Dari Main “Comot” Hadist Sampai Jadi Mujtahid “Gadungan”
Padahal pada prinsipnya hal ini tidak “gampang”, harus melalui proses sistematis, dan akurat dengan didukung oleh berbagai disiplin ilmu secara integral dan terpadu termasuk juga harus ada kesiapan secara mental dan spiritual para pelakunya.
Dalam tulisan singkat ini, kami berupaya untuk mendiskripsikan bagaimana sebenarnya proses akademis dan ilmiah berlangsung oleh Mujtahid dalam penyingkapan suatu hukum syar’i dari sumber-sumbernya seperti Hadist Nabi saw sebagai sumber kedua setelah Quran..
Disini penting untuk terlebih dahulu difahami istilah Hadist dalam letaratur keislaman prespektif dua madzhab Sunnah dan Syiah yang masing-masing bersepakat bahwa Hadist menjadi dasar hukum jika berkualitas shahih.
Hadist dalam leteratur keislaman Syiah berbeda dengan yg dikonsepsikan oleh Sunnah, Syiah mendifinisikannya dengan, “Semua riwayat tentang ucapan, perbuatan dan ketetapan figur makshum (Nabi dan Ahlulbaitnya as.)”, yang tidak sambung sampai ke makshum maka kategorinya adalah bukan Hadist. Tidak sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Sunnah karena yang sambung sampai pada salah satu sahabat atau tabi’in pun dianggapnya juga Hadist meski kemudian untuk membedakannya dari Hadist Nabi mereka mengklasifikanya dengan Hadits marfu’, mauquf dan maqthu’, atau diistilahkan dengan Atsar untuk yang datang bukan dari Nabi.
Fungsi Ilmu Hadist dan Ilmu Rijal Hadist cukup strategis dalam mengidentifikasi status Hadist dibandingkan dengan yang lainnya, sebelum dapat dijadikan sebagai dasar hukum syariat, sebab Hadist statusnya adalah sumber kedua setelah al-Qur’an dalam penetapan hukum syariat, sehingga perhatian penuh terhadapnya tercurahkan demikian ini memang dikarenakan tidak ada jaminan atas keterpeliharannya sebagimana Quran oleh Allah swt., oleh karena itu upaya bagaimana mengidentifikasi status Hadist yang sahih harus dilakukan dengan menyusun teori-teori dengan disiplin penuh tanggung jawab oleh para pakarnya, dari sini terciptalah Ilmu Hadist dan Ilmu Rijal, namun dalam terapan teorinya Sunnah kentara inkonsisten, mereka tidak menerapkannya menyeluruh pada jenjang rawi-rawi Hadist, mereka di tingkat level sahabat Nabi cuci tangan membiarkannya tak tersentuh proses Jarhu wa ta’dil, padahal level ini adalah penentu atas keotentikan risalah agama sebagai media awwal transformasi untuk disampaikan ke level generasi berikutnya, mereka menganggap level ini dalam predikat udul (adil). Inkonsistensi dalam hal penerapan Ilmu Rijal ini terjadi karena mereka tidak mau mengkritisi dan dan tidak selektif dilevel sahabat Nabi, praktis Jarh wa Ta’dil jadi mandul.
Namun tidak demikian dengan Syiah yg selektif dan kritis terhadap Rawi di level sahabat, buktinya Syiah tidak menganggap Hadist kalau tidak sambung sampai ke Makshum, sahabat bukan maksum juga tabiin, pastinya hadis mauquf (Hadist yang berhenti di sahabat) dan Hadist maqtu’/mungkoti’ (Hadist yang berhenti di tabi’in) ditolak oleh Syiah, hadits yang diriwayatkan oleh siapapun termasuk sahabat yang tidak kredibel, tentunya tidak akan pernah menjadi sumber hukum syariat.
Hadits dipandang Syiah sebagai sumber hukum kedua dengan status bahwa ia adalah penjelas dan pelengkap al-Quran yang keduanya adalah sebagai hujjah dan barometer keshahihannya harus ditimbang dengan lima kebenaran,
1. Quran
2. Sunnah Mutawatir
3. Logika sehat
4. Sejarah Otentik
5. Apa yang telah disepakati oleh ulama’ Islam
Jelas bahwa Hadist itu harus diagungkan dan di hormati sebagai sumber kedua setelah al-Quran. Syiah menjadikan Hadist sebagai sumber hukum penetapan syariat setelah lulus dari tahapan-tahapan berikut,
1. Menilai secara akurat para rawi secara menyeluruh di setiap levelnya termasuk sahabat , di atas dasar dan prinsip yang telah ditetapkan dalam ilmu Rijal al-Hadist , dengan menggunakan ilmu ini dapat di identifikasi siapakah Rawi yang adil, dhobit dan stiqah dan siapakah yang tidak, sehingga apakah periwayatannya di tolak ataukah di terima.
