Demi yang Terlahir, Al-Jawad di Bulan Rajab
Mundur sekitar satu tahun sebelum kelahiran Imam Muhammad Al-Jawad, muncul keraguan dari kelompok fanatis yang mempertanyakan keimaman ayahnya, Imam Ali bin Musa ar-Ridha salamullah alaih. Apakah dia seorang imam mashum? Alasan mereka, tak ada seorang putra yang lahir dari sulbinya untuk menggantikan posisi imamahnya.
Imam Ridha sampai ditanya: Apakah imamah akan berada di tangan saudara ayah ataukah saudara ibu, dan ataukah saudara Anda? Kalau tidak, lantas siapa?
Beliau menjawab, Putraku!, jawabnya. Sementara pada saat itu beliau tidak memiliki seorang putra. (Ushul al-Kafi 1/286, kitab at-Tauhid)
Beliau balik tanya kepada orang yang mempertanyakan itu, Siapa yang memberitahumu bahwa aku tidak akan mempunyai seorang putra? Kemudian dengan tegas beliau berkata, والله لا تمضي الاَيام والليالي حتى يرزقني الله ذكراً يُفرّق بين الحق والباطل; “Demi Allah, takkan berlalu siang dan malam sampai Allah mengaruniakan aku seorang akan laki yang memilah antara kebenaran dan kebatilan.” (Ushul al-Kafi 1/320, dinukil oleh Syaikh Mufid dalam al-Irsyad 2/277, melalui Abul Qasim Jafar bin Muhammad Qaulaweih; Istbat al-Washiyah/al-Masudi, hal 183)
Dalam riwayat lain, Sampai lahir seorang anak laki dari sulbiku yang menempati posisiku, dia akan menghidupkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan. (Rijal al-Kasyi, 463)
Keraguan itu kemudian sirna setelah lahir dari beliau seorang putra, yang namanya beliau sebut dalam doanya: اللهمّ إنّي أسألك بالمولودين في رجب محمد بن علي الثاني ، وابنه علي بن محمد المنتجب; “Ya Allah aku memohon kepadamu demi dua yang terlahir di bulan Rajab; Muhammad bin Ali dan putranya, Ali bin Muhammad..” (Misbah al-Mutahajjid/Syaikh Thusi)
Sayidah Hakimah putri Imam al-Kazhim menceritakan tentang kelahirannya, bahwa ia diminta oleh Imam Ridha untuk datang bila al-Khizaran (ibu Imam Jawad) melahirkan. Beliau mengantarkannya masuk ke dalam kamar dan menaruh lentera untuk mereka, lalu menutup pintu. Pada saat akan melahirkan, lentera itu padam. Lalu lahirlah Abu Jafar (Muhammad al-Jawad). Dengan kain seperti pakaian yang menutupi badannya, cahaya sang bayi memancar menyiinari rumah, sehingga kami dapat melihat dia.
Sang ayah berkata: Inilah (putraku) yang lahir! Tiada kelahiran yang keberkahannya lebih agung darinya atas syiah kami. (al-Kafi, 1/320); al-Irsyad 2/277)
Hakimah mengungkapkan, Pada hari ketiga, dia melihat ke atas langit, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri seraya berucap: Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah!. Kemudian ia ceritakan keajaiban ini kepada Imam Ridha.
Beliau berkata kepadanya: Wahai Hakimah, engkau tak melihat keajaibannya lebih banyak dari itu. (Manaqib Al Abi Thalib 4/394; al-Fushul al-Muhimmah Ibnu Shabbagh al-Maliki, hal 208-209)
Ia lahir di Madinah. Ibunya bernama Subaikah (Sukainah) an-Nuwaibah. Ada yang mengatakan namanya adalah Raihanah, Durrah dan juga dipanggil Khizaran. Konon ia berasal dari keluarga Mariyah Qibthiyah, isteri Rasulullah saw.
Pengukuhan Imamahnya
Dukacita bercampur gelisah dialami para pecinta atas kesyahidan Imam Ridha pada tahun 203 hijriyah. Kegelisahan mereka melihat putra satu-satunya saat itu berusia delapan atau sembilan tahun, yang telah beliau angkat sebagai washinya dan imam mereka sesudahnya.
Imam telah mengingkatkan mereka akan kenabian Isa as yang usianya jauh lebih kecil dari putranya:فقد كان سن عيسى حين اعطي النبوة اقل من سن ولدي ; “Usia Isa as saat diangkat sebagai nabi di bawah usia putraku.” (Raudhat al-Waizhin, hal 303)
Mereka diuji dengan kepatuhan kepada Imam Muhammad al-Jawad, yang masih kecil dan harus merujuk kepadanya dalam semua masalah keagamaan. Jadi, usianya yang masih kanak-kanak menjadi faktor pengkajian mereka untuk mencapai kemantapan dalam keyakinan.
Seorang dari mereka, Yunus bin Abdurrahman, berkata: Sudahilah tangisan kalian! Siapakah pemilik urusan (kepemimpinan umat) ini? Siapakah yang kita tuju dalam setiap masalah? Apakah kepada yang akan besar ini? Yakni, Abu Jafar (Imam Muhammad al-Jawad).
Rayan berdiri di hadapannya seraya mengatakan, Kau tampakkan iman di hadapan kami tapi menyembuyikan keraguan.. Jika urusannya dari Allah walaupun dia berusia satu hari, kedudukannya sama dengan seorang alim besar dan bahkan di atasnya. Namun jika bukan dari sisi Allah walaupun dia berusia seribu tahun, tetaplah dia seorang manusia biasa..
Keraguan itu terjadi setelah kesyahidan Imam Ridha salamullah alaih- sampai sebagian mereka menoleh kepada saudaranya, Abdullah bin Musa. Tapi mereka tidak siap menerima imamah dia tanpa bukti, hingga mereka berpaling darinya. Satu kelompok memutuskan untuk waqf, yakni berhenti pada Imam Musa Kazhim saja, dan kelompok ini disebut dengan Waqifiyah. Namun, mayoritas Syiah meyakini imamah Muhammad al-Jawad walaupun dikatakan beliau masih kecil.
Mereka mempunyai dalil atas keyakinan itu antara lain: nabi Yahya bin Zakaria as yang masih bayi ketika itu Allah memberinya pengetahuan hukum; Isa bin Maryam as; keputusan bayi antara nabi Yusuf as dan isteri Malik, nabi Sulaiman bin Dawud yang berilmu tanpa belajar, dan lainnya, semuanya para hujjah Allah, termasuk Imam Muhammad al-Jawad, kendati mereka masih kanak-kanak.
Syiah Imamiyah memandang imamah adalah perkara ilahiah. Karenanya, kecilnya usia seorang imam mashum bukanlah masalah penting bagi mereka, dan para imam mereka mampu menjawab semua masalah mereka.