Beramal dengan hadits dhoif (perspektif Ahlussunnah)
Hadits yang populer dengan nama hadist man balagh sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits syiah sebenarnya diriwayatkan juga dalam beberapa kitab Ahlussunnah, tentu saja dengan redaksional yang berbeda, namun kebanyakan hadist itu dhaif dan tidak dapat dijadikan sandaran seperti yang ada dalam ushul fiqih madhzab syiah. baca:
Hadits dari para sahabat Nabi saw :
Diriwayatkan oleh Al-Hasan bin Arafah (257H) dalam kitabnya “Juz’ Ibnu Arafah” no.63:
عَنْ أَبِي رَجَاءٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ بَلَغَهُ عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ شَيْءٌ فِيهِ فَضْلٌ فَأَخَذَهُ إِيمَانًا بِهِ، وَرَجَاءَ ثَوَابِهِ، أَعْطَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ذَلِكَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ»
Dari Abu Rajaa’, dari Yahya bin Abi Katsiir, dari Abi Salamah bin Abdirrahman, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang sampai kepadanya tentang Allah bahwa ada sesuatu yang memiliki keutamaan kemudian ia mengamalkannya dengan penuh keimanan akan hal itu dan mengharapkan pahalanya, maka Allah memberikan kepadanya keutamaan tersebut sekalipun sebenarnya tidaklah demikian”.
As-Sakhawiy berkata: Abu Rajaa’ tidak diketahui. [Al-Maqashidul Hasanah no.1091]
As-Suyuthiy mengatakan: Ia seorang pembohong. [Al-Laali’ Al-Mashnu’ah 1/196]
Ibnu Al-Jauziy juga meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya “Al-Maudhu’aat” 1/421 melalui jalur Al-Hasan bin Arafah, akan tetapi dari Abu Jabir dan bukan dari Abu Rajaa’. Kemudian ia berkata:
Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun jika tidak ada rawiy lain yang lemah dalam sanadnya selain Abu Jabir Al-Bayadhiy. Yahya mengatakan: Ia seorang pembohong. An-Nasaiy berkata: Haditsnya ditolak. Dan Asy-Syafi’iy mengatakan: Barangsiapa yang meriwayatkan hadits dari Abu Jabir Al-Bayadhiy maka semoga Allah memutihkan kedua matanya (buta).
Adz-Dzahabiy (748H) rahimahullah berkata: Dalam sanad hadits ini ada Abu Jabir yaitu Al-Bayadhiy, ia tertuduh sebagai pemalsu hadits (muttaham). [Talkhish kitaab Al-Maudhu’aat hal.74]
Lihat Silsilah Al-Ahaadits Adh-Dha’ifah karya syekh Albaniy 1/647 no.451.
Dengan jalur yang lain; diriwayatkan juga oleh Al-Hafidz Abu Ya’laa, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsiir dalam kitabnya “Fadhail Al-Qur’an” hal.282-284:
من طريق بكر بن يونس عن موسى بن علي عن أبيه عن يحيى بن أبي كثير اليمامي عن جابر بن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ” من بلغه عن الله فضيلة ، فعمل بها إيمانا به ورجاء ثوابه ، أعطاه الله ذلك وإن لم يكن ذلك كذلك “
Dari jalur Bakr bin Yunus, dari Musa bin ‘Ali, dari bapaknya, dari Yahya bin Abi Katsiir Al-Yamaamiy, dari Jabir bin Abdillah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang sampai kepadanya dari Allah akan suatu keutamaan kemudian ia mengamalkannya dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahalanya, maka Allah akan memberikan kepadanya keutamaan tersebut sekalipun sebenarnya hal itu tidaklah demikian”.
Sanad hadits ini sangat lemah karena ada Bakr bin Yunus, Imam Bukhari dan Abu Hatim mengatakan: Haditsnya mungkar. Abu Zur’ah berkata: Haditsnya Waahiy (sangat lemah).
Hadits yang sama juga diriwayatkan melalui jalur Ibnu Umar namun hadist ini ditetapkan sebagai hadits palsu
Ibnu Al-Jauziy berkata: Hadits ini palsu, yang tertuduh sebagai pemalsunya adalah Isma’il bin Yahya.
Adz-Dzahabiy berkata: Dalam sanad hadits ini ada Isma’il bin Yahya periwayatannya sangat lemah (saaqith), dari Mis’ar, dari ‘Athiyah yang periwayatkannya juga sangat lemah (haalik), dari Ibnu Umar. Dan yang meriwayatkan dari Isma’il adalah Ali bin Al-Mukattib juga sangat lemah periwayatannya (haalik). [Talkhish kitaab Al-Maudhu’aat hal.308]
As-Suyuthiy berkata: Isma’il seorang pembohong. [Al-Laali’ Al-Mashnu’ah” 1/196]
Hadits dari jalur periwayatan Anas bin Malik, ini pun dianggap lemah
Ibnu Abdil Bar berkata: Hadits ini lemah, karena Abu Ma’mar ‘Abbaad bin Abdishamadsendiri meriwayatkannya, dan ia adalah seorang yang ditolak haditsnya (matruuk).