2. Kemudian Menilai seluruh Hadist yang telah diriwayatkan dari para maksum dari segi matan dan tingkatannya untuk dapat dibedakan dan di klasifikasikan yang shahih dari yang lemah, evaluasi ini harus dengan dasar akurasi ilmiah melalui metode dan teori dalam ilmu Dirayah.
3. Maka kemudian Hadist dan riwayat yang shahih masih harus didiskusikan dalam metodologi Ilmu Ushul dalam menentukan nya sebagi hujjah dalam penetapan hukum syariat.
4. Dan akhirnya Hadist atau riwayat itu masuk dalam objek penyimpulan hukum syariat dengan metode Ilmu Fiqih, hingga setelah riwayat ditetapkan menjadi hujjah /dasar yang layak maka barulah seorang Faqih (Mujtahid) dapat menjadikannya sebagai dalil untuk hukum yang dimaksud.
Demikian inilah tahapan dan proses Periwayatan suatu Hadist hingga menjadi sumber dan dasar hukum syariat dalam prespektif Syiah tentunya dengan tidak mengabaikan lima barometer kebenarannya sebagaimana telah tersebut diatas.
Begitu juga halnya tentang status muslim yang mengabaikan bahkan meremehkan kualifikasi Mujtahid dan melecehkan kredibelitas sampai sakralitas tugas beratnya, sebagaimana tampak pada contoh kasus “Kawin sirri, Poligami dan Nikah Dini” yang baru-baru ini terjadi ditengah masarakat Indonesia, dari cangkru’an para preman pasar sampai jalsah para kiyai di kampung dan di kota, dari meja dugem para artis sampai meja selebritis legislatif dan eksekutif. Nikah sirri dan poligami jadi sorotan dan bahan perbincangan, halal-haramnya diperdebatkan dan masing-masing merasa punya andil bicara dengan ide masing-masing. Mereka dengan seketika menjadi Mujtahid “gadungan”.., apakah para “gadungan” ini berhak menyimpulkan hukumnya..?
Dihadapkan pada Syari’at/Fiqh semua mukallaf harus menyadari tentang status dirinya yang tidak keluar dari tiga kategori:
1. Mujtahid
2. Muqallid
3. Muhtâth
dalam mengidentifikasi hukum suatu kasus kita tidak akan keluar dari kategorisasi diatas apapun produk hukum yang akan muncul berupa hukum awwali (primer) ataukah tsanawi (insident).
Mujtahid personifikasinya adalah sebagai mukallaf yang secara mandiri mampu mengidentifikasi hukum atau menyimpulkannya dari sumber-sumbernya dengan dukungan berbagai pra- syarat ijtihad dalam bentuk disiplin-disiplin keilmuannya.
Sedangkan dua selainnya adalah mukallaf yang harus tunduk di bawah hukum produk Mujtahid yang performe untuk di rujuk fatwanya (sebagai marja’) karena tidak mampu secara mandiri menyimpulkan hukum. Nah, persoalannya adalah bagaimana implementasi hukum itu realistis dan objektif dilaksanakan oleh mukallaf dalam konteks Indonesia yang memiliki hukum positif dan opini publik (tradisi, adat, dan kultur) misalnya dalam kasus Nikah Sirri, Poligami dan Perkawinan dini, bahkan kasus-kasus yang lainnya…
Bahkan bagaimana mereka menyederhanakan kasus pelik ini tanpa masuk kedalam Ilmu Fiqih yang terdapat didalamnya pembahasan seperti Hukum Awwali (primer) atau Tsanawi (Insident) dalam menyikapi suatu kasus seperti Poligami, Sirri, dan Nikah dini…halal dengan karekteristik syaratnya, sedangkan Poligami, Sirri, dan Nikah dini haram dengan karekteristik syarat yang spesifik juga.
Tentang opini publik dan hukum positif bisakah menjadi landasan hukum Fiqh/syaria’h dalam konteks indonesia.. Identifikasi persoalan suatu kasus harus secara koprehensif dilakukan.., nah sekarang ada di wilayah kategori mana sosok mukallaf berada, Mujtahid ataukah Muqallid, ini yang menentukan,.., tentunya semua ini tidak mudah bukan..!?
______________________________
Daftar Pustaka
Allamah Ayatullah Syekh Jakfar Subhâni, Ushûl Hadîst Wa Ahkâmuhu
Allamah Dr. Syeikh Abdulhadi al-Fadzli, Ushûl Hadîst hal 41, dan Ushûl Ilmi al-Rijâl
Al-Muhaqqiq al-Khurâsâni, Kifâyat al-Ushûl
Imam Ruhullah Khumaini, Tahrîr al Wasîlah