Budaya Menjilat
Seorang lelaki bernama Yunus bin Ya`qub mendatangi Imam Ja`far Ash-Shadiq RA sambil berkata, ”Berikanlah tanganmu padaku karena aku hendak menciumnya.” Imam Ja`far memberikan tangannya dan lelaki itu pun dengan leluasa menciumnya. Kemudian lelaki itu melanjutkan permintaannya, ”Dekatkanlah kepalamu.” Imam mendekatkan kepalanya dan lelaki itu menciumnya.
Tak puas sampai di situ, lelaki itu berkata, ”Berikan kakimu karena aku ingin menciumnya juga.” Imam Shadiq dengan nada tidak senang berkata, ”Aku bersumpah bahwa setelah mencium tangan dan kepala maka anggota tubuh yang lain tak layak untuk dicium.” Ada dua poin penting yang dapat kita petik dari kisah tersebut. Pertama, Islam melarang segala bentuk penjilatan. Kedua, siapa pun yang dijilat hendaklah tidak merasa enak. Rasulullah SAW bersabda, ”Menjilat bukan termasuk karakteristik moral seorang mukmin[1].” Budaya menjilat bukan budaya seorang mukmin. Bahkan, sebenarnya budaya ini lebih dekat pada karakter seorang munafik.
Seorang penjilat sejatinya sedang membohongi dirinya sendiri. Apa yang dilakukannya berlawanan dengan lubuk hatinya yang paling dalam. Ia rela melakukan apa saja secara berlebihan demi mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang yang dijilatnya. Biasanya yang menjadi korban penjilat adalah mereka yang tergolong mapan dan superior, seperti atasan, pimpinan, pemegang kekuasaan dan keputusan.
Dalam kasus jilat menjilat, biasanya penjilat sadar seratus persen terhadap “jilatan maut” yang dipasangnya, namun biasanya korban jilatan tidak sadar bahwa dirinya sedang masuk dalam perangkap jilatan bawahan dan para pembisiknya. Korban jilatan justru menikmati jilatan demi jilatan yang dipamerkan di hadapannya. Umumnya orang yang jadi mangsa jilatan adalah orang yang gila pujian dan edan sanjungan. Dan sejatinya, antara yang menjilat dan yang dijilat sama-sama edan alias gila. Betapa tidak, si penjilat memuji sesuatu yang bukan hanya tidak layak dipuji tapi pujian itu lebih tepat mendekati cacian dan kepalsuan karena bertentangan dengan realitas. Sedangkan yang dijilat menikmati “hidangan jilatan” yang hampa dan nihil.
Sebagaimana kisah tersebut, Yunus bin Ya`qub menjilat pemimpin agamanya, agar dengan cara itu ia mendapatkan pengakuan ketaatan dan ketulusan dari pemimpinnya. Namun, sayangnya, ia berhadapan dengan seorang pemimpin yang bukan hanya tidak mau dijilat, tapi juga melarang segala bentuk penjilatan.
Lalu mengapa Islam melarang budaya menjilat? Menjilat adalah salah satu bentuk kehinaan. Padahal, Islam datang untuk menjunjung tinggi kemuliaan dan kehormatan manusia. Sedangkan penjilat berusaha menghinakan dirinya dan merobohkan harkat dan martabat manusia yang dibangun Islam. Terkadang, budaya menjilat ini timbul karena kesalahpahaman terhadap makna dan pengertian tawadhu (rendah hati). Misalnya, seorang bawahan merasa perlu memuji atasannya setinggi langit demi menunjukkan loyalitasnya terhadap sang atasan. Ironis sekali kalau sang atasan mengangguk-anggukkan kepalanya alias mengamininya dengan berbagai pujian itu. Sementara hal yang dijadikan bahan pujian bawahannya itu sebenarnya tidak terjadi.
Dengan demikian, atasan ini telah membiarkan kebohongan dan kepura-puraan terhadap dirinya terus berlangsung. Sesuatu yang tidak ada pada dirinya dikatakan ada. Bukankah ini dusta yang besar? Bukankah ini hal yang terlarang. Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, ”Memuji lebih dari yang seharusnya adalah penjilatan[2].” Karena itu, hindari sejauh mungkin segala tindakan yang bisa menjurus ke arah penjilatan.
Ali bin Abi Thalib adalah sosok pemimpin yang anti jilatan dan penjilatan. Ali malah pernah meminta rakyat dan orang-orang di sekitarnya untuk mengkritiknya. Ali bukan tipikal pemimpin yang gila sanjungan dan gemar pujian. Ali adalah pemimpin yang melayani rakyatnya. Apapun dilakukannya demi tegaknya pilar keadilan. Bagi Ali, tidak ada yang lebih berarti daripada keadilan dan kebebasan. Ali tidak pernah besar kepala dan terlalu girang saat orang-orang berlomba memujinya dan mengapresiasi kehebatannya. Sebab, Ali sudah mendengar sanjungan samawi yang disampaikan oleh Nabi saw tentang manaqib dan fadha’il-nya.
Ya, kita perlu belajar dari gaya kepemimpinan dan gaya hidup Ali bin Abi Thalib. Sejarah hidupnya perlu kita gali dan teliti kembali. Di zaman kepalsuan dan kebohongan serta mudahnya berita hoax seperti sekarang, Ali bisa menjadi tokoh yang menginspirasi kita bagaimana berhubungan dengan sesama dan bagaimana menghindari praktik jilat-menjilat.
Islam adalah agama kejujuran, sedangkan budaya menjilat bertentangan dengan nilai kejujuran. Islam adalah agama yang memanusiakan manusia, sedangkan budaya menjilat adalah budaya yang menghinakan manusia. Islam memandang bahwa di mata Allah antara atasan dan bawahan kedudukannya sama saja. Pahala yang Allah berikan kepada bos dan karyawannya sama saja, dan yang membedakan hanya aspek ketakwaan dan keimanan masing-masing mereka.
Mari kita singkirkan budaya jilat-menjilat dari kamus kehidupan kita; dari percaturan politik kita dan dari medan dakwah dan jihad kita. Sebagaimana kebohongan itu ibarat orang yang memakai busana yang tipis dan pasti akan tampak auratnya maka penjilat pun suatu hari nanti akan menelan ludahnya sendiri dan akan menyesali jilatan beracunnya.
Oleh:
Muhammad Taqi
Sumber:
[1] Kanzul ‘Ummal, hadits 29364
[2] Nahjul Balaghah, hikmah 347