Definisi Filsafat
Definisi Filsafat[1]
- Prolog
Sampai sekarang para peminat filsafat masih dibingungkan dengan kata filsafat itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan kata filsafat yang cukup keren ini? Kata ini sekalipun masih misterius tetapi cukup menarik bagi para pelajar yang serius dan juga kelas menengah yang gandrung dengan pemikiran. Mengapa menarik karena dari kata filsafat tersirat pemikiran yang mendalam, akurat, luas, mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan penting dalam kehidupan setiap orang seperti apa itu hakikat kehidupan, dari mana kita berasal, apa yang harus kita lakukan, mau kemana kita ini?, siapakah tuhan itu dan segala hal yang terkait dengan isu-isu fundamental dalam kehidupan seluruh species manusia.
Karena begitu dalam dan pentingnya yang ingin dibahas filsafat sehingga kata ini dipinjam untuk menggambarkan pendalaman isu tertentu, misalnya filsafat pendidikan, filsafat musik, filsafat cinta, filsafat doa dan sebagainya. Anggapan itu pula yang membebani filsafat yang ditasbihkan seolah-olah pintu masuk untuk mengetahui segala hal. Apalagi jika dilihat definisinya yang mengklaim untuk mempertanyakan hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Pertanyaan kedua juga siapa yang berhak mendefinisikan filsafat dan mengapa mendefinisikannya? Jawabnya tentu seorang filsuf! Namun pertanyaan lain tapi siapa filsuf itu dan siapa yang mentasbihkannya sebagai filsuf? Yang kita amati karyalah yang mengukuhkan seseorang itu filsuf atau bukan. Tulisan-tulisannya secara kuantitas dan kualitas itu lah yang menjadi bukti paling kuat. Siapapun tidak akan ragu dengan Ibnu Sina, Suhrawardi dan Mulla Sadra dan juga yang lainnya.
Otoritas dan kredibilitas adalah ilmu itu sendiri, sebab ilmu adalah penyingkapan (inkisyaf) dengan metode apapun. Ilmu atau apapun namanya selayaknya memiliki syarat-syarat ilmiah, dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, akuntable, transparan, obyektif, universal. Filsafat jelas harus sudah melewati kriteria-kriteria di atas, karena ia yang memberikan legitimasi akan eksistensi obyek-obyek ilmu-ilmu yang lain.
- Definisi Filsafat
Kata Filafat dari philosophy yang secara leksikal artinya cinta kebijakan. Kata ini kemudian dalam dunia Islam didefinisikan oleh Ibnu dengan mengetahui (knowledge) wujud qua wujud (being qua being). Kata –kata qua (min haytsu) adalah indikasi yang sangat penting untuk menggambarkan wujud yang tidak terbatas dalam modus-modus tertentu. Wujud yang dibahas adalah wujud mutlak.
Suhrawardi mendefinisikan filsafat dengan mengimitasi tuhan (tasyabuh billah). Seorang filsuf adalah manusia yang ingin meniru tuhan dalam keilmuan; yaitu mengetahuai segala sesuatu, sebab tuhan juga maha meliputi segala sesuatu. Filsuf juga tidak terikat dengan materi sebagaiman tuhan juga tidak terikat, tidak berada dalam materi. Lantara itu Suhrawardi menganggap syarat untuk membaca kitab magnum opusnya adalah penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Bagi Suhrawardi filsuf mulai dari pengenalan ego dan untuk mengenal ego hanya melalui tazkiyatun nafs. Dan itu adalah syarat lazim (sufficient reason) sementara demonstrasi (burhan) hanyalah syarat lazim. Yang lain yang harus ditiru oleh filsuf dari tuhan adalah emanasi. Tuhan selalu memberikan kebaikannya (fayd) kepada yang lain tanpa pamrih. Tuhan adalah sumber kebaikan, jadi seorang filsuf juga layak menjadi pioner kebajikan-kebajikan, Aspek yang lain adalah sering berpuasa sebagaimana tuhan dalam ayat al-Quran disifati sebagai Zat yang memberi makan dan tidak diberi makan (yuth’imu wa la yuth’am). Dan seorang filsuf juga suka salat malam, karena wajibul wujud juga tidak merasa ngantuk dan tidak pernah tidur artinya selalu begadang seperti terekam dalam ayat kursi “la takhudu sinatun wala nawm” (Zat yang tidak merasa ngantun dan tidak pernah tidur).
Mulla Sadra kemudian menyempurnakan definisi filsafat sebagai transformasi insan menjadi alam inteligibel yang mencitrakan alam obyektif (sayruratul insan ‘alaman dzihniyan mudhahiyan lil ‘alam ‘ayni). Dengan definisi baru dari arsitek Hikmah Muta’aliyah ini filsafat tidak lagi masuk dalam kategori definisi tapi batasannya adalah manusia itu sendiri. Artinya setiap filsuf akan mengalami tingkatan transformasi yang berbeda-beda.
Adanya aspek tuhan dan aspek etika (suluk) menjadikan kata filsafat kurang mewadahi kedalaman dan keluasannya itu, sehingga sebagian ilmuwan lebih memilih kata hikmah (teosofi). Al-Quran menyebut hikmah yaitu menggabungkan antara hikmah nazari dan hikmah amali sebagai khayr kathsir (kebaikan yagn sangat banyak). Al-Quran dan hadis-hadis dalam hikmah muta’aliyah bukan hanya sekedar asesori frasa-frasa filsafatnya tapi juga diposisikan sebagai contex of discovery seperti pengalaman spiritual (kasyaf) dan demonstrasi nalar (burhan).
Filsafat atau teosofi (hikmah) yang lebih disukai penggunaannya oleh Suhrawardi hingga Mulla Sadra dibagi menjadi dua yaitu filsafat teori dan filsafa praktis. Filsafat memiliki dua dimensi yang pertama aspek kognisinya yaitu teori sebagai sebuah ilmu tentang hakikat segala sesuatu yaitu tentang wujud-wujud non materi dan kedua yaitu juga tentang hakikat sesuatu juga hanya saja membawa implikasi praktis. Obyek yang diketahui , atau hakikat yang mengangkat derajat insan itu (menurut Mulla Sadra) disederhanakan dalam proposisi-proposisi. Proposisi Yang tidak membawa implikasi etika secara langsung disebut hikmah nazhari seperti Allah itu ada, Alam materi itu berubah (‘alam mutagayirun) dan sejenisnya sementara proposisi yang membawa implikasi praktis seperti Kejujuran itu baik, keadilan itu sempurna, keberanian itu terpuji, dan sebagainya disebut dengan hikmah amali.
Menurut Dr. Qaiminiyan setiap ilmu termasuk juga filsafat dapat dilihat dari dua aspek. Pertama dalam ranah definisi (maqam ta’rif) dan kedua dalam ranah de facto (maqam tahaquq). Dalam ranah definisi filsafat atau hikmah atau theosophy adalah untuk menyingkapkan ‘ada’ dengan metode demonstrasi nalar (burhan) ala ibnu Sina, atau digabungkan dengan sumber lain seperti wahyu dan penyingkapan spiritual (kasyaf) ala Suhrawardi dan Mulla Sadra. Sementara dari aspek ranah de facto (maqam tahaquq) mungkin saja terjadi inkosistensi, invalid, bias yang bersumber dari keterbatasan filsuf sebagai manusia juga.
[1]Nano Warno, MA