Beramal dengan hadist dhaif (perspektif madzhab Syiah)
Berawal dari beberapa pertanyaan berkaitan dengan berbagai amalan mustahabb (sunnah) dan makruh yang ada dalam beberapa kitab doa.
Jawaban saya selalu sama dengan menukil penjelasan daripara Maroji (pemilik otoritas fatwa) bahwa hadist-hadist yang dijadikan sandaran dalam amalan-amalan mustahabb dan makruh boleh diamalkan walaupun hadist tersebut lemah namun harus memenuhi tiga syarat:
1. Hadist tersebut tidak bertentangan dengan syariat.
2. Hadist tersebut bukan hadist maudhu’.
3. Hadist tersebut bukan berkaitan dengan amal wajib atau haram.
Oleh karena itulah Maroji’ terkadang dalam fatwa-fatwanya mengatakan “Boleh mengamalkan ini dengan niat rojaa’ al-mathluubiyyah (dengan harapan agar Allah memberikan pahala)”. Lalu apa yg mendasari Maroji’ memperbolehkan kita mengamalkan hadist-hadist lemah?
Sayid Ali Sistani, salah satu ulama terkemuka di Irak misalnya pernah mengatakan :
إن كثيراً من المستحبات المذكورة في أبواب هذه الرسالة يبتني استحبابها على قاعدة التسامح في أدلة السنن ، ولمّا لم تثبت عندنا فيتعيّن الاتيان بها برجاء المطلوبية ، وكذا الحال في المكروهات فتترك برجاء المطلوبية.
“Banyak amalan mustahabb (sunnah) dalam beberapa bab dalam buku fatwa ini berdasarkan kaidah ushul fiqih, yaitu “Qo’idah at-tasaamuh fii adillah as-sunan”. Jika hadist-hadist yang menjadi sandaran dalam amal mustahabb tersebut tidak dapat kami buktikan kesahihannya maka kita mengamalkannya dengan niat rojaa al-mathlubiyyah. Begitupula dengan amal makruh, jika kita ingin meninggalkannya maka niatkanlah dengan niat yg sama”.
Apa yg dimaksud dengan “Qo’idah at-tasaamuh fii adillah as-sunan”?
Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Qo’idah at-tasaamuh fii adillah as-sunan ialah:
Sebuah izin dan kemudahan yang diberikan oleh Allah karena kecintaan dan penghormatanNya terhadap Rasulullah saww berkaitan dengan sanad sebuah riwayat yang menunjukan tentang perbuatan mustahabb, dan jika ada sebuah riwayat yang menunjukan tentang ke-mustahabb-an sebuah amal walaupun ada cacat pada jalur sanadnya maka amal tersebut boleh dilakukan dan tidak bisa disingkirkan begitu saja, namun hal itu bukan karena amalan tersebut bagian dari syariat tapi atas dasar “Qo’idah at-Tasamuh fii adillah as-sunan” yang telah tertetapkan dengan dalil khusus.
Dan dalil khusus itu disebut dengan hadist man balagh
احمد بن أبى عبدالله البرقي صاحب كتاب المحاسن (الثقة) عن علي بن الحكم (الثقه)، عن هشام بن سالم (الثقة)، عن أبي عبدالله ـ عليه السّلام ـ قال: من بلغه عن النبي ـ صلّى الله عليه وآله ـ شيء من الثواب فعمله كان أجر ذلك له وان كان رسول الله ـ صلّى الله عليه وآله ـ لم يقله
Dari Ahmad bin Abi Abdillah al-Barqi (penulis kitab al-mahasin) (dia adalah seorang yg terpercaya) Dari Ali bin Hakam (terpercaya) dari Hisyam bin Salim (terpercaya) dari Abu Abdillah as, beliau as berkata : “Barangsiapa yg sampai kabar berita dari nabi tentang sebuah amalan yg mengandung pahala maka yg mengamalkannya akan mendapatkan pahala walaupun nabi tidak mengatakannya”.[1]
عن محمد بن يحيى، عن محمد بن الحسين، عن محمد بن سنان، عن عمران الزعفراني، عن محمد بن مروان قال: سمعت أبا جعفر ( عليه السلام ) يقول: من بلغه ثواب من الله على عمل فعمل ذلك العمل التماس ذلك الثواب أوتيه، وإن لم يكن الحديث كما بلغه
Dari Muhammad bin Yahya dari Muhammad bin Husain dari Muhammad bin Sinan dari Imran az-Za’faroni dari Muhammad bin Marwan. Ia berkata, aku mendengar Abu Jafar as berkata,”Barangsiapa yang sampai sesuatu tentang pahala dari Allah, lalu ia melakukan amal tersebut karena menginginkan pahalanya maka ia akan diberikan pahalanya walaupun hadist tersebut tidak sesuai dengan apa yang sampai kepadanya”.[2]
Banyak lagi hadist yang senada dengan hadist diatas dan seluruh ulama mengatakan bahwa hadist ini adalah sahih, namun mereka berbeda pendapat tentang maksud dari hadist-hadist tersebut.
Batasan penerapan kaidah ini
Salah satu diskusi hangat ialah tentang apakah hadist “man balagh” hanya terbatas pada amal mustahabb saja atau mencakup amal makruh, halal dan haram?
Menurut Syekh Muhammad Husain al-Isfahani, beliau mengatakan,”Sebagian besar ulama memasukan hukum makruh dalam cakupan hadist ini, mereka beralasan karena secara zahir hadist-hadist ini hanya memotivasi umat agar melakukan sebuah perbuatan yang menghasilkan pahala dan hal itu bukan hanya terbatas pada saat kita melakukan amalan mustahabb saja namun juga ketika kita menjauhi diri untuk tidak melakukan perbuatan makruh.
Syahid Tsani juga berpendapat bahwa kaidah ini hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan amal-amal yang mengandung pahala saja atau kisah-kisah yang mengandung hikmah saja, dan tidak mencakup pembahasan tentang sifat Allah dan hukum halal dan haram.[3]
Makna rojaa’ al-mathlubiyyah (mengharap agar diberikan pahala)
Tentu saja sebuah amalan yang dilakukan berdasarkan sebuah pahala yang disebutkan dalam sebuah hadist dhaif dan tidak dapat dipastikan apakah hal tersebut memang benar-benar disyariatkan oleh Allah kemustahabbannya atau tidak, maka kita tidak boleh lancang menghukumi hal tersebut sebagai kemustahabban yang telah ditetapkan secara syariat, namun kita dapat melakukannya karena ada janji Allah yang menjanjikan pahala bagi yang melakukan amalan tersebut, oleh karena itu yang kita dapat lakukan hanyalah rojaa’ al-mathlubiyyah yaitu mengharapkan agar amalan yang kita lakukan diberikan pahala sesuai dengan janji Allah dalam hadist man balaghز.
[1] Wasa-il as-Syiah Juz.1, bab.18, dalam mukadimah ibadah, hadist no.3)
[2] Wasa-il as-Syiah Juz.1, bab.18, dalam mukadimah ibadah, hadist no.7)
[3] Ad-Diroyah , Syahid Tsani, hal.29
wallahu A’lam
Ali Shofi