Imam Bukhariy, Abu Hatim, Al-‘Uqailiy, Ibnu Hibban, dan Ibnu ‘Adiy mengatakan: Haditsnya mungkar (sangat lemah). Dan Adz-Dzahabiy mengatakan: hadist ini waahin (sangat lemah).
Lihat Silsilah Al-Ahaadits Adh-Dha’ifah karya syekh Albaniy 1/653 no.452.
Pendapat ulama Ahlussunnah dalam mengamalkan hadist dhaif
Ahmad bin Hanbal mengatakan:
العمل بالضعيف أولى من القياس
“Mengamalkan dengan (hadits) dhoif itu lebih utama dari qiyas”
(An-Nukat ‘Ala kitabi Ibn Sholah Lil Hafidz Ibn Hajar Al-‘Asqolani, Halaman 119, cet: Darul Kutub Al-‘Ilmiah, Beirut 1994)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
قد ثبت عن الإمام أحمد وغيره من الأئمة أنهم قالوا إذا روينا في الحلال والحرام شددنا وإذا روينا في الفضائل ونحوها تساهلنا
“Telah tsabit dari Imam Ahmad bin Hanbal dan juga dari selain beliau, bahwa mereka berkata: Apabila kami meriwayatkan tentang masalah Halal dan Haram kami memperketat, dan apabila kami meriwayatkan tentang masalah fadhoil (keutamaan) dan sejenisnya kami mempermudah.” (Al-Qaulul Musaddad halaman 11)
Ibnu Muflih Al-Hanbaliyah berkata dalam “Al-Adab Asy-Syar’iyyah”:
والذي قطع به غير واحد ممن صنف في علوم الحديث حكاية عن العلماء أنه يعمل بالحديث الضعيف في ما ليس فيه تحليل ولا تحريم كالفضائل، وعن الإمام أحمد ما يوافق هذا. ا.هـ
“Sesuatu yang telah dipastikan oleh lebih dari satu orang yang pernah menulis dalam Ilmu Hadits adalah hikayat dari para ulama mengenai bolehnya beramal dengan hadits dhaif dalam masalah yang bukan penghalalan atau pengharaman, misalnya fadhoil (keutamaan). Riwayat dari Imam Ahmad juga sesuai dengan itu.”
Syihabuddin Ar-Ramli berkata dalam Fatawinya:
قال الحاكم: سمعت أبا زكريا العنبري يقول الخبر إذا ورد لم يحرم حلالاً ولم يحلل حراماً ولم يوجب حكماً، وكان فيه ترغيب أو ترهيب، أغمض عنه وتسهل في روايته …إلخ اهـ
“Al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Zakaria Al-Anbari berkata: sebuah kabar apabila telah datang tanpa mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan tidak mewajibkan suatu hukum, sedangkan di dalamnya terdapat anjuran dan ancaman, maka dibiarkan dan dimudahkan saja periwayatannya…dst.”
Fatwa Syaikh Yusuf Al Qaradhawi
“Sebagian ulama berpendapat bahwa dibolehkannya menyampaikan hadits-hadits dhaif dalam urusan nasihat dan bimbingan, dan dari apa-apa yang dis-tilahkan dengan fadhailul a’mal. Sampai-sampai banyak yang mengklaim bahwa ulama telah sepakat terhadap pendapat ini.
Tidak ragu lagi, ini adalah salah besar. Sejumlah besar para ulama peneliti berpendapat bahwa tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam fadhailul a’mal (amalan-amalan mulia) dan lainnya. Ini adalah pendapat Imam Bukhari dan dikuatkan oleh Albani pada masa kita sekarang.
Lagi pula, pihak yang membolehkan mengamalkan hadits dhaif untuk Fadhail juga memberikan syarat dengan syarat yang begitu penting yang sangat sulit dipenuhi, sehingga sama saja itu sebagai hadits shahih.
Syarat-syarat yang mereka tetapkan adalah:
- Hadits tersebut kedhaifannya ringan,
- Kandungannya memiliki dasar yang kuat yang telah ada pada hadits lain yang tidak dhaif,
- Hendaknya si penasehat menjelaskan kepada manusia bahwa hadits tersebut adalah dhaif.
Ulama yang luas ilmu-ilmu syariat selamanya tidak akan pernah berhujjah dengan hadits-hadits dhaif, karena hadits-hadits shahih begitu banyak dan mencukupi. Namun, orang-orang yang sering menggunakan hadits dhaif, mereka hanyalah orang-orang yang mempopulerkan hadits-hadits dhaif, lantaran sedikitnya pergaulan mereka terhadap hadits dan ilmu-ilmunya.”
Wallahu a’lam