aspek hitam dan musibahnya?
Apakah kita bisa menjawab pertanyaan ini: hal yastawi ladzina ya’lamuna Husain walladzina la ya’lamunahu? Apakah sama orang-orang yang mengenal Sayidina Husain dan orang-orang yang tidak mengenalnya?
Apakah orang yang membaca dan memahami sejarah Karbala lebih survive dalam menghadapi masalah? Apa buktinya?
Apakah mereka yang mengapresiasi perjuangan Sayidina Husain—radhiyallahu ‘anhu—lebih cinta kepada kemanusiaan tanpa membedakan ras, suku dan agamanya?
Apakah orang yang hanyut dalam larutan tangisan dan kesedihan saat berempati dan bersimpati dengan Sayidina Husain pasti lebih peduli dan lebih sensitif terhadap penderitaan orang lain?
Apakah orang yang menangis haru-biru karena derita al-Husain pasti punya spirit tinggi untuk mengubah diri hina menjadi diri mulia; diri pemaki menjadi diri pemuji, diri pemukul menjadi diri perangkul? Diri biasa menjadi diri luar biasa? Diri Inteloran menjadi diri toleran? Diri pemarah menjadi diri pemaaf?
Apa hubungan ritual tahunan ini dengan kehidupan sehari-hari seseorang? Apa hubungannya dengan kebahagiaan seseorang? Apa hubungannya dengan rasa percaya diri seseorang? Apa hubungannya dengan keuletan dan ketangguhan seseorang? Apa hubungannya dengan keharmonisan rumah tangga seseorang? Apa hubungannya dengan kemampuan seseorang melalui godaan jabatan dan kedudukan? Apa hubungannya dengan kesuksesan seseorang dalam bekerja? Apa hubungannya dengan keberhasilan dalam mendidik?
Apakah wanita-wanita yang mengidolakan srikandi-srikandi Karbala mempunyai ketahanan jiwa yang lebih tangguh daripada mereka yang mengidolakan bintang film dan biduan?
Apakah wanita yang mengenal Zainab Kubra lebih menjanjikan kesabaran, kelembutan dan keindahan keibuan?
Apakah alumni madrasah Sayidina Husain dijamin kualitasnya dan pasti dapat bekerja dan berkarya dengan baik di masyarakat?
Apakah jantung yang berdebar karena mahabbah husainiyyah (kecintaan pada Sayidina Husain) berbeda dengan jantung yang berdetak secara alami tanpa getaran dan debaran mahabbah ini?
Apakah hati yang menyimpan gelora Husaini memiliki bara keimanan yang lebih kuat daripada hati biasa dan sunyi dari gelora ini? Apakah semangat mujahid yang dadanya disesaki oleh spirit Karbala sangat berbeda dgn mujahid biasa yang dadanya sunyi dari spirit ini?
Tanyakan kepada musuh-musuh Islam nomer wahid apakah mereka takut terhadap kebangkitan spirit Imam Husain? Dan kenapa peringatan Asyura sangat menghantui mereka? Bukankah jasad al-Husain dan para sahabatnya telah terkubur ratusan tahun silam, lalu apa lagi yang mereka khawatirkan? Bukankah masyarakat yang lemah spiritnya untuk melawan kebatilan memerlukan daya juang Husaini?
Apakah tidak sepatutnya anak-anak dininabobokkan dengan syair kepahlawanan Sayidina Husain dan sahabat-sahabat setianya?Apakah tidak layak generasi muda dibesarkan dengan kisah heroik Sayidina Husain?
Bukankah kecintaan kepada Sayidina Husain tidak ada hubungannya dengan mazhab tertentu dan aliran tertentu? Bukankah Husain adalah aset Islam yang berharga?
Husain adalah syahid yang gugur di jalan agama dan kebebasan. Mestinya bukan hanya orang-orang Syiah yang identik dengan nama Husain, bahkan seluruh orang-orang yang merdeka di dunia ini harus bangga dengan nama yang mulia ini. (Abdurrahman Syarqawi, Penulis Mesir).
Bukankah Husain adalah pemuda penghulu surga—sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw? Bukankah mencintai Husain sama dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya? Bukankah Husain adalah sahabat Nabi saw yang kita harus jaga kehormatannya dan kita harus berhati-hati dalam mengkritisi sikapnya, apalagi menyalahkannya?
Bukankah Husain orang kelima yang berada dalam kisa’ (kain) saat Nabi saw membacakan surat al-Ahzab ayat 33? Bukankah Husain termasuk ahlul bait yang Allah sucikan sesuci-sucinya dari kekhilafan dan dosa?
Apa yang sepantasnya dilakukan umat Kanjeng Nabi saw untuk mengenang gugurnya cucu Nabi saw ini? Sekadar berkumpul dan membacakan syair duka itu bid’ah? Sekadar membacakan narasi dan kronologis kisah tersebut itu juga bid’ah? Sekadar ngumpul untuk baca Yasinan dan kirim al-Fatihah untuk arwah syuhada Karbala pun bid’ah? Apa yang mesti dilakukan setiap datang bulan Muharam dan tepatnya, Asyura? Puasa? Yasinan? Bergembira? Bersedih dan berduka? Tidak gembira dan tidak juga sedih? Bukankah Habib Abdullah al-Haddad—rahimahullah, Sohibul Rotib menyatakan dalam kitab Tasbitul Fu’ad bahwa Asyura adalah hari kesedihan karena Husain terbunuh di hari itu dan tidak ada kegembiraan di dalamnya?
Bukankah Sayidina Husain berjuang untuk sumber yang bernama Islam, bukan untuk aliran yang sempit dan dangkal? Apakah perjuangan Sayidina Husain adalah perjuangan biasa yang tidak menyimpan mutiara-mutiara hikmah dan ibrah bagi umat ini? Apakah kesedihan Rasulullah saw—sebagaimana ditunjukkannya kepada istrinya Ummu Salamah—saat mengenang peristiwa Karbala tidak perlu kita cermati dan teliti? Mengapa timbul perkelahian dan saling menyudutkan hanya gara-gara perbedaan mazhab dan aliran? Bukankah setiap mazhab dan aliran bersumber dari Islam dan masing-masing pasti mencintai Sayidina Husain? Apakah sumber yang bernama Islam harus dikorbankan demi aliran yang sempit? Apakah tidak bisa nama Sayidina Husain menjadi pemersatu bagi umat wasathan ini? Mengapa Asyura menjadi biang keributan di antara umat? Bukankah klaim setiap mazhab–apapun namanya–bahwa mereka mencintai Husain bin Ali bin Abi Thalib sebagai modal perekat persatuan dan keharmonisan hubungan antara pelbagai kelompok umat Islam? Bukankah Husain bangkit untuk melakukan reformasi di tubuh umat kakeknya? Bukankah Husain berjuang untuk menegakkan amar makruf nahi munkar, bukan untuk menebar fitnah dan kebencian? Apakah setiap apresiasi terhadap kisah Karbala dilarang? Bukankah yang dilarang dan diharamkan adalah cara-cara ekstrem dalam mengenang tragedi Asyura seperti melukai dan menyiksa diri sampai berdarah-darah yang jelas-jelas hal ini bertentangan dengan Islam, Al-Qur’an dan Sunnah? Wallahu a’lam bi shawab. |
|